Kumpulan 11 Cerpen, Juni 2023

(1)

Bleki

-

Oleh:  A. A HAFIDZ,  1 Juni 2023

Kira-kira bulan Januari si Bleki hilang. Mungkin seperti masalah kucing lain. Si Bleki yang baru berumur setahun itu sudah baligh. Sudah saatnya musim kawin. Cara mengeongnya mengeluarkan suara lebih keras dan berat. Sudah sering menjilati kelaminnya sendiri. Pulang pun sebatas mengisi perut agar mempunyai tenaga untuk merayu kucing betina yang belum pernah saya lihat. Mungkin sedang mencari kucing betina tetangga yang jauh dari rumah.

Barangkali orang di rumah terlalu sayang. Si Bleki tidak pula dimasukkan ke kandang. Toh, kalau ada hanya kandang ayam. Pernah sekali si Bleki sakit perut karena keracunan rumput yang disemprot obat, akhirnya ia mencret. Sudah pasti tahi kucing kalau di dalam rumah baunya sulit hilang karena orang di rumah terlalu sayang pada si Bleki ya, mau tak mau, saya bersihkan. Sebenarnya saya juga sangat benci kalau kucing buang tahi sembarangan tetapi karena ia sakit, tidak perlu juga saya marah. Adik saya juga pintar merawat si Bleki, sudah dibelikan obat khusus kucing, lagi pula si Bleki kucing mandiri kalau buang tahi selalu di luar rumah. Meski buang tahi di rumah tetangga yang kosong. Si Bleki selalu buang tahi di bawah pohon rambutan.

Sejak hari pertama si Bleki tidak pulang, adik selalu cemas. Ia selalu tidak bisa diam, ia mondar-mandir, ke teras rumah, samping rumah, dan belakang rumah. Ia menangis, saya yang melihat justru semakin sedih dan ikut cemas dengannya. Saya melamun berjam-jam semenjak hilangnya si Bleki. Adik juga ikut-ikutan tidak nafsu makan. Ketika jam makan siang ia selalu mengayuh sepedanya mengelilingi lingkungan RT.

”Gimana, Si Bleki ketemu?”

Ia jawab, ”Tidak, Kak.” lantas ia masuk, mengunci kamar, dan tangisnya bisa saya dengar saat menguping lewat kamarnya. Sebetulnya semenjak masalah perkucingan dengan Virga dan Michael. Saya menjadi benci dengan kucing, tetapi ini si kucing Bleki, yang dari kecil dirawat dan mandiri. Bukan kucing kampung berbulu putih milik teman saya yang kabur dari kamar kosnya lalu memaksa saya bertemu Virga dan Michael. Kucing berbulu putih yang manja karena didikan pemiliknya sudah membuat saya sangat tidak suka dengan para pecinta hewan berbulu lembut itu. Kepada mereka Michael dan Virga penganut paham kasih sayang perkucingan. Saya sangat membenci kalian karena sebuah kesalahpahaman. Tetapi ini si Bleki, kucing yang sudah hilang beberapa hari ini.

Saya berinisiatif untuk mengirimkan surat kecil secara diam-diam kepada adik. jangankan berbohong. Apa pun dapat dilakukan hanya demi adik yang manis, kecil, dan imut yang selalu menghibur saat lelah demi melihat senyumnya lagi. Lagi pula adik saya penderita autism spectrum disorder (ASD).

Setiap pukul lima pagi, saya diam-diam menaruh potongan kertas kecil yang diselipkan ke bawah kolong pintu kamarnya.

”Selamat Pagi, Icha!, tidak usah bersedih, aku Bleki, kucingmu tersayang. Aku sedang berlayar ke negeri seberang, aku baik-baik saja, aku akan mengirimi surat tiga hari sekali, surat ini akan kamu temui di bawah kolong pintu kamarmu, aku titipkan surat pada burung pipit, kamu tahu, kan? Lubang di atas jendela? Di situlah kertas ini akan masuk, jangan khawatir Icha, aku akan selalu mengabarimu dari jauh, aku sedang berpetualang mencari pengalaman hidup dan jodoh, salam hangat. si Bleki.”

Akhirnya adikku bisa tersenyum. Ia sudah mau bersekolah, makan tepat waktu, dan belajar. Setiap pergantian hari ia selalu menunggu surat dari si Bleki. Sekarang harapan dan semangat hidupnya sangat bergairah, ia sudah mau bermain dengan teman-teman sebaya. Sekarang justru masalah baru hadir. Adikku menunggu surat palsu yang saya buat, sampai lupa tidur, bangun pagi sedikit sulit, dan beberapa PR lupa ia kerjakan. Ustazah dari TK Marsudi sampai berkunjung ke rumah dan melaporkan hasil belajar Icha pada Ibu. Setidaknya besok tepat hari ketiga dan si Bleki harus mengabari Icha.

Sekali lagi saya harus berbohong pada adik. Malamnya saya menulis surat berpura-pura jika surat itu dari Si Bleki. Saya menambahkan cap telapak kucing agar adik percaya jika suratnya dari kucing tersayang, Bleki. Setelah subuh, saya meletakkan surat dengan kertas kecil tersebut ke bawah kolong pintu kamar Icha. Icha bangun, saya mengintipnya dari kamar tidur. Sengaja membuka pintu sedikit kamarku agar melihat Icha membaca surat. Ia seperti terburu-buru ke kamar mandi, tanpa sadar mengetahui keberadaan surat.

”Icha, kertas apa itu?” aku menunjuk kertas. Sementara langkah Icha sudah melewati surat di mana tergeletak masih pada posisinya. Ia kembali untuk mengambilnya.

”Yeay, surat dari Si Bleki.” Icha tersenyum lalu membukanya. Ia tak kunjung kembali. Dalam bayangku, mungkin ia membaca surat dari si Bleki sambil buang hajat.

”Icha sekarang aku sudah mempunyai pasangan, kami sudah menikah. Sebenarnya aku ingin mengundangmu, tetapi si Burung Pipit sedang sibuk mengantarkan surat. Jadi, baru sekarang aku mengabarimu, maaf ya Icha yang manis, manusia paling baik selalu memberiku ikan pindang ketika aku lapar. Ingin aku perkenalkan padamu Whitney jika kelak aku pulang, Icha. Ia kucing betina yang cantik, dan anggun, bulunya lebih halus dari punyaku, ia sekarang sedang bunting, Icha. Barangkali kamu mau merawat anak kami kelak. Pasti hasil kawin kami mempunyai keturunan yang bagus, kamu pasti suka. Oh, iya Icha, kami berencana ingin berlibur ke pulau Aoshima, di Jepang, di sana banyak koloni kucing, kelak aku ingin mengajakmu, menikmati angin pantai yang berembus melewati kulit, serta ombak biru yang jarang kau temui di pantai di negaramu. Aku berjanji akan mengabarimu, jika sampai di pulau Aoshima, mungkin seminggu lagi. Salam hangat, si Bleki.”

Icha lantas menunjukkan surat itu padaku. Seolah cerita-cerita itu nyata. Saya mengiyakan saja. Justru dalam hati, saya sungguh harus mencari solusi supaya cerita-cerita buatanku tidak mengecewakan adik tersayang.

***

”Kamu ngapain, pagi-pagi begini sudah jalan kaki, mau ke mana?” Pak Ndut menyapaku.

”Saya ingin cari kucing, Pak. Sebulan ini kucing saya hilang. Si Icha menangis hampir setiap hari.”

”Kalau mau, Bapak ada kucing bunting. Sepertinya sudah akan melahirkan, saya repot kalau kucing itu melahirkan anaknya. Anak saya, Bella, sudah diterima kerja di luar kota. Di rumah tidak ada yang bisa merawat kucing.”

”Beneran, nih, Pak Ndut? Saya mau daripada saya harus cari kucing kampung di tempat sampah dan di pasar, sulit sekali.

”Bawa saja, silahkan. Justru saya berterima kasih jika ada yang mau merawatnya.”

Setelah itu, saya dengan penuh kegembiraan membawa kucing bunting tersebut, berjalan agak terburu-buru, dan menaruhnya di kamar. Setidaknya menyembunyikannya dari Icha dan menyusun siasat menunggu beberapa hari lagi. Mencari saat yang tepat untuk mengarang surat dan mengaku bahwa kucing itu adalah si Whitney. Pasangan Si Bleki yang pulang. Tuhan saya sungguh berterima kasih. Kebetulan kucing pemberian Pak Ndut juga berambut putih, cocok dengan Si Whitney.

Saat Icha pulang, saya selalu menutup pintu kamar supaya ia tidak tahu keberadaan Whitney. Kucing aneh yang tidak mengeluarkan suara mengeong sama sekali. Sepertinya kucing ini mempunyai masalah di bagian tenggorokannya. Mungkin bawaan dari lahir.

”Kak, saya cium bau tahi kucing, Si Bleki di sini, ya?” Icha sudah mulai curiga menjelang besok surat Si Bleki datang.

”Tidak, perasaan kamu aja. Tidak. Aku tidak mencium bau apa pun. Kamu ya? Belum cebok?”

”Icha, ayo cepat, sini, Ibu tunggu kamu di depan TV, jangan sampai telat berangkat sekolah.” Ibu memanggilnya.

”Baik, Bu.”

Beruntung kecurigaan Icha berhenti sampai sana, hampir ia membuka pintu kamarku. Saya segera membuang tahi kucing, menggantinya dengan pasir yang baru. Saya menulis kembali, untuk terakhir kali sebagai si Bleki.

”Icha, maafkan aku. Kucing yang paling kamu sayang Si Bleki. Perjalanan pulangku sangat sulit, ini sudah sampai batasku, kematianku sudah di depan mata. Ikan-ikan besar mengepungku bersama Whitney. Kami berlayar pulang, tetapi badai menghancurkan kami, Icha. Tolong, jaga Whitney dan anak-anakku, serta ucapan terimakasihku pada burung pipit.”

Lalu saya menaruh si Whitney itu di dalam besek yang dasarnya saya lapisi kain dan meletakkannya di dalam kamar Icha, sambil menunggu ia pulang.

***

(2)

Reinkarnasi Babi

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/Ei8AQ-TB4a4T2gTkQyw9QGvkP2M=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F02%2Fc4fa0ce8-4ccb-4861-9b6c-8421a7baf521_jpg.jpg

Oleh: FARUQI UMAR, 3 Juni 2023

Hujan belum reda seutuhnya ketika lelaki tambun berkumis tipis itu datang mengetuk pintu rumahku. Aku segera menemuinya ke depan, menyalaminya, lalu mempersilakannya duduk. Tatapan matanya terasa dingin, lebih dingin dari genggaman tangannya. Sekilas, pandangannya menyapu seisi ruang tamu, bahkan tumpukan kain di meja di samping mesin jahit.

”Aku tak menyangka kau pandai menjahit,” ia seperti menggumam, lalu tersenyum. Dan aku tak dapat menafsir apakah ia sedang memuji atau menyindir.

”Apa yang bisa diandalkan dari seorang pengangguran yang tinggal di pelosok seperti aku ini,” jawabku.

”Aku pikir kau berubah.”

”Yang senantisa berubah adalah perubahan itu sendiri. Kita bisa apa dalam hidup yang keparat ini.”

”Hahaha.”

Ia memilih tertawa. Aku tahu betul siapa dirinya. Ia hanya enggan menanggapi. Dan aku semakin merasa kerdil di hadapannya.

Di teras di atas balai-balai bambu, kami duduk bersebelahan menghadap persawahan. Angin berembus sepoi-sepoi. Satu-dua orang melintas di kejauhan di jalan kampung yang becek. Hujan hampir seharian mengguyur. Sebatang surya hampir tamat di tangannya. Sumpah. Ia memang perokok yang aneh. Ia tidak hanya menghisap tapi sambil menggigit gabus surya.

”Kadang, kita menjadi pengecut bila dibenturkan dengan urusan perut,” katanya.

”Lebih tepatnya, dari perut sampai ke lutut,” timpalku.

”Asu kau.”

”Hahaha.”

“Kau tahu, gajah mati meninggalkan gading, kita mati meninggalkan dosa,” imbuhnya lagi.

”Apa maksudnya?”

”Aku kira kau sudah mengerti kabar tentang babi-babi yang semakin kurang ajar itu.” Kalimat itu keluar dari mulutnya bagai peluru yang meluncur dari magasin. Sorot matanya menjadi tajam. Tentu, ini akan berakhir tidak baik, tebakku.

”Kau belum kapok juga rupanya,” selorohku.

”Selama nyawa masih di kandung badan, selama kita yakin akan kuasa Tuhan, lantas apalagi yang membuat kita gentar,” tandasnya.

***

Nezar, masih sama seperti 25 tahun yang lampau. Terlepas dari kejadian yang pernah menimpa dirinya dulu. Ketika kami, para mahasiswa, melakukan gerakan masif untuk menggulingkan pemerintahan Orde Baru. Aku, salah satu kawannya yang menyarankan, agar ia tidak terlalu agresif, kalau perlu bersembunyi dulu.

”Keadaan sedang kacau. Kita mundur!”

”Mundur sebagai pengecut atau mundur sebagai pengkhianat? Perbedaannya sangat tipis. Dan aku memilih untuk tetap melawan,” jawab Nezar.

Ia tak menggubris ketakutanku.

Akhirnya, aku dan beberapa kawan lainnya memilih bersembunyi. Ada yang pulang ke kampung halamannya, ada yang pergi ke luar negeri, dan ada juga yang sampai mengganti identitas diri. Agresi militer besar-besaran, kami kira, memang tujuannya untuk menangkap dan membasmi para mahasiswa yang dinilai agresif.

Sampai kemudian banyak kawan kami yang hilang. Ada yang ditemukan mati di parit, di selokan, di sumur tua, ada yang mati ditembak dadanya. Ada juga yang kembali, tetapi dengan kaki pincang, dan tidak sedikit yang menjadi gila. Nezar merupakan salah satu kawan kami yang kembali, tapi dengan gendang telinganya rusak dan dua giginya patah.

Setelah semuanya aman, kudengar Nezar ikut kedua orang tuanya ke pedalaman Kalimantan. Sedangkan aku, akhirnya merawat dua petak sawah peninggalan orang tua di kampung. Bertani cabe dan tomat. Sesekali menerima pesanan menjahit pakaian orang-orang. Sampai akhirnya ia menemui aku malam ini.

Malam semakin pekat dan dingin semakin tajam. Nezar terlihat semakin semangat menceritakan tentang apa saja yang pernah terjadi padanya. Aku menatapnya lekat-lekat. Rasanya, baru kemarin kami meninggalkan Jakarta.

***

Nezar tinggal di desa sebelah, di dekat sebuah lereng bukit. Ia kembali dari Kalimantan dua bulan lalu. Ia adalah kawan masa kecilku. Dulu kami sering bermain bersama. Mencari burung atau berburu babi di hutan. Aku mengaguminya sejak dulu. Selain baik, ia juga perhatian kepada kawan. Masih terang di ingatan, ketika kami hendak berburu babi di hutan atau di area persawahan.

Ia sangat ahli membuat tombak. Tangannya sangat awas ketika memotong dua buah bambu kuning sebesar genggaman tangan kami, yang kami ambil dari pekarangan belakang rumah. Setelah itu ia meruncingkan ujung bambu dengan parang.

”Babi-babi itu harus diberi pelajaran,” katanya sambil memeriksa ketajaman ujung bambu menggunakan jari jempolnya. ”Jangankan babi, kulit singa pun dapat ditembus dengan bambu ini.”

Ia tersenyum. Aku tahu ia sedikit berlebihan.

Begitu tombak sudah jadi, ia sodorkan satu untukku. Kemudian ia mengajariku bagaimana menggunakan tombak dari bambu itu.

