Kumpulan 13 Cerpen, Maret 2023

(1)

Layang-layang Manusia

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/XcLD2fsR6VzmwUaT-7H8tuNztOk=/1024x1448/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F30%2F2f5927b2-c45e-4b89-b164-17e8b8190f33_jpg.jpg

Oleh: SUWITO ADI PRASETYO, 30 Maret 2023

Ini pertama kalinya aku melanggar peraturan yang dibuat ibuku. Aku melanggarnya sepulang sekolah, ketika ibu tidur pulas di kamarnya. Kata ibuku, di hari pertama peraturan itu ditegakkan—sebulan setengah yang lalu, bila aku berani melanggar peraturan itu, aku akan menerima sabetan. Sabetan sebilah bambu seperti yang pernah aku terima dulu ketika aku menolak disuruh membeli bumbu dapur pagi-pagi di toko. Sabetan itu sakit dan meninggalkan bekas-bekas merah yang memanjang di kedua kakiku. Ketika berangkat ke sekolah, aku harus menarik kedua kaos kakiku tinggi-tinggi sampai ke lutut untuk menutupi bekas-bekas sabetan yang baru mau menghilang seminggu kemudian.

Sabetan itu aku terima saat ayah masih bersama kami, dan seperti pagi-pagi sebelumnya, pagi itu ayah belum pulang. Entah ke mana saja dia. Kelakuan ayah itu yang selalu memicu ibu untuk mengomel setiap pagi. Suara omelannya yang dipadu dengan suara kelontang alat-alat dapur yang diperlakukan kasar saat dia memasak, menenggelamkan suara kicau burung di belakang rumah yang seharusnya menyambut bangun pagiku.

”Belikan ibu cabe, ikan asin, dan minyak goreng!” perintah ibu dengan nada suara pendek-pendek ketika dia tahu aku sudah bangun.

Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya, pagi itu aku tidak mau berangkat. Aku berani menolak perintah ibu karena beberapa hari belakangan, ketika belanja bumbu dapur di toko itu, aku selalu bertemu dengan teman sekelasku. Aku satu-satunya laki-laki yang membeli bumbu dapur di toko itu, dan ketika di sekolahan, temanku itu mengataiku banci. Ibu yang sebelumnya sudah mengomel karena ayah belum pulang—mendengar aku menolak perintahnya—dia geram. Dia mengambil sebilah bambu di pinggir tungku dan menyabetkannya berkali-kali ke kakiku.

Sampai saat ini, saat ayah sudah tidak lagi bersama kami, ibu masih saja suka mengomel, bukan hanya pagi, kadang dia mengomel sepanjang hari. Ayah selalu menjadi tokoh utama dalam omelan ibu. Ayah adalah orang yang bertanggung jawab atas kesulitan-kesulitan yang menimpa keluarga ini, termasuk SPP-ku yang sering telat, atau uang sakuku yang lebih sedikit dibanding uang saku teman-temanku, katanya.

”Ayahmu itu rayap,” kata ibu. ”Ayahmu menghabiskan harta bendaku seperti rayap memakan kayu.” Ibu selalu mendengungkan kalimat-kalimat semacam itu ke telingaku ketika mengomel. ”Kalau kau sering bertemu ayahmu, kau akan diajari menjadi rayap. Ibu tidak mau punya anak seekor rayap.”

Tetapi, cerita teman-temanku di sekolah tentang sore hari yang menyenangkan bersama ayah mereka menerbangkan layang-layang–yang membuatku hanya bisa diam dan menjadi pendengar yang khusyuk, membuat aku nekat dan berani mengambil resiko terkena sabetan.