”Ketika kau melihat babi keluar dari semak-semak sambil mengendus bebauan, kau tahan sebentar. Jika babi itu sudah dekat, sudah dalam jarak tombak, kau tarik napas dalam-dalam, sebelum kau lesakkan tombak itu.”

Aku mengangguk. Ia memang pandai berburu. Keahliannya tidak lain merupakan warisan dari sang ayah dan kakeknya.

Hari itu juga, kami bergerak menyusuri jalan setapak yang becek di dalam hutan. Kami sudah melepas sandal jepit kami di rumah. Jari-jari kaki kami menjadi awas dan sigap ketika melewati jalan berlumpur yang licin. Kami berjalan perlahan di antara pohon jati dan mahoni. Mencari babi yang bersembunyi, atau yang sedang menyerang tanaman petani.

”Lihat!” tunjuk Nezar sambil memberi aba-aba. Kulihat seekor babi sedang berjalan menuju lahan jagung. ”Kalau babi itu sudah makan, baru kita tombak. Posisi kita tidak boleh terlalu dekat, babi memiliki penciuman tajam,” lanjutnya.

Kemudian, Nezar menyuruhku untuk berpencar. Aku berjalan ke arah sisi kiri babi. Sedangkan, Nezar di sisi kanannya. Lalu ia memberi isyarat menombak dengan jarinya yang menghitung mundur dari tiga, dua, lalu satu, dan kami serentak melempar tombak.

”Yap. Kita dapat!” Nezar berseru sambil mengepalkan tangan.

”Lalu bagaiamana?” tanyaku

”Kita bawa babi itu ke rumah. Ibuku punya resep bumbu yang spesial. Nanti malam kita makan besar,” jawabnya.

Ia kemudian mencabut tombak yang menancap di tubuh babi, lalu memasukkan babi itu ke dalam karung.

***

Di teras rumah di atas balai-balai bambu, kenangan masa kecil itu kadang membuat kami tersenyum-senyum sendiri.

Sampai akhirnya, kami mengingat kembali peristiwa ketika kami pertama kali merantau ke Jakarta untuk melanjutkan studi di kampus yang sama. Dan melalui peristiwa-peristiwa getir bersama. Aku rasa, tidak gampang bagi Nezar untuk melupakan penyiksaan di kamp tahanan itu. Ia pernah menceritakan semuanya sendiri padaku, bagaimana ia ditangkap dan disiksa, sebelum kisahnya menjadi viral dan diberitakan di berbagai surat kabar maupun media-media daring.

Malam itu, katanya, ia baru selesai mengikuti pertemuan dengan organisasi solidaritas untuk Timor Leste dari Australia di kawasan Menteng. Saat itu ia diberi tugas oleh organisasinya, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi, untuk mengurus bidang hubungan internasional. Pada pertemuan di Menteng itu, ia mengkampanyekan demokratisasi di Indonesia. Dia juga mengkampanyekan pembebasan sejumlah kawannya yang menjadi tahanan politik Orde Baru pasca peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996, yang pecah di markas Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro.

Babi gempal itu terjungkal ke tanah, tapi masih memaksa untuk bangkit dan berlari. Mulutnya mengerang kesakitan. Darah mengalir dari liang lukanya. Babi itu berlari sempoyongan, sebelum akhirnya menyerah pada ajal. Ya, ujung tombak Nezar menancap tepat di lehernya. Sedangkan tombakku meleset, dan hanya membuat luka gores di perutnya.

Setelah acara selesai, Nezar pulang ke Rusun Klender naik angkutan umum. Setibanya di rusun, ia segera naik ke lantai empat. Ia mengetuk pintu, mengira kedua kawannya, Petrus dan Herman berada di dalam. Beberapa kali ia mengetuk, tak ada jawaban. Ia akhirnya mengambil kunci cadangan di bawah pot bunga di samping pintu. Ketika ia masuk, buku-buku, koran, dan tumpukan pamflet berisi tuntutan turunkan Soeharto, yang biasa ia tempel di tiang listrik, di pohon, di pertokoan, di gedung-gedung sepanjang jalan, semuanya raib.

Nezar mulai panik ketika mengintip ke luar jendela. Ia melihat beberapa orang bertubuh tegap tampak mengawasi rusun. Ia langsung menyimpan semua dokumen, paspor, dan buku harian dalam tas ransel. Ia ingin melarikan diri lewat dapur dengan cara melompat. Ketika ia pikir tak mungkin lewat situ, ia kembali ke ruang depan, mencari jalan keluar lain.

Setelah lima menit ia hanya mondar-mandir kebingungan. Ia kembali melihat ke luar jendela. Orang orang bertubuh kekar itu, mulai merangsek masuk ke dalam rusun, menuju kontrakannya. Ia merasa tak ada jalan keluar.

”Mampus aku!” Pikirnya.

Di balik pintu, ia duduk di lantai, bersandar ke tembok sambil menundukkan kepala. Tak lama kemudian pintu digedor keras.

”Buka pintu!” teriak orang dari luar.

Tak ada pilihan lain, Nezar membuka pintu. Sekitar 10 orang masuk ke dalam. Dua orang berpakaian loreng. Sisanya berpakaian sipil. Nezar langsung ditangkap. Sementara sebagian yang lain mengacak-acak isi kamar, mencari sesuatu.

Setelah itu Nezar diangkut menggunakan mobil. Kendaraan itu berhenti di kantor Komando Rayon Militer Duren Sawit. Di tempat itu ia diinterogasi oleh tentara, seputar aktivitas dan organisasinya, alasan tuntutan turunkan Soeharto, pencabutan dwifungsi ABRI, sistem multipartai, dan sebagainya. Begitu mereka tidak suka akan jawabannya, ia akan dipukul atau disetrum.

Nezar tak bisa mengenali mereka. Selain karena gelap, matanya ditutup kain, dan bajunya dilucuti. Tangan dan kakinya diikat. Ia hanya mengenakan celana dalam. Di kepalanya hanya ada satu kata, mati!

Setelah dua minggu ditahan, seorang petugas menghampirinya sambil membuka pintu sel, ”Nezar, ada yang besuk kamu!” katanya.

Nezar penasaran, siapa orang yang berani mengunjunginya. Ketika ia keluar dan berjalan melewati lorong, di koridor panjang itu ia melihat lelaki tua di kejauhan. Ia sempat memicingkan mata sebelum memastikan, kalau lelaki itu adalah ayahnya yang datang dari kampung.

Nezar dan ayahnya diberi kesempatan bertemu beberapa menit saja. Ia tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya menangis di pelukan ayahnya, dan merasa bersalah. Bukan rasa bersalah karena melawan pemerintah Orde Baru, tapi karena dirinya, ayahnya menjadi repot.

”Sudah, tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja,” kata ayahnya menenangkan.

Nezar tetap tak bisa bicara. Ia hanya terus menangis.

Bulan demi bulan, gelombang demonstrasi semakin membesar. Memasuki bulan Mei, keadaan semakin kacau. Kerusuhan, penjarahan, pemerkosaan marak terjadi menyusul terjadinya penembakan empat mahasiswa Trisakti. Puncaknya 21 Mei, Soeharto menyatakan turun dari jabatannya. Kabar itu terdengar sampai ke penjara. Ruang sel riuh dalam haru. Setelah itu, Nezar dan beberapa tahanan dibebaskan. Namun, 13 orang teman kami masih hilang sampai sekarang. Sampai cerita ini tayang di media.

***

Dan malam ini, dengan sorot mata tajam, Nezar datang ke rumah. Membawa senapan angin dan berbicara keras, ”Babi-babi itu tidak hanya merusak tanaman, tapi sudah reinkarnasi menjadi antek-antek asing untuk membeli tanah-tanah warga dengan harga murah, lalu mulai membangun pabrik-pabrik, yang tentu akan merusak lingkungan ini.”

Aku masih bingung, bagaimana menanggapi sikapnya. Malam semakin larut dan dingin. Istriku sudah tidur di kamar bersama kedua anakku.

”Kita tak boleh tinggal diam! Kita tembak saja!” katanya kemudian, senapan angin itu ia pegang di tangannya, moncongnya mengarah tepat ke kepalaku.

Aku bergidik. Sejak peristiwa penyiksaan itu, aku mendengar kabar kesehatan jiwanya terganggu. Sialnya, aku terlibat dalam proyek pembangunan pabrik-pabrik itu. Dan aku juga ikut membujuk orang-orang agar mau menjual tanah mereka.

Sidoarjo, 20 April 2023

***

Faruqi Umar, kelahiran 9 April 1993. Kini tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur.

***

(3)

Sepasang Kenangan

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/DabpqArfQRnodLh8YbzTNfysbGk=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F07%2F69c701bd-5ac6-422e-b0be-9b24805cef36_jpg.jpg

Oleh:  LUHUR SATYA PAMBUDI, 8 Juni 2023

Hanya dalam hitungan hari, tanpa sebelumnya aku mengerti dan tanpa rencana pribadi, aku dibawa oleh orang-orang yang berbeda melewati sejumlah area yang sangat jarang kususuri, namun akhirnya malah membuka kembali album kenanganku tentang dua perempuan yang sempat memperindah hari-hariku di masa silam. Cukup dalam kesanku terhadap masing-masing dari mereka, tentu pada masa yang berbeda, hingga akhirnya pernah tersuratlah ”Sudah Cukup Sukacita” untuk yang satu dan ”Setelah Sekian Waktu” kepada yang lain. Kedua puisi itu lantas menjelma sebagai lirik lagu yang dahulu kerap kunyanyikan sendiri dengan iringan gitar akustik yang kini telah jebol dan tak bisa dimainkan lagi. Kucoba menggali memori yang lama terpendam dalam relung sanubari berdasarkan tempat tinggal mereka.

***

Hari ini sudah cukup sukacita

Hanya dengan kuperhatikan paras ayumu

Juga rambut panjang indahmu

Serta tawa lucumu

Belum jemu daku padamu

Dan tak kuinginkan itu

(lirik lagu “Sudah Cukup Sukacita”)

Tempat yang pertama adalah sebuah desa di sebelah barat kota Yogyakarta, jaraknya sekitar 12 kilometer dari rumahku. Di sana pernah kudatangi rumah seorang gadis manis berambut panjang bermata cemerlang, yang selama sekian bulan terakhir sungguh menarik perhatianku. Aku berhasil menjumpainya pada kesempatan kedua, setelah rumah itu hampa belaka pada saat pertama kucoba bertandang. Semula dia mengaku tidak mengenalku, aku pun rada kecewa mendengarnya, tapi sekian menit sehabis itu–anehnya-kami langsung bisa berbincang panjang lebar seolah sudah berteman cukup lama sebelumnya. Bahkan kami dapat saling melempar canda dan tersenyum bersama pula. Indah nian hari itu kurasakan.

Sehabis itu kerap nian aku mengajaknya berbicara lewat telepon yang bisa menelan waktu sampai sejam dua jam, selain sesekali berpapasan di tempat kami bersama-sama menempuh studi. Tak hanya sekali, dengan sengaja kupinjam buku catatan miliknya yang sangat rapi itu untuk sejumlah mata kuliah. Terang saja alasannya agar aku bisa bertemu lagi dengannya. Begitu mudahnya dia membuatku bersukacita, bahkan tatkala kubayangkan figur elok atau senyuman lucunya belaka. Kehadirannya senantiasa membawa keceriaan tersendiri dalam hari-hariku selama beberapa waktu. Hingga ketika hampir setahun sesudah pertama kali aku datang ke rumahnya, aku sungguh berhasrat memiliki dirinya. Dengan percaya diri kunyatakan sejatinya isi hati, tapi aku menyadari aksiku tak berarti lagi.

”Maafkan aku, Mas. Telah kujadikan sahabatku sebagai kekasihku,” ucapnya sendu. Yah, terlambat sudah kuayunkan langkah. Sekiranya lebih awal aku hadir dalam hidupnya barangkali ceritanya bakal berbeda. Sekian tahun berlalu tanpa kutahu lagi bagaimana kabarnya, Namun, belakangan kudengar bahwa hingga hari ini sahabatnya itu masih menjadi pasangan hidupnya dan mereka berdua telah dikaruniai sepasang anak lelaki. Gadis manis berambut panjang itu tentu saja telah lama berubah menjadi istri dan ibu yang bersukacita menjalani hidupnya. Dia pun memiliki karier cemerlang dalam pekerjaannya.

***

Setelah sekian waktu berlalu

Dia hanya menari-nari di anganku

Tapi kini ada di depan mata

Terwujudlah satu impian nyata

(lirik lagu ”Setelah Sekian Waktu”)

Tempat yang kedua adalah sebuah perumahan elit di sebelah timur laut kota Yogyakarta, kira-kira sejauh 10 kilometer dari rumahku. Di lokasi itu tinggallah dara cantik berhidung mancung yang sebelumnya menjadi model favoritku di sampul sebuah majalah lokal berbahasa Jawa. Memang tak biasanya majalah tersebut memasang wajah yang demikian rupawan, hingga membuatku sungguh terkesima. Sama sekali tak kuduga bahwa pada akhirnya dia menjadi adik kelasku di bangku kuliah, setelah sekian masa sosok apiknya berkelindan dalam ruang khayalku semata.

Lebih dahulu kuperkenalkan diri kepadanya lewat telepon yang nomornya bisa kutemukan di buku telepon dari Telkom yang super tebal itu, berbekal alamat rumahnya yang tertera di majalah. Kendati tanpa saling memandang, bahkan dia barangkali belum pernah melihatku pula, tapi dapat kurasakan adanya aura kehangatan dari suaranya kala berbincang denganku melalui pesawat telepon.

Aku pun berasumsi dia bisa menerima eksistensiku dengan riang hati sehabis meneleponnya dua kali yang senantiasa disertai canda tawa. Maka tanpa mengabarinya lebih dahulu, pada sebuah siang yang panas nian, kucari rumahnya hingga akhirnya ketemu. Aku percaya diri belaka, tanpa seorang teman pun pergi ke sana. Siapa tahu kehadiranku menjadi kejutan menyenangkan baginya. Namun, entah kenapa perbincangan kami ternyata berlangsung tersendat-sendat, tidak sebagaimana ketika kami pernah berdialog tanpa bertatap muka.

”Saya pamit pulang saja, ya. Mohon maaf, jika saya sudah mengusik waktu istirahatmu siang ini. Selamat tidur lagi,” kataku seraya memohon diri. Apa yang terjadi sungguh tak sejalan dengan asaku. Kecewalah diriku tentu saja. Serta-merta layulah cintaku sebelum sempat berkembang menjadi sesuatu yang lebih indah. Pernah sekali lagi kucoba mendatangi rumah itu, tapi malah tiada seorang pun yang membukakan pintu. Sesungguhnya tak ingin kukenang kisah konyol ini, tapi akhirnya tercurah kembali gara-gara aku menerima tawaran sahabatku menemaninya ke sebuah tempat ibadat yang lokasinya tak begitu jauh dari rumah dara cantik berhidung mancung itu.

***

Luhur Satya Pambudi, lahir di Jakarta dan tinggal di Yogyakarta. Cerpennya pernah dimuat di sejumlah media cetak dan digital. Kumpulan cerpennya berjudul Perempuan yang Wajahnya Mirip Aku.

***

(4)

Elmo Menolak Bermandikan Air Coklat

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/S2Kqoa6fN0CWPgnX1-pyHa8SjL0=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F07%2F54579e10-216a-4c0d-90f3-1ed1c74e9563_jpg.jpg

Oleh LIA LAELI MUNIROH,  10 Juni 2023

Barangkali ada hujan lebat semalam di gunung. Atau ada sawah terbelah dan terbawa oleh air sungai. Padahal, air sungai itu menjadi kebutuhan semua penduduk hampir satu desa. Jika saja benar ada hujan semalam, pasti ada longsor. Air sungai menjadi coklat. Sejak subuh, suara-suara penduduk desa terdengar nyaring berteriak-teriak. Mereka gempar mendapati warna air sungai yang tiba-tiba kecoklatan.

Kau berusaha sekuat tenaga mengambil air yang kecoklatan itu, lalu menyaringnya dan memasukkan ke dalam wadah ukuran besar. Kau membangunkan ketiga anak kembarmu. Epo, Ezo, dan Elmo. Sejak pagi buta isi tempurungmu diliputi kecemasan. Apakah ketiga anakmu akan mendapati air sungai yang kecoklatan? Bagaimana jika ketiga anak kembarmu enggan mandi. Apalagi hari ini hari pertama masuk sekolah.

Perlahan kau menarik selimut ketiga anak kembarmu. Kau mengatur napas pelan. Epo dan Ezo beringsut menuju kamar mandi. Mereka berdua tampak biasa saja mandi dengan air warna coklat yang telah kau saring. Mereka berdua hanya bertanya, kenapa airnya berubah menjadi kecoklatan. Kau hanya menjawab menerka-nerka. Namun, anak bungsumu, Elmo. Ia kembali berlari ke tempat tidurnya. Wajahnya tampak murung. Selimut gambar jerapah kembali ditariknya. Tubuh mungilnya bersembunyi di dalam selimut itu.

Kau hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Elmo. Kau tidak dapat memberi perlakuan keras kepada anak bungsumu. Karena kau masih ingat saat sulitnya melahirkan anak kembar bungsumu itu. Saat melahirkan anak kembarmu, kau mengira anak kembarmu hanya dua saat itu. Nyatanya masih ada seonggok daging yang bergerak-gerak menyusul keluar dari dalam rahimmu. Ternyata ada anakmu satu lagi. Dialah Elmo. Bentuk tubuhnya lebih kecil dari dua kakak kembarnya yang telah keluar terlebih dahulu.

Kau kembali duduk di ujung tempat tidur Elmo. Dengan penuh kehati-hatian. Kau usap ujung kakinya. Kau sudah tak memikirkan kedua anak kembarmu yang lain. Epo dan Ezo sedang duduk di kursi meja makan menikmati sarapan. Sarapan yang sederhana dan ala kadarnya. Telur mata sapi adalah menu sarapan pagi yang paling mereka sukai.

Perlahan kau tarik selimut gambar jerapah itu. Elmo memang anak yang suka mencari perhatian. Jika diberi perlakuan keras ia akan melawan. Elmo semakin merekatkan selimutnya. Tandanya ia menolak mandi. Kau segera memeluk Elmo, lalu kau bisikan bahasa cinta. Tubuhmu harum sekali, Elmo. Ibu suka sekali. Kamu siap-siap mandi biar tambah ganteng, ya!

Sejenak wajahmu mendongakkan kepala ke arah jam dinding. Jarum pendek mulai bergerak meninggalkan angka tujuh. Sementara jarum panjangnya menuju angka empat. Kau harus segera bergegas. Hari ini hari pertama masuk sekolah. Kau mengelus wajah Elmo. Ia tampak menggeliat mesra. Kau meraihnya, lalu berulang kali kau memeluknya erat penuh kasih. Kau mulai menguasai seluruh tubuh Elmo. Dengan sigap kau menggendongnya menuju kamar mandi. Kedua mata Elmo terbuka lebar dan kembali mendapati air yang kecokelatan.

”Ibu … aku tidak mau mandi dengan air coklat. Nanti tubuhku gatal-gatal. Aku sikat gigi saja.”

Elmo tidak sempat sarapan. Ditawarinya roti isi telur ceplok dan keju lapis untuk dimakan sepanjang perjalanan. Kau harus mempercepat semuanya agar dapat sampai di sekolah tepat waktu. Kau memacu si kuda besi yang kau tunggangi delapan puluh kilometer per jam.

Kau terpaksa menjadi wanita wonder woman. Hampir segala sesuatu kau kerjakan sendiri setelah suamimu meninggal setahun yang lalu. Kau hidup mengandalkan uang pensiun suamimu. Begitulah kau dapat menopang hidup ketiga anak kembarmu. Kau mengangkat kedua ujung bibirmu saat sampai di sebuah bangunan yang dinamakan ’sekolah’.

Bukan. Bukan sekolah layaknya di perkotaan dengan gedungnya yang mentereng. Apalagi dengan berbagai fasilitas sekolah yang memadai. Di sini tidak ditemukan semua fasilitas itu. Sekolah yang didirikan sangat sederhana. Bangunannya terbuat dari anyam bilik bambu. Atapnya terbuat dari jerami-jerami kering yang ditumpuk secara teratur. Itu pun dapat terwujud karena adanya Pak Zay pendatang baru di desamu.

Satu tahun lalu Pak Zay menjadi penduduk resmi di desamu. Ia menikahi gadis desa di kampungnmu dan memilih menetap. Pak Zay mulai resah dengan kondisi kampungmu yang tampak ketinggalan zaman. Ia menggerakkan penduduk dan mendirikan pusat pendidikan untuk anak usia dini. Dengan modal bahan-bahan yang berasal dari alam. Sebuah taman kanak-kanak berdiri di tengah sawah. Semua penduduk berduyun-duyun mendaftarkan anak-anaknya ke sekolah tersebut. Begitu pun denganmu, kau memiliki amanah menjadikan ketiga anak kembarmu mengenyam pendidikan yang layak. Begitulah apa yang disampaikan suamimu sesaat sebelum napasnya berakhir.

Kau hentikan deru mesin kendaraanmu. Kau sandarkan kendaraanmu di bawah pohon kersen. Ketiga anak kembarmu disapa tenaga pengajar. Elmo tampak lebih cepat berbaur dengan temannya. Dadamu terasa lapang melihat ketiga anak kembarmu dapat bersekolah. Kau menatap ketiga anak-anakmu dari kejauhan. Mereka berbaris di depan halaman sekolah. Mereka tampak ceria menggerakkan tubuhnya menari diiringi nyanyian sebelum masuk ke kelas. Mereka terdengar nyaring diajari cara berdoa. Pun mereka meminta kepada Tuhan agar lingkungan sekitar tetap terjaga. Bebas menikmati segala apa yang telah alam berikan.

Kau duduk pada sebuah bangku di bawah pohon kersen. Samar-samar kau mendengar desas-desus ibu-ibu yang mengantar anak-anak mereka. Kau bergeming. Tak memberi sedikit pun argumen kepada ibu-ibu yang sama-sama menunggu.

”Mungkin siang nanti akan jernih lagi airnya. Biasa kan, habis hujan suka keruh airnya.”

”Tapi udah siang gini, airnya tak kunjung jernih.”

”Tahu gak, aku belum mandi sejak pagi, belum masak apa-apa. Gimana nanti pulang sekolah belum ada makanan yang dimasak untuk anakku.”

Pembicaraan ibu-ibu tak kunjung berhenti. Mentari terus meninggi saat semua anak-anak keluar kelas. Mereka disambut ibu-ibunya yang menunggu. Kau gegas menyambut ketiga anak kembarmu. Kau tak banyak bicara lagi saat dipastikan ketiga anakmu sudah duduk di atas kendaraanmu.

Kau menyusuri jalanan yang berbeda. Bukan jalan pulang ke rumahmu. Sepanjang perjalanan kau terus bertanya pada ketiga anak kembarmu. Bertanya tentang pelajaran pertama. Ketiga anakmu kompak menjawabnya.Belajar tentang cita-cita. Kau menahan tawa saat ketiga anakmu mengutarakan cita-citanya masing-masing.

”Kenapa kamu ingin menjadi penjaga lingkungan, El?”

”Aku tidak mau bermandikan air coklat, Ibu. Aku akan menjaga lingkungan agar air sungai tetap jernih. Aku ingin kembali menikmati air sungai yang jernih.”

Kau mengerutkan jidatmu hingga tampak seperti jerami yang kepanasan. Kau terus menyusuri jalan setapak melalui jalur sungai. Kau semakin penasaran, mengapa sampai siang ini, air sungai tak kunjung jernih.

Kau hentikan deru mesin kendaraanmu. Kau sandarkan kendaraanmu di bawah pohon kersen. Ketiga anak kembarmu disapa tenaga pengajar. Elmo tampak lebih cepat berbaur dengan temannya. Dadamu terasa lapang melihat ketiga anak kembarmu dapat bersekolah. Kau menatap ketiga anak-anakmu dari kejauhan. Mereka berbaris di depan halaman sekolah. Mereka tampak ceria menggerakkan tubuhnya menari diiringi nyanyian sebelum masuk ke kelas.

”Ibu … aku sudah lelah. Kita mau ke mana.”

”Kita akan mencari sumber air sungai ini. Kenapa warnanya tak kunjung bersih.”

”Kenapa ibu peduli. Yang lain juga tidak ada yang mencari tahu.”

”Kamu mau mandi pakai air warna coklat terus-terusan? Katanya kamu mau menjaga lingkungan, El?”

Kau menghentikan laju kendaraanmu saat kau melihat buldoser tengah mengeruk-ngeruk tanah. Menjungkirkan bongkahan tanah itu ke air sungai yang mengalir. Undakan tanah dan akar-akar yang muncul ke permukaan dipaksa menyumbat aliran sungai. Sepanjang lima meter sungai itu nyaris dipadati tanah yang dikeruk buldoser.

”Ibu … apa yang mereka lakukan?” tanya Elmo.

”Mereka manusia-manusia serakah.”

”Bagaimana kita mandi, Bu?”

”Kita tidak bisa berbuat apa-apa. Kamu pun tidak dapat mewujudkan cita-citamu, El. Apalah daya kita. Kita hanyalah ikan-ikan yang menjadi korban.”

***

Lia Laeli Muniroh,Pegiat literasi dan penikmat sastra. Bergiat di komunitas menulis NIMU CLUB. Tulisannya tersebar di media massa nasional seperti; Kompas.id, Radar Bromo, Radar Kediri, Radar Banyuwangi, Suara Merdeka, RIAU SASTRA, Idestra, dan Cendana.com. Domisili di pesisir pantai Pangandaran.

***

(5)

Mira Ingin Jadi Batu

-

Oleh MASHDAR ZAINAL, 11 Juni 2023

Malam, sehari sebelum pembagian rapor kenaikan kelas, Mira menatap cermin dalam kamarnya, dia mendengar suara-suara dari dalam dirinya.

Ya Tuhan, mengapa anak ini bodoh sekali. Mengapa dia tidak bisa memahami angka-angka, penjumlahan, pengurangan, bilangan pecahan, soal cerita. Ah, apa itu semua? Mengapa teman-temannya pintar dan dia tidak pintar? Padahal hampir setiap malam Mama menyuruhnya belajar. Tapi dasar, dia memang tidak suka belajar. Apa itu belajar? Memelototi buku-buku penuh tulisan, penuh angka, penuh tanda-tanda aneh. Bikin kepala pusing saja. Lebih asyik menggambar, mewarna, bikin komik. Tapi sayang, komik tidak diujikan di sekolah. Aduh, berarti dia tetap saja bodoh. Dan besok pasti dia tidak naik kelas.

Mira memelototi sosok dalam cermin. Tidak tersenyum. Rasanya dia tidak mengenal baik sosok dalam cermin itu. Dia hanya tahu, gadis dalam cermin itu adalah gadis paling tolol di kelas. Tak pernah dapat nilai bagus. Tidak banyak disukai teman-teman. Dan selalu menjadi bulan-bulanan omelan para guru. Bocah goblok! Bocah tolol! Bocah malas!

Mira menjulurkan lidahnya pada sosok yang ada dalam cermin. Sosok itu turut menjulurkan lidah.

Bagimana Tuhan menciptakan anak sebodoh itu? Tapi kata Pak Huda, guru agama di kelasnya, ciptaan Tuhan itu semuanya sempurna. Tidak ada yang cacat. Tapi mengapa dia bodoh? Apakah bodoh itu tidak sempurna? Apakah bodoh itu sama artinya dengan cacat? Dia masih mengawasi sosok dalam cermin. Hingga pekikan mama dari luar kamar membuatnya terenyak.

”Miraaa! Matikan lampunya dan cepat tidur! Besok pagi kita ambil rapormu. Kita lihat apa kamu bakal naik kelas atau mendekam di kelas empat!”

Mira tak ingin pagi datang terlalu cepat, tidur terlalu cepat membuat pagi datang lebih cepat. Tapi. Bagaimanapun, Mira tak mungkin membantah mama. Maka dia lekas berangkat tidur. Dan Mira tak menyangka, pagi datang jauh lebih cepat dari dugaannya.

Suara mama menggema dalam kamar, menyuruhnya bangun dan bersegera. Mira bergegas, dia benar-benar merasa seperti mesin yang harus lekas sibuk, harus lekas bekerja. Perjalanan dari rumah ke sekolah terasa begitu menjemukan. Sepanjang perjalanan, di belakang mama, di atas jok motor yang berderit-derit, Mira memejamkan mata rapat-rapat. Ketika motor mama berhenti, dia membuka mata dan tiba-tiba dia sudah berada di sekolah. Segala sesuatu yang dia takutkan selalu datang tepat waktu. Begitu sampai di depan kelas, dia hanya duduk diam di bangku panjang yang berjajar di sana. Terkembang layar kecemasan di wajahnya. Kejadian itu selalu terulang, hampir tiap semester, tiap tahun. Entah kenapa, setelah menerima rapor, mama selalu berubah menjadi naga yang ganas. Benar-benar persis.

Dia teringat semester lewat. Selepas pembagian rapor, begitu mama keluar dari ruang kelas, mama langsung menyeretnya pulang. Dalam perjalanan pulang, wajah mama masam dan kaku seperti arca raksasa. Mira menyembunyikan ketakutannya dalam diam. Sampai di rumah, mama langsung mendudukkannya di kursi tamu. Sangat kasar.

Rapor dibanting di atas meja dalam keadaan terbuka. ”Lihat nilaimu. Lihat! Merah semua! Kamu selalu bikin malu Mama. Tak pernah bisa bikin Mama bangga!”

Mama mendorong-dorong jidat Mira dengan jari telunjuknya. Seperti hendak mencocok matanya. Dari dalam lembar rapor itu, tiba-tiba Mira melihat angka-angka merah perlahan bergerak dan terbang menjadi naga-naga mungil yang menyemburkan api. Ekornya dikibas-kibaskan serupa tamparan. Naga-naga itu terbang perlahan mengitari kepala mama, lalu menyusup satu per satu ke dalam kepala mama melewati ceruk telinga. Dia melihat Mama menghela napas berat, sebelum menyemburkan api dari mulutnya disertai tamparan dan cubitan di paha. Bertubi-tubi. Dan itu kerap terjadi.

***

Mira berdiri dari duduknya. Masih menunggu. Harap-harap cemas. Beberapa kali, dari kaca jendela, dia mengintip ke dalam kelas yang pintunya tertutup. Tampak Bu Guru Karti berdiri di depan kelas, mulutnya komat-kamit menjelaskan sesuatu, sesekali tangannya memperagakan ucapannya yang entah apa. Dia melirik mama yang duduk di bangku nomor tiga dari belakang. Kembali terkilas dalam kepalanya, jika sampai dia tidak naik kelas, pasti mama akan berubah menjadi naga yang lebih ganas. Berapa tamparan yang musti dia dapat hari ini? Berapa cubitan?

Mira kembali duduk. Masih dalam gelisah. Dia menilik teman-temannya yang tengah asyik bermain congklak, beberapa ada yang bermain lompat tali sambil cekikikan. Anak laki-laki juga tampak begitu ceria, menendang bola, menyundul bola, dan berteriak ’goool’ ketika bola masuk ke dalam gawang. Sekilas Mira menyunggingkan senyum. Betapa cerianya mereka. Mira jadi bertanya-tanya, apakah mereka tidak khawatir jika nilai rapor mereka berwarna merah? Ataukah mama mereka tidak pernah marah ketika nilai rapor mereka berwarna merah? Mira sungguh ingin jadi seperti mereka. Ingin punya mama seperti mama mereka.

Mira mengabaikan semua itu. Dia menyesal. Hampir saja dia membenci mama. Untungnya dia teringat pelajaran agama tentang berbakti pada orang tua. Dia teringat pesan Pak Huda, betapa beruntungnya anak-anak yang masih memiliki orang tua. Dia juga teringat cerita Malin Kundang yang pernah dia baca di perpustakaan sekolah, kisah si anak durhaka. Mira membayangkan, jika dia membantah kata-kata mama, bisa-bisa dia dikutuk menjadi batu, seperti Malin Kundang. Duh, bagaimana rasanya dikutuk menjadi batu?

***

Mira tersentak dan hampir terjungkal dari bangku ketika mendengar suara entakan pintu kelasnya terbuka. Dia memperhatikan para orangtua berbondong-bondong keluar dari ruang kelas. Beberapa ada yang tersenyum, namun ada juga yang mukanya ditekuk ke bawah. Mereka berbisik satu sama lain, hingga suara itu tampak seperti dengungan lebah. Namun, kebanyakan dari mereka tampak sangat bahagia. Orangtua yang memeluk dan mencium kening anaknya. Dua hal yang tak pernah dilakukan mama Mira terhadap Mira.

Mira hanya terbengong-bengong melihat pemandangan di hadapannya. Dia cemas sekali. Satu per satu orangtua keluar dari ruang kelas. Tapi mamanya belum. Dia kembali mengintip ke dalam ruangan. Tak ada seorang pun kecuali mamanya dan Bu Guru Karti yang tengah duduk berhadap-hadapan, dengan wajah serius. Mira mencium firasat kurang enak. Mengapa mama dipanggil terakhir dan sendirian? Apakah Mira tidak naik kelas? Yang dia amati, jika ada orangtua dipanggil sendirian, lalu mengobrol agak lama dengan wali kelas, artinya anaknya tidak naik kelas. Mira semakin takut dan mengkerut. Keringat dingin mulai mengembun di dahinya.

Rasa takut itu membuat tubuh Mira gemetar hebat, dadanya sesak dan mendadak air mengembang di pelupuk matanya. Kepalanya juga mulai terasa pening. Seperti berputar-putar. Mira memejamkan mata, mengepalkan telapak tangannya erat-erat, mencengkeramkan jari-jari kakinya dalam sepatu, mengadukan gigi-giginya, sambil terus mengeram. Dengan begitu, dia berharap tubuhnya tidak berguncang karena tangisan. Mira melakukannya hingga detik dan menit mulai berlalu. Hingga dia merasa seluruh tubuh dan sendi-sendinya terasa pegal dan kaku. Seperti mau jadi batu.

Berkelebat beberapa nasihat dalam kepala Mira. Anak yang mengecewakan orangtua dan tak pernah membuat bangga orangtua termasuk anak durhaka. Seperti Malin Kundang. Bakal jadi batu. Mendadak Mira berpikir, barangkali begitulah rasanya, ketika Malin Kundang hendak menjadi batu. Tubuhnya mulai terasa pegal dan kaku.

Mungkin aku mau jadi batu. Tapi, kalau dipikir-pikir jadi batu sepertinya tidak terlalu buruk. Aku tak perlu lagi menangis bila dipukul mama. Tak perlu gemetar bila diteriaki mama. Dan yang paling penting, tak perlu lagi berhadapan dengan rapor beserta angka-angka merah yang ada di dalamnya. Aku mau jadi batu saja. Aku mau jadi batu saja.

Mira terus memejamkan mata. Bahkan, ketika mama keluar dari dalam kelas dan dengan wajah bersungut-sungut menyeru Mira untuk ikut pulang, Mira masih saja berdiri dengan mata terpejam.

”Miraaa!” Mira mendengar suara pekikan Mama, tapi dia tak mau pergi dari tempatnya, sebab tak lama lagi dia bakal jadi batu. Mama memekik lagi. Mira masih bergeming. Sampai Mama menyeret tangan Mira, dan membuat tubuh Mira yang kaku roboh ke tanah.

Mengapa terjatuh membuat lutut dan tanganku sakit? Apakah menjadi batu tetap bisa membuatnya merasakan sakit?

Mama terus memekik-mekik, sambil berusaha menyeret Mira. Mira tak bersuara. Matanya terus terpejam. Guru-guru berdatangan. Teman-teman Mira berkerumun. Mira tak perlu tahu kalau dia dan mamanya sudah jadi tontonan orang satu sekolahan.

Aku mau jadi batu! Aku mau jadi batu!

***

Ngijo, 2022

Mashdar Zainal, lahir di Madiun 5 Juni 1984, penyuka puisi dan prosa. Tulisannya tersiar di beberapa media cetak dan daring. Telah menerbitkan beberapa novel dan buku kumpulan cerpen. Salah satu novelnya, Kartamani, Riwayat Gelap dari Bonggol Pohon, Penerbit Basabasi, 2020. Kini bermukim di Malang.

Buana Artian, lahir di Bandung, 19 Mei 1995. Menempuh pendidikan di Jurusan Pendidikan Seni Rupa FPSD UPI Bandung, lulus tahun 2018. Tahun 2019 mendirikan unit kebudayaan di koperasi LKN Manggala Giri, Lembang, Bandung. Meraih Himasra Art Award GSPI Bandung (2016). Turut dalam pameran Paradox, Lawangwangi, Bandung dan Melancholy by Parahyangan Fair Bumi Sangkuriang Bandung

***

(6)

Sebuah Cerita Pendek di Meja Kafe

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/fbcLdxAYIzPhoHcL0IhBcD_nQZ4=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F14%2F3a6cf630-9674-4142-9222-61d6c9b1c0c1_jpg.jpg

Oleh ALEXANDER ROBERT NAINGGOLAN, 15 Juni 2023

Untuk Sandi Firly

Apa yang bisa kau tebak dari waktu? Waktu yang kerap kali melingkar. Berputar dan kembali lagi pada titik semula. Ia mendapati dirinya sendiri di meja kafe, membaca sebuah cerita pendek. Sendirian. Sunyi berbalur dengan denting-denting instrumentalia dari bilah-bilah piano. Sebuah lagu dari Yiruma, melenting jauh, menebar hening dari jubah malam yang semakin malam. Ia masih memegang selembar surat kabar dengan cerita pendek di hadapannya. Cerita pendek yang termuat dengan judul Suatu Malam, Ketika Puisi Tak Mampu Ia Tulis Lagi. Ah, betapa setiap jalinan kalimat, jejalan fragmen yang terpampang di narasi itu dengan segera mengulitinya.

Ia membacanya perlahan-lahan. Kafe semakin temaram, ditemani dengan lampu meja yang pendar, gelas yang tinggal setengah isinya. Mendadak dadanya merasa terbelah. Seperti ditusuk oleh belati. Ada nyeri yang tertinggal di sana, ada genangan yang segera berkemah di kantung matanya. Meskipun tubuhnya tak berdarah.

Memang dulu, bertahun-tahun lalu, orang-orang mengenalnya sebagai penulis puisi di kota ini. Penyair, demikian sematan dari orang-orang yang takjub dan kagum dari setiap puisi yang dituliskannya. Pun banyak kritikus yang tak mampu mencela puisi-puisi yang dituliskannya, tak menemukan celah sedikitpun untuk mengumpat puisi-puisinya. Akhirnya yang keluar dari mulut para kritikus itu hanyalah sanjung dan pujian.

”Diksi-diksinya hebat.”

”Kata-katanya padat.”

”Jika Chairil Anwar mata kanan, Sutardji mata kiri. Puisi-puisi dari penyair Pedro adalah kedua bola mata dari dunia perpuisian.”

”Ia adalah Hermes sejati.”

”Inilah maestro. Calon penerima hadiah nobel puisi dari negeri ini.”

Nyatanya, bertahun-tahun kemudian, ia ternyata telah buntu untuk sekadar menulis puisi. Ia tak lagi menulis puisi. Ia merasa segala inspirasi, imajinasinya atau kata-katanya telah habis. Ia seperti telah dikuliti oleh kenyataan yang lain. ia merasa tak pernah sanggup untuk menuliskan puisi. Dan nyatanya hari-hari terus berlalu, dunia dan negerinya dilanda pandemi. Jalanan mendadak sunyi. Orang-orang mengenakan masker, kantor-kantor, restoran-restoran banyak yang tutup.

Bahkan dengan kondisi negeri yang dilanda wabah, yang begitu banyak ngilu misteri dari sunyi, di mana setiap orang melakukan isolasi diri sendiri. Pandemi yang seharusnya meninggalkan banyak ruang imajinasi. Namun dirinya tak mampu menuliskan puisi. Meskipun ia senantiasa siap sedia membawa bekal notes atau pulpen di kantung jaket atau tas selempangnya. Barangkali ada insipirasi yang hinggap tiba-tiba, dengan begitu ia akan sigap dengan segera mencatatnya.

Pun saat dirinya mencoba kerja kepenyairan yang dilakukan Chairil Anwar dengan mengorek kata sedalam-dalamnya. Ia menulis satu kata, mencoretnya lagi, menuliskannya lagi mencoretnya kembali. Demikian berulang-ulang dilakukannya. Ia tak lagi sanggup menorehkan kata-kata yang baru, hanya didapati kertas yang dipenuhi dengan coretan. Ia merasa hanya bertemu dengan diksi yang serupa. Tak ada kedalaman, tak ada kesegaran.

Meskipun ia teringat saat bertemu Sutardji di stasiun kereta, saat itu ia mengisahkan jika dirinya telah buntu menulis puisi. ”Sabarlah tak perlu tergesa, kelak kata-kata akan mencarimu kembali,” hanya kalimat itu yang terngiang di kepalanya.

*

Hari ini ia mulai menulis puisi lagi. Hal itu terjadi dengan sekejap saja. Sebagaimana juga waktu yang kerap melingkar dan senantiasa melangkah dan menuju titik mula. Saat pandemi wabah sudah berkurang dan dunia kuliner kembali gemerlapan. Jalanan kembali macet. Ketika ia sedang berdiam di kafe memesan secangkir macchiato. Seorang perempuan di meja seberang duduk sendirian, menyapanya, melambaikan tangan dan mengajaknya bergabung satu meja.

”Apakah aku mengenalmu?” ia bertanya dengan spontan

”Tentu, nanti kita akan saling kenal. Tapi aku sesungguhnya telah mengenalmu terlebih dahulu. Kau adalah penyair yang puisinya selalu dipuja orang. Puisinya yang selalu dibacakan di berbagai kesempatan.”

”Itu dahulu, sudah bertahun-tahun aku tak lagi menulis puisi.”

”Isabela.”

”Pedro.”

Sejak hari itu, inspirasi yang tak kunjung menghampirinya bertahun-tahun seolah kembali dengan seketika. Sebagaimana petir di siang bolong, diksi demi diksi mengalir deras seperti air bah di kepalanya. Semua peristiwa seakan melahirkan pengalaman puitik. Saat dirinya berjalan menelusuri jalanan sepanjang kota. Saat ia memeluk tubuhnya di ujung gang. Saat wangi parfumnya bersentuhan di jaketnya. Ketika ia bercinta. Ketika mereka berciuman dengan hangat. Ketika mereka duduk berjam-jam di sebuah kafe kecil.

Mereka seolah pinang dibelah dua. Saling melengkapi. Semacam perpaduan Mahatma dan Dalai Lama.* Dan mulai hari itu, puisi-puisi kembali dituliskannya. Hampir semua media di negeri ini memuat puisi-puisi yang dituliskannya. Dan kembali sanjungan menggema.

”Akhirnya penyair kita telah kembali. Percayalah setelah ini nobel puisi akan diraih negeri ini…”

”Puisi kembali jadi mode kekinian.”

”Puisi ini akan abadi.”

*

”Suka atau tidak suka aku memang harus pergi meninggalkan Pedro,” ucap Isabela pada Nanda, waitress kafe yang juga sahabat lamanya di kafe. ”Dadaku sudah terlalu penuh. Puisi-puisinya harus segera berhenti, sebelum cintaku memudar atau sebelum cintanya beralih kepada yang lain. Ia harus abadi sebagaimana juga puisi yang dituliskannya. Ia mesti tak ada supaya puisinya selalu ada. Dan kau hanya harus menaburkan sedikit di cangkir minumannya.”

Isabela memberikan serbuk sianida dalam bungkusan plastik kecil.

”Tapi…,” kejar Nanda.

”Tak perlu bertanya lagi, tolong demi persahabatan kita. Asmara ini harus berakhir. Ia pemuja Eros sejati, aku tak lagi sanggup…”

Tangisan yang luruh membuat Nanda menganggukkan kepalanya.

*

Dadaku sudah terlalu penuh. Puisi-puisinya harus segera berhenti, sebelum cintaku memudar atau sebelum cintanya beralih kepada yang lain. Ia harus abadi sebagaimana juga puisi yang dituliskannya. Ia mesti tak ada supaya puisinya selalu ada. Dan kau hanya harus menaburkan sedikit di cangkir minumannya.

Ia, lelaki itu berdiam diri di meja kafe, lampu-lampu tumbuh menebar cahayanya yang penuh dengan pijar putih, malam semakin sunyi. Perempuan yang ditunggunya tak kunjung datang. Segalanya seperti pudar dengan sekejap. Tak ada lagi kabar yang bergetar di telepon selulernya. Perempuan itu menghilang seperti hantu. Nomor teleponnya hanya meninggalkan dering telepon panjang yang kering. Tanpa jawaban.

Tiba-tiba ia teringat tentang kematian. Firasat yang terus tumbuh. Cemas yang bergemuruh. Semakin ia tenangkan diri dan hati, semakin dekat bayangan maut itu menyergap. Tiba-tiba ia seperti dihipnotis jika ajalnya sudah dekat. Seperti di pangkal lehernya. Maut yang menguntit dan menjepit tubuhnya. Maut yang bercakap dengannya sepanjang hari.

Dini hari yang dingin. Partikel embun merayap di daun pintu dan jendela kafe. Lelaki itu menunduk dan menyanggahkan kepalanya pada tangan yang terlipat. Di hadapannya ada secangkir macchiato yang tinggal setengah. Juga sesobek cerita pendek berjudul ”Suatu Malam, Ketika Puisi Tak Mampu Ia Tulis Lagi”, dengan lembaran yang telah menguning. Lembaran koran yang tertindih lengan sebelah kanannya. Lembaran yang begitu sering dibawanya untuk dibaca berulang-ulang. Di ujung bibirnya ada buih-buih putih. Matanya terpejam dan nafasnya sudah tak terdengar lagi. Malam memasuki pagi. Di kejauhan terdengar musikalisasi dari sebuah puisi:

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan kata yang tak sempat diucapkan

Kayu kepada api yang menjadikannya tiada **

2020-2023

Catatan:

* Ingatan pada bait lagu dari Panji Sakti.

** Puisi Sapardi Djoko Damono, ”Aku Ingin”, yang populer dinyanyikan oleh Ari Reda.

***

Alexander Robert Nainggolan (Alex R Nainggolan) lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Bekerja sebagai staf Unit Pengelola Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPPMPTSP) Jakarta Barat. Menyelesaikan studi di Jurusan Manajemen FE Universitas Lampung. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di media cetak dan online. Bukunya yang telah terbit Rumah Malam di Mata Ibu (kumpulan cerpen, Penerbit Pensil 324 Jakarta, 2012), Sajak yang Tak Selesai (kumpulan puisi, Nulis Buku, 2012), Kitab Kemungkinan (kumpulan cerpen, Nulis Buku, 2012), Silsilah Kata (kumpulan puisi, Penerbit basabasi, 2016), Dua Pekan Kesunyian (kumpulan puisi, Penerbit JBS, 2023).

***

(7)

1998-2023

-

Oleh A.M. LILIK AGUNG, 17 Juni 2023

1998

Keluar dari ballroom hotel bintang empat, tanganku melingkar ke pinggang Dinda. Ini malam keenam aku berhasil mengajak Dinda keluar dari kosnya. Malam ini kami menikmati musik jazz yang rutin sebulan sekali dihelat di hotel ini.

”Malam ini sungguh heroik. Tulisan-tulisanmu. Orasimu. Semua menggugat tentang kesenjangan, ketidakadilan. Justru kita menikmati jazz di tempat ini. Jejaring kapitalis,” Dinda berbicara lirih.

”Jangan dilihat tempatnya, Dinda. Tapi musiknya. Jazz, akarnya perlawanan. Musik pemberontakan,” aku berkilah. Cubitan kecil Dinda mampir ke pipiku.

Dinda nan ayu. Mahasiswi tehnik industri. Telah mencuri hatiku.

Pintu kamarku digedor kencang. Jam sebelas malam. Aku buka. Sihombing dengan wajah penuh ketegangan. ”Manuputty diciduk. Entah di mana sekarang. Lima belas menit lalu, Saiful berkabar, Wayan hilang tiada kabar!” Belum sempat Sihombing meneruskan bercerita, aku sudah masuk kamar kembali. Kusambar helm, kukenakan jaket kulit.

”Ayo!” kataku mengajak Sihombing menuju garasi motor. Hujan lebat. Tiada kuhiraukan. Kuboncengkan Sihombing ke arah utara, keluar kota. Tempat persembunyian paling aman, seminari. Berjubah dan berbaur dengan para calon pastor Katolik, Sihombing tidak akan ditemukan aparat.

Namanya Saiful. Arek Malang ini mahasiswa IAIN. Kuliah di Yogya bermaksud memperdalam hukum agama. Justru ruang-ruang diskusi dan sudut-sudut jalanan menjadi aktivitasnya. Saiful organisatoris handal. Piawai menyusun simpul-simpul gerakan mahasiswa dari berbagai kampus. Perbedaan pendapat antar aktivis, menjadi cair oleh kepintaran Saiful mendekati secara personal.

Dua minggu Saiful hidup di kos. Dua minggu selanjutnya tinggal di rumahku. Kiriman uang dari orang tuanya habis untuk logistik demonstrasi. Satu kamar lebar yang memang sengaja disediakan oleh bapakku untuk kumpul-kumpul aktivis menjadi rumah kos kedua Saiful. Tentu aneka makanan yang disediakan ibuku dan tersedia kapan saja, menjadi alasan kuat Saiful banyak tinggal di rumahku. ”Breaking the law…breaking the law…,” lagu dari Judas Priest yang keluar dari tape compo, berlomba dengan lengkingan suara Jonatan. Aku buka pintu kamar kos dan berteriak ke arah Jonatan, ”Kau ditunggu kawan-kawan yang sudah meriung di Gedung Pusat!” Segera Jonatan menyambar baju flanel lengan panjang. Berboncengan motor, kami menuju Gedung Pusat. Lokasi utama demonstrasi.

Di atas panggung demonstrasi, penampilan Jonatan sangat flamboyan. Intonasi suaranya. Bahasa tubuhnya. Kosa kata orasinya. Didukung wajah tampannya. Memukau peserta demonstrasi. Hobi Jonatan lainnya, minum bir. Klop bila teman-teman memanggilnya Cino Edan.

Kuliah yang diambil Umboh adalah Fakultas MIPA. Namun kamar kosnya dipenuhi berbagai buku sastra, kebudayaan, dan filsafat. Umboh pemikir kebudayaan garda depan. Gagasan-gagasannya tentang kemajuan bangsa berbasis pada kebudayaan bertebaran pada berbagai media cetak. Lelaki asli Manado ini memang bukan penggiat demonstrasi jalanan. Dia lebih memilih kelompok diskusi.

”Soekarno yang penuh gelora memang membangkitkan perlawanan rakyat melawan penjajahan. Namun ingat, di belakang Soekarno ada Hatta dan Sjahrir yang dengan tekun menyusun desain besar Indonesia masa depan. Aku ingin seperti Sjahrir,” ucap Umboh kepadaku. Aku dukung pilihan Umboh. Dalam sebuah gerakan, tetap saja diperlukan pemikir-pemikir dengan gagasan besar.

*

2023

Pesan WhatsApp masuk ke ponselku. Dari Sihombing. Aku baca, ”Agung, dua puluh lima tahun reformasi harus kita rayakan. Dirimu dan rumahmu tak bisa kami lupakan, sebagai simpul gerakan mahasiswa. Aku sudah menghubungi Saiful dan Umboh untuk datang. Jonatan, pas kebetulan ada di Indonesia.”

Rumah masa lalu tetap aku tinggali. Bapak dan ibu pindah ke Kulon Progo, menikmati hidup dengan bercocok tanam. Adik semata wayangku menikah dengan laki-laki Australia, kemudian tinggal di Sydney.

Jika aku memilih profesi sebagai dosen tehnik di almamater, Sihombing tetap aktivis sejati. Lulus dari Fakultas Ekonomi langsung masuk partai politik yang lahir di era reformasi. Perjalanan panjangnya di partai, menjadikan dia sekretaris jendral partai.

Hari ini, justru Jonatan yang paling awal datang ke rumah. Jam sepuluh pagi dia sudah sampai.

”Rute perjalananku, New York, London, Abu Dhabi, Jakarta, Yogya. Perjalanan yang sangat panjang,” kata Jonatan. Dia buka kopernya. Sebotol wine. ”Bir tidak ada di Kitab Suci, yang ada adalah anggur. Maka, aku bawa anggur untukmu.” Selera humor Jonatan memang cerdas.

Otak Jonatan memang brilian. Lulus dari Fisipol, mendapat beasiswa kuliah master di London School of Economics. Tiga tahun bekerja di PBB. Balik kuliah ambil doktor di Harvard Kennedy University. Bergelar doktor, justru pilihan hidupnya berbelok. Menjadi pastor Katolik. Mengelola gereja di kampus Fordham University, sekaligus menjadi dosen.

Suara bariton Sihombing terdengar jelas dari luar rumah. Pintu aku buka, langsung Sihombing memeluk erat diriku, ”Apa pun posisi dan profesi kami, kau tetap ketua kami, Gung!” Melepas pelukan, gantian Sihombing menatap Jonatan. ”Cino Edan kok bisa jadi pastor ya? Kalau kau melayani di gerejaku, pasti aku akan pindah gereja.” Sihombing tertawa keras.

Saiful, datang sepuluh menit berikut. Dengan pengalaman sebagai ketua ormas agama, membawa Saiful masuk partai politik yang justru partai politik itu pada masa lalu didemo mau dibubarkan Saiful. Tapi, apalah bedanya partai politik lama dan baru. Hari ini sama saja. Ideologinya cair. Kemarin berkongsi, hari ini berseberangan, entah lusa. Seperti hari ini. Partainya Saiful mendukung pemerintah, partainya Sihombing menjadi oposisi.

Umboh paling akhir datang. Menarik melihat perjalanan karier Umboh. Kuliah jurusan MIPA, justru S2 dan S3 ambil ekonomi. Bukan sembarangan kuliah Umboh. Master di University of California, Berkeley. Doktor diraih di Yale University. Sebagai birokrat, Umboh menduduki direktur jendral di kementerian keuangan.

Berlima kami meriung. Usia menjelang kepala lima tidak menghentikan kehebohan kami seperti tiga dekade silam. Kami mengumpat, khas umpatan-umpatan masa lalu. Mengolok-olok Jonatan, yang sampai detik ini kami berempat tidak percaya Cino Edan ini menjadi biarawan. Mengejek Saiful yang dahulu dengan lantang akan membubarkan partai politik, justru sekarang menjadi juru bicara partai politik itu.

Mencecar Umboh apakah tetap menjadi Don Juan yang suka berganti-ganti wanita. Masa lalu, Umboh konsisten dengan teori kelasnya Marx, namun tidak konsisten apabila memacari gadis. Tentu kami mengata-ngatai Sihombing yang lebih banyak membual daripada berbicara berbasis fakta di televisi.

Rokok tidak pernah rihat dari mulut Sihombing. Tiga kaleng bir sudah tandas ditenggak Jonatan. Saiful bak bartender, mengolah aneka kopi. Lalu Umboh berkata. Kali ini serius. ”Hombing, hati-hati kau. Jangan terlalu culas. Duit yang masuk ke rekening ajudanmu, adikmu, sepupumu, sudah terlalu jumbo. Rem-lah. Kalau tidak, aku tidak bisa menunda membubuhkan tanda tangan untuk memeriksa dirimu.” Sihombing diam, tanpa komentar.

Kemudian Umboh menatap Saiful. ”Ful, bilangin ke ketua partaimu. Jangan menjadikan ATM menteri yang menjadi wakil partaimu di pemerintah. Lubang-lubang yang dibuat menteri dari partaimu sudah terlalu banyak. Satu-dua lubang lagi dibuat, menteri partaimu akan diciduk.”

”Ya… ya… segera aku koordinasi dengan ketua,” Saiful meraih secangkir kopi dan menenggak habis.

Waktu terlampau cepat bagi kami. Kepentingan masing-masing yang membuat kami berpisah. Sore hari mereka berpamitan. Betapa bahagianya aku melihat persahabatan kami yang terjaga erat tiga dekade. Posisi rawan yang dilakoni teman-teman, diingatkan oleh teman yang lain.

Senja ketika lampu rumah mulai aku nyalakan. Pintu diketuk. Aku buka. Seketika metabolisme di tubuhku menjadi kacau. Dinda! Ya, Dinda gadis ayu yang mencuri hatiku, tepat di hadapanku.

”Teman-teman sudah pulang?” Dinda memecahkan kebisuan.

”Ya… ya… sejam lalu,” tergugup aku berucap.

”Sihombing mengabari aku siang sampai sore hari ini ada reuni di rumahmu,” Dinda melanjutkan bicaranya. ”Boleh aku masuk?”

”Ya, ya. Dengan senang hati.”

Duduk berdua, berhadapan.

”Sengaja aku terbang dari Singapore untuk mendatangi pertemuan ini. Sengaja pula aku datang ketika teman-teman sudah pulang. Bagaimana kabarmu?”

”Ya begini ini,” jawabku pendek.

Sayang aku tidak siap dengan pertemuan ini. Pikiranku berpetualang entah ke mana. Pembicaraan dua arah tiada terjadi. Kaku adanya. Tidak lebih lima belas menit Dinda berpamitan. Tidak nyaman dengan suasana yang begitu kaku lagi formal.

”Ini untukmu, Agung.” Dinda menyerahkan sebotol wine untukku. Kuterima pemberian Dinda.

Dinda berjalan. Baru tiga langkah, aku berkata. ”Dinda, boleh aku mencium pipimu?” Dinda menghentikan langkah. Membalikkan badan. Aku pandangi lekat wajah Dinda. Dua ciuman mampir ke pipi Dinda.

”Maafkan aku, Agung.…” Ada butiran air pada mata Dinda. Sebelum jatuh, Dinda melanjutkan berjalan. Menutup pintu.

Dinda nan ayu. Kekasihku. Menikah dengan lelaki pilihannya. Untuk kemudian tinggal di Singapore. Aku tetap di sini. Di rumah ini. Sendiri.

***

AM Lilik Agung, konsultan SDM yang banyak menulis ulasan kepemimpinan serta manajemen pada berbagai media. Menulis empat buku fiksi yang diterbitkan Elex Media Komputindo. Buku kumpulan cerpen kelima Sketsa Urban terbit pertengahan tahun 2023 ini.

***

(8)

Kebaya Merah di Tebing Kanal

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/rRHoiyyTIjg11SQDjlROPTaBm_k=/1024x1462/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F16%2F3f798fc9-1e6b-4133-92e6-4df394e57142_jpg.jpg

Oleh MARTIN ALEIDA. 18 Juni 2023

Berulang kali. Tak terhitung. ”Mas..,” bujuknya. Suaranya gemetar terpantul dari jendela kaca. Aku merapat ke punggungnya. Mengikuti arah nanap matanya. Membelai pundaknya, mendamaikan gedebur gelombang perasaan yang tak kuasa dia arungi.

”Lihat Mas,” telunjuk mengarah ke kanal di bawah. ”Itu Ibu..,” katanya untuk kesekian ratus kali dalam sekian tahun, sejak kami mendamparkan diri di Belanda ini. Dia membujuk mataku menyisir tubir tebing yang lengang. ”Mas, lihat… Ribuan kawan-kawan Ibu berjejer menunggu kapal yang akan mengangkut mereka ke pulau pembuangan. Menggunakan kapal perang. Ke mana lagi kalau bukan ke Buru…”

”Lihat,” dia merengkuh bahuku. Menunjuk dengan jari gemetar, ucapnya dengan lenguh napas yang berdesakan. ”Itu tuh… Yang itu, Ibu,” deru suaranya sambil merapatkan kening ke jendela. ”Ya, yang di tengah itu. Yang kebayanya merah compang-camping. Cepat telepon, panggil polisi. Selamatkanlah Ibu, Mas! Ini kejahatan luar biasa di negara si penjajah ini.”

Lagi-lagi aku tak bergerak memenuhi permintaan yang sudah tak terhitung berapa kali didesakkannya. Yang ditunjuknya di sepanjang kanal itu tak-lain-tak-bukan hanyalah tebing dengan pepohonan yang kesepian, sesekali diterpa riak yang keruh. Kalau musim dingin, tepi kanal itu berselimut salju. Di musim seperti itu, bukan salju yang dia lihat. Bukan pepohonan yang berjejer membeku. Tetapi, Ibunya. Mertuaku. Yang keberadaannya entah di mana di hamparan pulau, nun jauh di bawah sengat Khatulistiwa…

Rubiah tak kuasa mengatasi gelombang yang berdesakan di dalam dirinya, menyusul runtuhnya Tembok Berlin. Terutama setelah dapat kabar yang sangat terlambat, tentang gerombolan yang dibiarkan tentara menyudahi hidup Ayahnya.

Kabar itu terlambat. Terlalu terlambat tibanya di Berlin Timur, tempat aku bekerja sebagai koresponden. Pekerjaan yang harus kutinggalkan sebagai dampak tercerai-berainya satelit Uni Soviet. Terutama untuk menghindari pengejaran oleh kekuasaan baru di Indonesia, yang mengirimkan dinas intelijen militer ke seluruh daratan, untuk membuat semua pembangkang ”orde baru” berlutut. Yang menyebarkan pandemi kematian berdarah di seluruh negeri.

Kabar yang terlalu terlambat. Getir. Tambah meremukkan batin Rubiah. Begini bunyinya. Supaya tak merepotkan, tentara menunggu Ibunya melahirkan lebih dulu, barulah dijemput dengan bedil. Digiring ke luar rumah. Bersama bayi di dalam dekapan, dengan tali pusar belum mengering, Ibu dihardik supaya mempercepat langkah naik ke dalam truk. Dia dilarikan, dijorokkan ke dalam penjara Bukit Duri. Empat puluh hari kemudian, Tante bayi perempuan itu dipaksa datang ke penjara untuk mengemong pulang keponakannya. Ibu harus dibuang ke Plantungan. Si bayi disapih dari tetek yang suci. Ditinggalkan Ibunya, adik Rubiah paling bungsu itu terpaksa me-ngempeng pada tetek sapi dalam bentuk susu formula.

Pulang ke negeri sendiri adalah angan-angan yang sama dengan bunuh diri. Ibu Pertiwi sudah jadi negeri yang dikuasai jin. Tak siapa pun berani kembali, kecuali dalam angan-angan dengan bayang-bayang kengerian. Rubiah rupanya tak kuasa menanggungkan guncangan yang meremukkan jiwanya.

Kenyataan lain yang dia hadapi adalah keharusan menyingkir dari rumah kami di Berlin Timur. Meninggalkan flat, dengan hati yang berat seperti ditindih batu, mencari negeri tempat berlindung, entah di mana di daratan Eropa ini.

Sesungguhnya dia merasa nyaman hidup bersamaku. Apartemen kami cukup besar. Bukan bandingan dengan rumah kontrakan kami yang berdinding setengah papan separuh gedek di Paseban, Jakarta. Berada di sampingku, dia yang pernah belajar jurnalistik, dapat menyaksikan dari dekat bagaimana mengumpulkan bahan berita, menulis, dan mengirimkannya dengan jalan paling cepat ketika itu: mesin teleks.

Tembok Berlin sudah tumbang. Tak terhitung berapa yang tewas melompati tembok itu mencari kebebasan nyata atau sekadar fatamorgana. Sekarang, sudah tak perlu mempertaruhkan nyawa untuk melompat ke Barat. Aku tak tahu apa yang bergejolak di dalam dirinya. Rubiah menyetujui rencanaku, tanpa keragu-raguan barang sepatah kata pun. Barangkali, dia mengira, itu pilihan terbaik untuk bisa bergabung dengan Ibunya di atas truk menuju tanah pembuangan. Atau menitipkan kembang di arus air Bengawan Solo, berenang-renang mengantarkan wewangian untuk Ayah di surga.

Kami menumpang kereta api. Turun di stasiun Zoologische Garten. Sebagaimana yang diceritakan kawan-kawan dari Afrika, di stasiun itu tak ada pemeriksaan. Kami melenggang berpegangan tangan. Layaknya pengantin yang sudah lama ditunggu-tunggu melintas.

Menginjakkan kaki di Barat, yang dulu kami cerca, Rubiah tak berubah. Namun, dia menunjukkan sikap yang tak terjangkau pikiranku. Dia selalu meneteskan air mata ke kursi angkutan umum bila kami harus berpindah alat angkutan. Tambah merepotkan, sebab setiap kami menginap di hotel, dia selalu mendesak agar bantal dibawa serta ketika check-out. Rubiah tak bisa tidur di bantal yang tak dikenalnya. Dia seperti mencium aroma kematian di bantal yang tak pernah menjadi tempat rebah kepalanya. Jika ada kawan senasib, yang dengan senang hati mengajak menginap di rumah mereka, Rubiah menolak bantal tuan rumah. Diam-diam dia keluarkan sarung bantal dari tas jinjingnya.

Di Aachen, seorang kawan membawa kami ke pos pertemuan Jerman, Belanda, Belgia, di Les Trois Bornes. Yang jadi pembatas negara itu bukanlah beton sekokoh Tembok Berlin. Cuma garis lurus, terbuat dari lempeng metal, bertemu di satu titik. Daun-daun kering kedinginan menari-nari di atas tanah dipermainkan angin benua. Kawan itu mengatakan, titik pertemuan tiga negara itu ditemukan Tentara Merah Jepang. Mereka berpura-pura hiking untuk mencarikan penyeberangan bagi orang Indonesia yang bertekad meminta perlindungan di Belanda.

Keesokan harinya, begitu gelap merayap, kami sudah tinggal selangkah dari garis perbatasan. Sunyi sekeliling. Di depan, membentang hutan pepohonan yang ramah. Lantas batas negara yang terbuat dari baja, yang menghadang langkah kami. Apalah arti pembatas, walau baja, bagi niat yang ingin menyerahkan diri pada sehamparan daratan baru sebagai pilihan hidup. Getir memang, kalau kuingat. Waktu remaja, aku ikut gerilya memerangi Belanda. Kini, aku, dengan menempuh perjalanan jauh, mengendap-endap minta perlindungan di kaki Ratu Juliana.

”Apakah saya harus menelan kertas ini?” tanya Rubiah. Di tapak tangannya yang bergetar tergenggam surat, tentang Ibunya yang harus dibuang.

”Tidak. Itu akan memperkuat alasan kita minta suaka.”

Rubiah mengeluarkan sarung bantal dari tasnya. ”Yang ini, Mas…” Aku mendekapnya. Mengecup matanya. Bibirnya. Menatap kecantikannya yang abadi dalam derai daun yang berjatuhan. Memang, kami dengar sejumlah penyeberang, sebelum melangkah masuk, terlebih dulu menyobek dan mengunyah paspor palsu yang capnya dibuat dari singkong di Tiongkok. Dokumen palsu yang sudah lumat itu tidak dibuang ke tong sampah, sebab polisi bisa melacaknya. Mereka telan bulat-bulat.

”Tak usah.”

Kami tidak sedang mengarungi hutan segelap belantara di Sumatera. Di bawah langit malam, mudah kami mengikuti arah yang dipetakan secara rinci oleh kawan-kawan yang sudah terlebih dulu berada di Belanda. Menjelang matahari terbit, di persimpangan jalan kecil, kami disongsong tiga orang kawan. Seorang mengajak mampir ke sebuah cafe yang baru buka pintu. Sementara dua kawan lain meninggalkan kami, entah ke mana. Tak sempat kami mereguk kopi, kawan yang seorang itu mengajak kami mengikuti dia. Sesampai di sebuah pos polisi, dia meminta kami menunggu. Dia melangkah masuk. Keluar lagi. Mengisyaratkan kami supaya segera ke dalam. “Ditunggu,” katanya singkat. Dan dia menghilang.

Di dalam, polisi menyelidiki perihal pekerjaanku di Berlin Timur. Di antara sekian banyak pertanyaan, yang paling menyakitkan adalah: mengapa memilih Belanda? Tidak kujawab. Aku dan Rubiah saling memandang, tertunduk menatap daun meja.

Kami ditempatkan di penampungan, mirip hotel sederhana. Beberapa pekan kemudian, kami diasingkan ke sebuah kota kecil, sekitar setahun lamanya. Di situ aku mulai berpenghasilan sebagai tukang potong kaca, hingga pensiun 15 tahun kemudian. Niat untuk pulang sudah tenggelam. Di negeri bekas penjajah ini, aku benar-benar merasa dimanusiakan. Manakala uang pensiunku hanya cukup untuk sewa rumah, aku tinggal melapor ke kota praja. Berpuluh tahun kami dihidupi bantuan sosial. Sesuatu yang tak terbayangkan di tumpah darah kepada siapa kami tak mungkin pulang.

Bagi seorang sarjana Indonesia yang hendak meraih gelar doktor, yang kami nikmati itu bukan mukjizat. Yang ingin benar dia ketahui, siapa penunjuk jalan kami.

”Siapa ketiga orang yang menemui Bapak dan Ibu setelah meninggalkan titik perbatasan dekat Aachen?” tanya Hastuti Mulyasari, sarjana ilmu politik asal Surabaya. Pertanyaan serupa sudah berkali-kali dia ajukan. Sekian kali pula kujawab dengan tawa. Kelima kali dia datang lagi. Tak lupa membawa masakan kesenangan kami: bebek panggang dari restoran Thai di tengah kota Amsterdam.

Berbasa-basi dengan pertanyaan yang berulang-ulang tentang pekerjaanku di Berlin Timur, dan di kantorku di Jakarta dulu, dia desak lagi, siapa ketiga kawan yang menjemput kami setelah melintasi perbatasan.

Tak kusangka pertanyaan itu membuat Rubiah naik pitam. Matanya tajam. ”Ah.., tanya lagi, tanya lagi… Sudah berkali-kali dijawab, kami punya kewajiban hidup untuk tidak menceritakan siapa mereka kepada siapa pun. Juga tidak kepada kau. Pecundang..!” Rubiah menyergah. ”Apa kau ini intelijen tentara yang mau menangkap kami? Katakan terus terang..!” Dia berdiri, matanya tak kenal ampun.

Aku bangkit. Merayu dia duduk kembali. Kuajak Hastuti ke dapur, memanaskan bebek panggang yang dia bawa. Kunasihati dengan amat sangat, jangan lagi mengulangi pertanyaan itu kepadaku, apalagi kepada istriku.

Aku kembali ke ruang tamu. Rubiah tak kutemukan di situ. Masuk ke kamar tidur dan kamar mandi. Di situ pun tiada. Berbalik ke tangga. Melompong. Aku berlari ke jendela. Dari balik kaca kulihat Rubiah terpacak sendirian di tepi kanal. Cepat kukuakkan daun jendela, berteriak sekuat-kuatnya, “Rubi…!” Hanya ditelan angin lalu.

***

Martin Aleidamenyelesaikan tiga buku, termasuk karya jurnalistik, Tuhan Menangis, Terluka, selama pandemi korona. Dia genap berusia 80 tahun ini.

Agung Kurniawan, perupa yang banyak bekerja dengan gambar, performance art, kurasi, instalasi, dan obyek. Tinggal di Kota Yogyakarta.

***

(9)

Lelaki dan Nyamuk

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/ugdcavBQvHNiVFr92ehymYUUS8Y=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F21%2F2ae61c1d-14fc-4161-8e85-9290794f823e_jpg.jpg

Oleh ARIS KURNIAWAN, 22 Juni 2023

Malam itu dia sibuk sekali menepuki nyamuk yang berdenging ganas menggigiti tubuhnya. Rencananya tidur lebih cepat berantakan tanpa ampun. Gigitan nyamuk tak hanya bikin gatal dan bentol-bentol tapi juga rasa panas menyengat pada kulit lelaki itu. Beberapa ekor mati dia tepuk, tetapi puluhan teman-temannya datang menggantikan lebih banyak lagi, seperti pasukan berani mati. Mereka bersuka ria dalam pesta menyesap darah. Di kuping lelaki itu nyamuk-nyamuk tertawa-tawa melihatnya sibuk menepuk ke sana kemari seperti sedang menari dengan gerak acak.

Dari manakah datangnya nyamuk-nyamuk sialan ini? Dari got-got yang mampat? Dari baju-baju kotor yang bergelantungan di balik pintu? Tapi tak ada got mampet di sekitar rumahnya. Tak ada baju-baju kotor di balik pintu. Dia tak pernah menggantung baju kotor di balik pintu. Baju-baju yang sudah dipakai tapi belum terlalu kotor dan masih bisa dipakai lagi dia gantung dan masukkan dalam lemari yang pintunya dia tutup rapat. Sedangkan pakaian yang sudah kotor segera dia masukkan ke mesin cuci.

Lantai rumah pun selalu bersih dia sapu dan pel dua kali sehari sehingga kesat dan terasa nyaman di telapak kaki. Setiap sudut rumah yang dapat menjadi sarang nyamuk juga tak pernah alpa dia bersihkan. Sapu, lap, dan kemoceng merupakan peralatan penting yang selalu tersedia di rumahnya. Tak ada ramat, atau sarang laba-laba. Di semua pojok tersembunyi dia semprot dengan pengharum rasa jeruk yang tak disukai nyamuk dan serangga lainnya. Piring, sendok, asbak, dan tetek bengek peralatan masak dan makan segera dia cuci sehabis dipakai dan ditiriskan di rak yang dia masukkan dalam laci-laci dapur yang juga bersih mengkilap.

Dia tak mempunyai banyak barang yang memungkinkan jadi sarang nyamuk. Barang-barang yang tak banyak itu dia tata dengan rapi di tempatnya masing-masing. Tak boleh salah tempat. Dulu dia acap bertengkar dengan istrinya gara-gara perempuan itu sering lupa meletakkan barang ke tempat semula setelah dipakai. Dia hanya punya dua pasang sepatu; sepatu kerja dan sepatu olahraga yang semuanya dia letakkan dalam rak plastik gantung yang buka tutupnya pakai resleting. Sebuah foto dan lukisan saja yang dia sisakan tergantung menempel di dinding rumahnya.

Sejak istrinya pergi meninggalkan dia sendirian di rumah ini, laki-laki itu membuang barang-barang kesayangan yang tak benar-benar dia butuhkan. Bahkan buku-buku yang sudah dia baca dia hibahkan ke kawan-kawan. Dia hanya menyisakan yang sangat dia sukai yang bisa dibaca berulang-ulang. Dia menata rumah kecilnya sesimpel dan seefisien mungkin seperti yang diajarkan Marie Kondo. Dia hanya membeli benda-benda yang sungguh-sungguh diperlukan. Dia hanya satu selimut, satu sprei dan satu sarung. Di jemuran hanya ada selembar handuk dan sapu tangan. Dia akan membeli yang baru apabila yang lama sudah tak bisa digunakan lagi. Sejak dulu dia sebenarnya membenci kebiasaan Inayah, istrinya, yang gemar membeli barang-barang yang sebenarnya tak mereka butuhkan yang membuat rumah kecil mereka sumpek penuh tumpukan barang tak terpakai di mana-mana: baju-baju, sepatu, segala macam perabotan dan perlengkapan berdandan. Perbedaan itulah salah satu penyebab ledakan pertengkaran mereka yang berakhir dengan perpisahan.

Kini setelah perempuan itu pergi dan rumah tertata rapi, kenapa nyamuk-nyamuk tetap betah di sini? Di kamar mandi tak ada bak mandi dengan air yang menggenang. Sabun dan sampo selalu dia beli dalam kemasan botol besar supaya tak banyak menyisakan sampah plastik. Dia mandi menggunakan air yang disemprotkan melalui selang. Kamar mandinya senantiasa kering seusai digunakan. Begitu juga kakus duduk selalu bersih dan harum sehabis digunakan buang hajat. Saluran pembuangan air bekas mandi dan mencuci semuanya di bawah tanah yang atasnya dilapisi semen. Sejak kecil dia selalu rapi, tertib, disiplin seperti diajarkan ibunya.

Jadi, dari mana datangnya nyamuk-nyamuk itu? Apakah mereka datang dari rumah tetangga sebelah? Terbang beriringan menyeberangi gang dan taman menyerbu rumahku? Apakah mereka berpikir diriku kesepian dan perlu mereka temani dengan suara dengingnya yang menjengkelkan?

Sungguh celaka nyamuk-nyamuk ini. Mereka seolah tak mempan diusir kipas angin yang dia setel hingga pol. Mereka tahan spray antinyamuk. Bahkan mereka tak menyerah pada losion antinyamuk yang dia balurkan di sekujur tubuh. Ya Tuhan, nyamuk apakah ini, yang membuatnya tersiksa, putus asa, dan nyaris semalaman tak dapat tidur? Dengan kemarahan dan kejengkelan yang meluap tiada terkira akhirnya dia melakukan hal gila ini: dia membuka jendela lebar-lebar dan melepas seluruh pakaiannya untuk memberi keleluasaan nyamuk-nyamuk lainnya di luar sana datang dan turut berpesta pora. Dia telentang pasrah membiarkan mereka berpesta pora menikmati darahnya. Dia memejam meresapi rasa perih setiap gigitan dan tusukan moncong nyamuk di sekujur tubuhnya. Biarlah bila aku harus mati kehabisan darah dihisap miliaran nyamuk, pikirnya. Tapi kepasrahan semacam itu hanya bertahan 30 menit.

Dia bangkit, mengenakan pakaiannya kembali. Lalu mencari raket nyamuk yang pernah dibeli istrinya. Dia berharap belum membuang benda itu. Dia menemukannya dalam kardus bawah tangga. Syukurlah baterainya masih penuh untuk menyalakan setrum pada senar raket. Mampuslah kalian, nyamuk-nyamuk jahanam. Dengan raket nyamuk dia berhasil membunuh banyak nyamuk dengan bunyi cras sekali kibas. Puas sekali melihat tubuh mereka terbakar sengatan listrik. Bangkainya berserakan di lantai dan seprei, banyak sekali hingga mengubah warna lantai dan sprei menjadi kehitaman menjijikkan. Tapi mereka tak habis-habis. Kawan-kawannya entah dari mana terus berdatangan. Mereka bagai bersekongkol untuk benar-benar menghabisinya. Dia kini sadar tak boleh menyerah.

Namun sejam kemudian batre raket nyamuknya habis. Dia ingat masih menyimpan kelambu, tapi lupa menyimpannya di mana. Ketika kelambu berhasil dia temukan, kelambu itu ternyata robek lebar sekali. Karena kelelahan akhirnya dia tertidur. Tapi lagi-lagi, tak berlangsng lama. Denging dan gigitan nyamuk membuatnya terbangun. Nyamuk-nyamuk makin garang menyerbu tubuhnya. Dia mengubur tubuhnya dengan selimut. Tetapi ini bukan cara yang baik untuk menyelesaikan masalah. Dia bagai tak bisa bernapas.

Dia merasa tak punya lagi cara mengusir nyamuk. Malam itu dia keluar rumah dengan tubuh terbungkus jaket berpenutup kepala, berjalan menyusuri gang ke arah perempatan mencari warung untuk membeli obat nyamuk bakar. Dia pikir asap obat nyamuk bakar yang mampu membuat nyamuk-nyamuk itu mabuk dan mampus. Langit gelap tanpa sebiji pun bintang. Hanya sisa bulan yang pucat di tepi langit. Tapi tak ada warung yang masih buka. Pukul dua pagi. Semua orang sudah tidur atau sedang seru-serunya bergumul.

Embun mulai berterjunan dari langit bersama udara dingin. Dia kembali ke rumah. Duduk di teras dan nekat menelpon Inayah. Meminta tips ampuh mengusir nyamuk. Tapi dia tak mengangkat teleponnya, tentu saja. Siapa yang sudi mengangkat telepon pada dini hari. Apalagi telepon dari mantan yang dibenci. Beberapa teman yang dia hubungi juga tak ada yang mengangkat. Hampir jam tiga pagi. Dia tak berani mengetuk rumah tetangga sebelah. Salah-salah malah dikira mau merampok. Dia tak kenal dengan baik mereka satu pun. Nyaris tak pernah ngobrol kecuali menyapa sekadar basa-basi saat papasan di gang. Warga kompleks perumahan yang sangat sedikit penghuninya ini jarang yang saling mengenal. Justru karena itu dia dulu memilih membeli rumah di sini.

Dia bersitahan duduk di teras sambil merokok. Berharap ada seseorang lewat di gang depan rumah untuk dimintai tolong memberi obat nyamuk bakar. Beberapa lama kemudian dia mendengar suara langkah. Dia bangun dan beranjak ke depan. Benar. Dia melihat seseorang berjalan dari arah perempatan. Dia memanggilnya ketika seseorang itu tepat melintas di depan hidungnya.

Seseorang itu berhenti dan menatapnya.

”Maaf, bolehkah saya minta tolong?”

”Apa yang bisa saya bantu, Pak?”

”Apakah Anda punya obat nyamuk bakar?”

”Maaf, Pak. Saya tak punya. Saya juga sedang mencari obat nyamuk bakar, warung sudah tutup semua. Di rumah saya banyak sekali nyamuk. Obat nyamuk semprot tak mempan,” ujar orang itu dengan wajah rada gusar.

Dia menatap sosok orang itu, di bawah keremangan lampu jalan dia melihat wajah orang itu mirip sekali dengan wajahnya sendiri. Sorot matanya yang sayu, batang hidungnya pendek, dan gerak bibirnya saat mengatakan itu. Bahkan suaranya, dia seperti mendengar suaranya sendiri. Dia juga mengenakan jaket berpenutup kepala yang ujungnya lancip seperti yang dia kenakan.

”Mari, Pak,” kata orang itu seraya berlalu.

Dia masih tertegun melihat punggung orang itu. Lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Bulu kuduknya meremang. Saat dia memikirkan kejadian tadi, ponselnya bergetar. Inaya menelepon balik. Dia mendadak ragu untuk mengangkatnya. Apa yang akan dia katakan kalau mengangkat teleponnya? Dia biarkan saja ponselnya terus bergetar sampai akhirnya berhenti. Tapi dua menit kemudian Inayah menelpon lagi.

”Ada apa kamu menelponku, Mahdi?”

”Maaf, Nay. Salah pencet,” katanya asal-asalan.

”Tak mungkin. Kamu menelpon berkali-kali. Ngaku ajah kamu mau ngomong apa? Kamu kesepian? Mau minta aku kembali. Jangan harap, Mahdi. Capek hidup dengan orang kikir seperti kamu. Kamu itu cocoknya kawin sama nyamuk. Ah sudahlah aku mau tidur. Nanti kesiangan. Besok aku mau ke Jogja sama pacarku.”

Rentetan kalimat itu mengempaskannya. Sejujurnya dia memang masih mencintai Inayah. Perempuan itu benar, dia kesepian.

Azan subuh yang memantul dari musala kecil di kompleks perumahan itu makin menyayat-nyayat perasaannya, ditambah denging nyamuk yang makin getol menusuki kulit membuat dia makin merasa terpuruk kehabisan darah. Limbung di berjalan ke ruang belakang. Di samping dapur dia melihat jeriken kecil berisi sisa bensin yang biasa digunakan untuk membakar sampah di samping rumah. Dia menyiramkan bensin itu ke kasur dan perabotan rumah lalu menyalakan api dari pemantik.

***

Aris Kurniawan, lahir di Cirebon 24 Agustus 1976. Menulis cerpen, puisi, resensi, esai untuk sejumlah penerbitan. Buku cerpen terbarunya: Monyet Bercerita (Basabasi, 2019).

***

(10)

Napak Tilas

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/wrdzu0_tfZt_9BfRSmXT7IzS_WE=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F22%2F58e167d2-401b-404b-aa66-01da79725067_jpg.jpg

Oleh DAISY RAHMI, 24 Juni 2023

Pagi itu Lis menghabiskan waktu hampir lima belas menit sebelum beraktivitas. Duduk berbalutkan jubah mandi dan rambut tergerai di pundak, wanita itu menatap pantulan di cermin. Mata Lis bergerak menelusuri puncak kepala hingga dagu: rambut putih yang terselip di antara rambut hitam, guratan di sudut mata dan bibir; jejak dari tahun-tahun yang telah berlalu.

Disaksikannya kilasan hidup melalui mata wanita setengah baya di cermin. Sosok tersebut memudar dan melempar Lis ke masa lalu. Kerinduan menggores batin Lis. Dilihatnya saat sang ayah mengajarinya naik sepeda, hari pertama ke sekolah, canda tawa dengan sekelompok teman yang membuat Lis ingin kembali ke masa di mana semua lebih mudah dari saat ini.

Kenangan berputar, memori muncul silih berganti. Lis melihat versi muda dirinya di ruang keluarga. Duduk di hadapan kedua orangtuanya, bias sinar matahari dari jendela menerpa wajah pucat si perempuan. Momen tersebut terekam jelas. Lis bahkan masih ingat dialognya.

”Kamu tidak boleh menikah dengannya!”

”Papa!”

”Kamu masih muda, Lis. Jangan memutuskan menikah dengan laki-laki pertama yang kamu temui.”

Lis membisu. Dipandangnya bandul jam dinding yang berayun. Sentuhan di tangannya mengalihkan mata Lis ke wajah sang ibu.

”Tinggalkan dia, Nak.”

”Papa tak suka padanya,” timpal ayahnya, ”Sekali lihat Papa sudah tahu orang macam apa pacarmu.”

”Papa tidak adil. Papa menilainya negatif hanya dari sekali bertemu.”

”Itu sudah lebih dari cukup,” ucap si ayah berkeras, ”Papa lebih berpengalaman darimu, Lis. Putuskan dia. Masih banyak lelaki baik-baik untukmu di luar sana.”

Lis menggeleng.

”Sekarang tak bisa lagi.”

Pria tersebut tak percaya mendengar penolakan putrinya.

”Apa maksudmu ‘tak bisa’?! Apa laki-laki itu sudah jadi begitu penting bagimu sampai tak mau menerima nasihat orangtua?!”.

Lis menunduk.

”Jelaskan, Lis,” desak ayahnya, ”Jangan diam saja.”

Yang diperintah bergeming. Isyarat dari istrinya membuat pria itu berhenti bicara. Wanita tersebut menangkupkan kedua telapak tangan di pipi anak perempuan yang menunduk, memaksa Lis beradu mata dengannya lalu bertanya pelan.

”Kamu hamil?”

Tangis Lis mledak.

”Maaf, Ma.”

Kebahagiaan yang dirasakan Lis sebagai pengantin baru tak berlangsung lama. Kebenaran perkataan orangtua terbukti seiring perkembangan janinnya, suaminya bukan lelaki baik-baik. Tampak segala sifat buruk yang tersembunyi setelah gejolak asmara mereda. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi. Puncaknya, laki-laki itu meninggalkan rumah dan tidak pernah kembali.

Lis yang didera sesal dan rasa bersalah mulai jarang keluar rumah. Kondisinya diketahui oleh salah seorang kerabat yang segera memberitahu orangtua Lis. Mendengar hal itu, suami istri tersebut mengajak pulang putri mereka. Keduanya juga membujuk si anak meneruskan kuliah setelah bayinya lahir.

Kehadiran anggota keluarga baru disambut dengan sukacita. Bayi lelaki yang diberi nama Handoko jadi sumber kegembiraan ibu dan kakek neneknya. Setelah orangtuanya meninggal, Lis menjual rumah dan pindah ke lokasi yang lebih dekat ke kantor. Lis menjalani hidup tenang bersama sang putra, sampai hari itu….

Bunyi air mendidih menyeretnya ke alam nyata. Reflek, mata Lis menyapu jarum jam. Waktunya bersiap. Perempuan tersebut bangkit, mematikan kompor lalu menyeduh teh. Perutnya bermasalah sejak kemarin. Lis berpakaian dan berdandan. Tiga puluh menit kemudian ia telah berada di taksi yang menuju kantor.

**

Pagi itu bukan hari baik Lis. Ia sulit berkonsentrasi dan berulang kali melakukan kesalahan tak perlu. Ketika jam makan siang tiba, Lis merasa energinya habis terkuras. Ia pusing dan mual. Sedikit terhuyung, wanita itu berjalan ke pantry. Di sana pasti ada beberapa bungkus kopi instan. Mungkin minuman itu bisa membuatnya lebih baik.

Mengira pantry kosong, Lis sedikit terkejut melihat Emma duduk di belakang meja. Gadis itu balas memandang. Sudut bibirnya terangkat.

”Bu Lis masih di sini?”

Ia bangkit, memperlihatkan benda di tangan sambil tertawa malu.

”Mendadak saya merasa sangat lapar. Jadi saya ngemil dulu sebelum makan siang.”

Dibuangnya bungkusan itu ke tempat sampah.

”Anda tidak makan siang?” tanya si gadis melihat Lis duduk di kursi yang tadi ia tempati.

Yang ditanya menggeleng.

”Aku tak lapar.”

”Anda tak apa-apa, Bu Lis? Wajah Anda pucat.”

”Aku baik-baik saja, Nak. Pergilah makan siang.”

”Duluan, Bu,” pamit Emma.

Langkahnya terhenti di ambang pintu. Perempuan muda itu berbalik, menghampiri Lis dan duduk di hadapannya.

”Saya tidak merasa lapar lagi. Biar saya temani Anda di sini.”

”Jangan, Nak. Tak perlu kau lakukan itu.”

”Tak apa. Akan saya buat kopi lalu kita bisa ngobrol. Pasti menyenangkan.”

Lis tak mencegah lagi. Dengan hati senang dilihatnya Emma menyeduh dua cangkir kopi, meletakkan secangkir di depannya dan mengajaknya berbincang. Lis baru sadar jam makan siang telah usai ketika seseorang menjenguk ke dalam pantry.

”Em, aku perlu bantuan.”

”Tunggu sebentar. Aku cuci dulu cangkir-cangkir ini.”

”Biarkan saja,” cegah Lis, ”Biar aku yang bereskan.”

”Terima kasih, Bu Lis. Terima kasih juga untuk obrolan yang menyenangkan.”

”Aku yang berterima kasih, Nak, sudah meluangkan waktu untuk menemaniku. Kau gadis yang baik.”

Emma tersenyum hangat.

”Anda terlalu memuji.”

Lis memperhatikan sosok Emma menjauh. Seandainya Handoko masih hidup, mungkin gadis manis itu bisa jadi menantunya. Angan Lis mengembara.

Seseorang memanggil begitu ia sampai di mejanya.

”Bu Lis, dipanggil Pak Agus.”

Matahari telah condong ke barat ketika Lis menghentikan taksi yang melintas. Dibukanya pintu belakang dan menyebutkan tujuan pada sopir. Desah keluar dari mulut Lis. Sang atasan, lelaki botak enam puluh tahun, menegur kecerobohannya bahkan menyuruhnya mengundurkan diri secara tersirat. Kenyataan tersebut mengganggunya. Mungkin lebih baik kulakukan daripada menunggu dia memecatku, pikir Lis getir.

Pagi itu bukan hari baik Lis. Ia sulit berkonsentrasi dan berulang kali melakukan kesalahan tak perlu. Ketika jam makan siang tiba, Lis merasa energinya habis terkuras. Ia pusing dan mual. Sedikit terhuyung, wanita itu berjalan ke pantry. Di sana pasti ada beberapa bungkus kopi instan. Mungkin minuman itu bisa membuatnya lebih baik.

Taksi berhenti di depan toko. Lis masuk dan keluar semenit berselang dengan buket bunga di tangan. Kendaran yang dinaikinya kembali melaju. Wanita itu berpesan agar sopir menunggu kemudian berjalan ke area pemakaman. Dianggukkannya kepala, menyapa si penjaga. Hanya ia peziarah saat ini. Setelah melewati beberapa makam, Lis sampai di pusara putranya.

”Apa kabar, Nak? Hari ini ulang tahunmu. Selamat ulang tahun.”

Lis meletakkan buket bunga yang dibawa.

”Mama sangat merindukanmu,” ucapnya serak, “Setelah kepergianmu ….”

Suara Lis menghilang. Matanya terpejam.

”Ini tidak adil! Ini tidak adil! Tidak adil!”

Pekikan histeris menggema di kepala Lis. Suasana ruang pengadilan berkelebat. Beberapa orang berkerumun dekat Lis. Kata-kata menenangkan berhamburan dari mulut mereka, tapi Lis tak bisa mendengar. Ia marah, sedih dan kecewa sekaligus. Putus asa. Semua kembali terbayang.

Telepon yang membuatnya mati rasa ….

Hari-hari di rumah sakit ….

Sidang demi sidang yang menguras emosi ….

Pelupuk Lis bergetar. Dibukanya mata yang kini berembun.

”Setelah hari ini mungkin Mama tidak bisa sering datang, Nak. Jaga dirimu baik-baik, ya.”

Wanita tersebut mencium ujung jari lalu menyentuhkannya ke batu nisan. Sehelai daun lepas dari tangkai, melayang turun perlahan ke tanah. Lis menegadah. Lembayung senja mulai mewarnai cakrawala. Lis bangkit dan melangkah pergi. Ia harus segera pulang. Besok dia harus bangun pagi-pagi.

**

Keheningan pagi itu pecah oleh derap kaki menuruni tangga diikuti seruan panik.

”Aku terlambat! Mana Papa?”

elihat yang dicari duduk santai, remaja berseragam putih b                               sarapan?”

”Nggak ada waktu.”

Suara dari arah dapur menyela.

”Kamu baru boleh pergi setelah menghabiskan sarapan.”

”Aku sudah terlambat, Ma,” keluh si remaja, ”Bisa-bisa aku tak boleh masuk kelas.”

”Baguslah,” tandas wanita itu, ”Mungkin dengan itu kamu bisa belajar bangun pagi.”

Sadar keputusan ibunya tak bisa diganggu gugat, remaja itu pasrah duduk di meja makan dan mulai mengisi piring dengan nasi.

Beberapa saat kemudian ayah-anak tersebut telah berada di dalam mobil. Mereka tidak menyadari sosok yang berlindung di balik pohon depan rumah. Mata Lis terpejam, kedua tangan mengepal di samping tubuh. Bayangan Handoko yang terbaring koma di ranjang rumah sakit membulatkan tekad. Bila hukum tak bisa menjangkau laki-laki yang membunuh putranya, maka dialah yang akan bertindak.

***

Daisy Rahmi, kelahiran Manado. Cerpennya dimuat di berbagai media massa. Kini tinggal di Jakarta. Penulis telah menerbitkan buku kumpulan cerpen Kepak Sayap Merpati (Alinea Publishing, 2022), Antologi: Musim Bahagia (Gigih Mandiri Pustaka, 2022), Yang Tak Diketahui (Alinea Publishing, 2022), dan Kembalinya Imam Surau (Phoinex Publisher, 2022).

***

(11)

Ini Tentang Yan

-

 Oleh FARIZAL SIKUMBAN, 25 Juni 2023 07

Yan mengumpulkan lalu membakar daun kering serta beberapa sampah plastik yang berserak di jalan depan rumahku. Ketika itu aku sedang membersihkan kendaraan roda duaku yang kotor karena debu. Jarak antara aku dan Yan mungkin hanya dua puluh meter. Tapi Yan tidak mempedulikanku. Yan sibuk membakar tumpukan sampah kecil itu.

Aku tertegun sejenak, memperhatikan penampilan Yan yang mirip penyanyi musik cadas dengan rambut sebahu. Pakaian Yan kotor dan celana jeans biru yang dikenakannya sudah sangat pudar warnanya. Yan mungkin tidak tahu soal musik cadas yang kumaksudkan itu, dan Yan juga sudah tidak mengenaliku. Yan kini sibuk membakar sampah sembari berbicara sendiri. Ini sudah kebiasaaan Yan kurang lebih dua puluh lima tahun yang lalu. Setelah api menyala membakar semua sampah dan asap putih membubung ke atas, Yan pergi begitu saja tanpa melihat ke arahku.

Semasa kecil, Yan sering dipukul oleh ayahnya. Dilempar pakai kayu dan terkadang ditendang sampai terpelanting ke pematang sawah, atau tersandar ke pagar rumah. Yan juga pernah beberapa kali diikat pada pohon manggis tanpa baju di depan rumahnya dan tubuhnya dilecut pakai sapu lidi. Jika Yan sudah dikuasai oleh amarah ayah tirinya itu, tidak satupun orang yang dapat mencegah. Ibunya hanya diam mematung sembari menggigit jari. Dan kami, maksudku, aku dan beberapa teman sebaya Yan, hanya menahan pedih di hati. Malah, terkadang kami yang menjadi sasaran kemarahan ayah Yan. Mengumpati kami sebagai anak-anak kecil yang nakal.

Yan nakal? Ah, mungkin tepatnya usil. Yan sering mengusili orang sehingga mereka marah. Dan biasanya, Yan akan tertawa lebar jika berhasil melakukannya. Seperti ia memenangi sebuah pertandingan olahraga.

Guru Tania, yang mengajar di sekolah dasar pernah melempar Yan dengan sapu lidi kerena keusilannya itu. Ceritanya bermula ketika Yan menyembunyikan pensil teman perempuan kami yang bernama Wati. Wati melapor pada guru Tania jika Yan telah menyembunyikan pensilnya. Dengan rasa kesal guru Tania menyuruh Yan ke depan kelas. Yan ditanyai soal pensil Wati yang hilang. Yan bersikukuh jika ia tidak mengambilnya, tapi Wati tetap menyela jika Yan memang mengambilnya.

“Jika ibu guru tidak percaya, periksalah sakuku ini,”’ ujar Yan penuh akal-akalan.

“Ayo bu guru, periksalah,” tambah Yan lagi.

Guru Tania terpancing juga oleh provokasi Yan. Ia lalu memasukkan tangan kanannya ke saku celana Yan yang bolong. Tiba-tiba guru Tania terpekik. Ia merasa geli. Seperti memegang hewan yang menjijikkan. Yan tertawa. Guru Tania merasa ditipu. Yan dilempar pakai sapu. Seiisi kelas riuh dan ribut setelah tahu jika Yan berbuat usil. Seingatku, prilaku usil yang serupa juga berlanjut di bangku sekolah menengah pertama, Yan mempraktikkannya pada guru perempuan bahasa Inggris. Tapi kali ini Yan benar-benar dihukum berat. Karena dari pukul sembilan sampai pukul satu siang Yan dijemur di tengah lapangan. Yan juga harus membawa orang tuanya ke sekolah esok harinya. Dan ayah tirinya, tentu memukul Yan di rumah. Diikiat di pohon mangga tua yang buahnya sering luruh sendiri.

Ide keusilan lainnya yang Yan lakukan adalah menakuti orang sehabis salat tarawih. Beberapa kali Yan pernah memaksa kami mendukung idenya itu. Tahun itu kampung kami masih sepi. Tepi-tepi jalan desa masih dipenuhi semak atau pohon-pohon besar. Malam hari tidak ada cahaya listrik. Yan itu orangnya pemberani sekali. Ia tidak takut bersembunyi di semak-semak. Lalu ketika seseorang melintas, Yan mengeluarkan suara tertawa kecil mirip hantu. Suaranya terasa seram bagi kami sendiri. Maka tak aneh jika siapa saja yang mendengar akan lari terbirit-birit.

“Kau tidak kasihan pada orang yang kau takuti Yan,” gugatku suatu hari.

“Tidak. Kau kan tahu, aku selalu memilih siapa saja yang akan aku usili. Aku hanya mengusili mereka yang membuat hatiku kesal,” kata Yan.

Yan memang ada benarnya. Itu pulalah sebabnya Yan sering mengusili ayah tirinya, karena Yan tidak suka. Cerita Yan padaku, ia akan berpura-pura sakit perut jika disuruh ayahnya pergi ke sawah untuk mengalirkan air. Satu sampai dua kali ayahnya percaya, tetapi pada alasan ketiga ia ketahuan jika Yan tidak sakit perut. Ayahnya murka dan melecut Yan.

“Aku benci pada ayah tiriku. Ia hadir di saat usiaku sepuluh tahun seperti monster menakutkan. Aku tidak suka kumisnya yang tebal. Mulutnya busuk beraroma tembakau. Suaranya besar seperti bas speaker. Ia pemalas dan suka memerintah,” kata Yan lagi.

“Yan itu serupa almarhum bapaknya,” ujar Ibu. “Bapaknya itu dulu suka melucu. Pernah menang lomba komedi tingkat kecamatan.”

“Tapi Yan suka usil, tidak ada bakatnya menjadi pelawak,” jawabku.

“Ya, karena dia masih kecil. Apalagi tidak ada yang mengarahkannya. Itu ibunya, cepat sekali kawin lagi. Padahal belum cukup dua tahun ayahnya Yan meninggal,” umpat Ibu.

“Yan sering dipukul Bu,” kataku lagi.

“Itu karena bapak tirinya tidak bisa mendidik dan mengarahkannya. Bisanya cuma main tangan. Itu ibunya bisa apa. Salah pilih suami,” umpat Ibu lagi.

Di sekolah, Yan bukan anak bodoh. Ia hanya malas pada pelajaran tertentu. Misalnya Yan tidak suka pelajaran matematika. Padahal sebenarnya ia mahir perkalian dan pembagian. Buktinya, jika ia dipaksa disuruh ke depan kelas menyelesaikan soal perkalian atau pembagian, maka dengan mudah Yan melakukannya. Tapi jika guru menerangkan materi pelajaran matematika, Yan akan terlihat seperti tidak peduli. Pelajaran di sekolah yang sangat disukai Yan adalah seni. Kami sangat takjub jika Yan mengambar pemandangan meski hanya menggunakan pensil saja. Yan juga sangat jago menggambar wajah tokoh terkenal. Rasanya ada miripnya. Seperti gambar Presiden Soekarno, Yan menggambarnya sangat mirip dengan yang terpajang di depan kelas kami. Cuma sedikit dagunya yang agak lebih runcing. Tapi apapun bentuk gambar yang Yan lukis, selalu membuat kami terpesona. Di sekolah menengah pertama yang ada di desaku, setiap ada lomba seni kaligrafi, Yan adalah juaranya.

Namun pada masa itu, bagi kebanyakan orangtua di kampung kami, jika anak mereka memiliki hobi mengambar atau melukis, bukanlah dianggap sebagai anak yang memiliki keunggulan. Tapi hanya sinis dan dilabeli sebagai anak usil atau malas, bahkan dianggap sebagai anak yang tidak punya kerjaan. Begitu juga yang dialami Yan. Karena Yan suka merobek buku tulis dan menggambar atau melukis di rumah, Yan sering kena marah oleh ibu dan ayah tirinya.

Yan suka meminjam buku cara membuat karikatur. Yan juga suka meminjam buku cerita anekdot yang memiliki ilustrasi. Yan juga suka meminjam buku cerita silat yang ada gambarnya. Sejak di SMA itu pulalah bakat Yan semakin terasah. Yan mulai meniru-niru cara membuat karikatur. Tokoh di sekolah yang sering Yan jadikan karikaturnya adalah bapak kepala sekolah dan guru matematika. Menurut Yan, kedua orang ini paling tidak dia suka. Bapak kepala sekolah kami itu memang tegas dan sering bersuara keras jika kami membuat kesalahan. Bahkan tak segan-segan ia main tangan dan menendang pakai kaki.

Guru matematika kami juga hampir memiliki karakter yang sama. Yan beberapa kali membuat anatomi tubuh kepala sekolah kami itu. Bentuknya mengundang tawa kami sekelas. Betapa tidak, perut kepala sekolah Yan buat besar seperti bola, sedangkan kepalanya kecil, kedua kakinya juga kecil. Tapi raut wajahnya menyerupai kepala sekolah kami. Terlihat lucu. Apalagi kumis kepala sekolah dibuat lebat dan memanjang seperti aslinya. Kalau bapak guru pelajaran matematika kami, Yan membuatnya malah seperti kebalikannya. Badannya kurus. Tetapi kepalanya seperti bola, dan tentu rautnya sangat identik dengan guru matematika yang memang postur tubuhnya kurus itu.

Suatu hari, aku menemukan Yan termenung di sekolah dengan wajah kusut. Aku berpikir mungkin ia habis bersiteru dengan ayahnya di rumah. Seperti biasa aku mencoba menghibur Yan agar ia tidak bersedih. Tapi sesuatu di luar denganku terjadi.

“Aku tidak akan sekolah lagi di sini,” kata Yan.

Mulanya aku tidak terkejut pada ucapan Yan. Aku berpikir Yan hanya melucu.

“Aku dikeluarkan di sekolah,” tambahnya.

Aku mulai berpikir mungkin kali ini ia serius.

“Ada apa?” tanyaku.

“Aku teledor. Karikatur kepala sekolah mungkin terjatuh dari bukuku. Dan seseorang telah memberikannya pada beliau.”

“Celaka dua belas,” kataku terlonjak.

“Habislah aku,” kata Yan penuh penyesalan.

Setelah kejadian itu, Yan memang tidak lagi bersekolah. Sekolah tidak lagi memberikan toleransi pada Yan. Kepala sekolah kami juga pernah mengungkapkan hal itu pada upacara apel Senin.

Sejak itu Yan putus sekolah, dan ia tidak akan bisa melanjutkan sekolah lagi. Sebab, di di kampung kami, hanya ada satu sekolah menengah atas. Memang terdapat sekolah menengah atas di kecamatan lain, tapi sangat jauh. Jaraknya bisa berjam-jam berjalan kaki.

Ketika Yan putus sekolah, ayah tirinya dalam keadaan tidak sehat. Ia sudah sering sakit-sakitan. Ia sebenarnya sudah tidak peduli pada Yan. Lagian, ia pun tidak sanggup lagi memukul Yan. Badan Yan sudah agak besar. Sedangkan badan ayah tirinya mulai mengurus.

Kupikir Yan akan bersedih dan berputus asa berlama-ama karena ia dikeluarkan dari sekolah, tetapi ternyata tidak. Yan malah setelah itu terlihat selalu senang.

“Aku bisa menghasilkan uang dari lukisanku,” ujar Yan memberitahuku suatu hari. ”Setiap hari Sabtu, aku ke pasar ibukota kecamatan. Di sana aku menawarkan lukisan wajah. Alhamdulillah, ada peminat. Uangnya lumayan,” tambah Yan sembari memperlihatkan topi barunya yang mirip milik Pak Tino Sidin di acara TVRI di hari minggu yang dulu pernah kami tonton.

“Tapi kau tak lagi membuat karikatur lucu, kan?” tanyaku pula.

“Itulah masalahnya, ada dua orang warga yang memintaku menggambar kondisi kampung mereka yang kotor. Jalan desa dibuat seperti kolam. Nampaknya ada warga yang kecewa pada pembangunan desa mereka,” ujar Yan.

“Kau jangan kerjakan itu.”

“Sudah kuselesaikan. Tawarannya lebih menggiurkan.”

“Celaka.”

“Semoga baik-baik saja,” jawab Yan tersenum.

Pertemuanku dengan Yan tidak sesering sewaktu sekolah dasar dulu. Dalam seminggu mungkin hanya satu kali. Yan lebih sering suka menyendiri dalam menyelesaikan lukisannya. Namun sering kudapat kabar jika Yan kini sering menjadi pembicaraan di kampungku karena lukisannya sangat bagus dan baik.

Namun suatu hari, aku mendapat kabar jika Yan dipukul oleh beberapa pemuda di pasar kecamatan. Desas-desus kabar yang akhirnya kuperoleh berkaitan dengan hasil lukisan Yan.

Yan terluka parah. Katanya Yan dipukul sampai pingsan waktu itu. Sorenya aku bertemu Yan di rumahnya. Kala itu ia sudah siuman tapi tidak bisa diajak bicara. Ibunya bilang Yan hanya diam sehabis pingsan. Berhari-hari berikutnya Yan tetap tidak mau bicara. Beberapa kali aku datang menjenguknya Yan, tetapi ia tetap saja diam.

***

Farizal Sikumbang, lahir di Padang 5 April 1974. Tinggal di Banda Aceh. Buku kumpulannya cerpenya yang sudah terbit. Kupu-Kupu Orang Mati (Basabasi 2017) dan Mata Kuning Muda (Basabasi 2022).

***

Made Wiradana lahir di Denpasar, 27 Oktober 1968. Lulusan Fakultas Seni Rupa, ISI Yogyakarta. Sejak 1989 telah menggelar pameran bersama, baik di dalam maupun luar negeri. Sedangkan pameran tunggalnya, antara lain Imajinasi Purba (Yogyakarta, 1999), Bentuk-bentuk Purba (The Chedi, Ubud, 2000), dan Eksodus Binatang (Srisasanti Gallery, Jakarta, 2009). Mendapat penghargaan Finalis Philip Morris (1996, 1998, 2000) dan Gold Medal Art Asia Biennale Hong Kong (2017).

***

 

error: Content is protected !!