Selama ini yang bisa aku lakukan hanyalah menggambar layang-layang. Berbagai macam bentuk layang-layang sudah aku gambar. Aku menggambarnya di hampir semua buku: buku gambar, buku tulis, bahkan buku paket. Aku menggambarnya di sampul dan di tempat-tempat kosong di antara tulisan-tulisan. Selain di buku, aku juga menggambarnya di meja dan bangku sekolahku dengan bolpoin atau tipe-x, tetapi gambar itu tidak bertahan lama. Aku mengeriknya dengan silet karena ibu guru tidak suka gambar layang-layang itu. Gambar itu merusak keindahan, katanya. Dan keindahan yang sudah aku rusak itu harus aku ganti dengan mengelap seluruh kaca jendela di kelasku.

Aku melepas seragam sekolahku, menyelipkan salah satu buku tulis di celana pendekku, mengambil sepeda, kemudian mengayuh ke rumah ayah: orang yang di dalam peraturan, yang ditegakkan oleh ibu sebulan setengah yang lalu itu, tidak boleh aku temui sampai kapan pun. Pikirku, ’kalau aku selalu berhati-hati, tidak membuka mulut kepada siapa pun, dan tepat dalam memilih waktu—misalnya ketika ibu sedang tidur siang seperti sekarang ini, aku pasti selamat dari sabetan.’

Aku sampai di depan pintu rumah ayah setelah hampir tiga kilometer aku mengayuh. Sambil mengatur napas, kusandarkan sepedaku di tiang teras. Di dalam rumah, aku melihat ayah tidur di kursi panjang ruang tamu. Aku mendekatinya kemudian menggoncang-goncang tubuhnya. Dari dulu ayah memang sulit dibangunkan, beberapa kali ibu harus mengguyurnya dengan air. Setelah beberapa kali goncangan dan kupanggil-panggil di dekat telinganya, ia membuka mata.

”Yah, buatkan aku layang-layang!” kataku sambil masih mengatur napas.

Aku mengeluarkan buku tulis yang kuselipkan di celana pendekku dan menunjuk gambar layang-layang berbentuk manusia yang aku gambar di buku itu. ”Seperti ini, Yah!”

”Kamu ke sini dengan siapa?” tanya ayah, ”kamu tidak takut ketahuan ibumu?”

”Dia tidur, Yah. Ibu tidak akan tahu kalau ayah tidak bilang kepadanya,” jawabku.

”Bagaimana kalau ibumu sudah bangun sebelum kamu pulang?” tanyanya lagi.

”Itu urusanku, Yah. Urusan ayah hanya membuatkanku layang-layang seperti ini,” jari telunjukku masih menempel di buku tulisku—tepat di gambar layang-layang berbentuk manusia. ”Aku akan pulang sekarang, besok aku ke sini lagi dan layang-layang itu harus sudah jadi dan aku akan menerbangkannya bersama ayah seperti teman-teman sekolahku yang menerbangkan layang-layangnya bersama ayah mereka.” Aku meninggalkan buku tulis itu di rumah ayah dan aku pulang.

Menyebalkan. Ayah membuat layang-layang lama sekali. Mungkin ibu mengusir ayah dari rumah, selain karena dia rayap, mungkin juga karena dia lamban. Besoknya aku ke rumah ayah lagi tetapi layang-layangnya belum jadi. Ayah bilang, ”Besok siang kamu ke sini lagi, pasti sudah jadi.” Aku ke rumah ayah lagi besoknya, belum jadi juga. Layang-layang itu baru jadi di hari keempat. Aku harus mengayuh sepeda ke rumah ayah selama empat hari berturut-turut.

Seumur-umur dia tidak pernah membuat layang-layang, katanya, lebih-lebih layang-layang manusia, sehingga butuh waktu empat hari.

”Sepanjang hari selama empat hari ini Ayah sudah bekerja keras seperti seorang tukang yang menerjemahkan gambar dari arsitek, namun gambar layang-layangmu terlalu rumit, Nak, dan Ayah sulit mewujudkannya menjadi layang-layang,” keluhnya.

Aku menggambar layang-layang itu satu halaman penuh di buku tulis, benar-benar seperti manusia: tangan kanannya mengepal di pinggir kepala–seperti orang yang sedang memekikkan kata ”merdeka!” dan tangan kirinya berkacak pinggang. Berbeda dengan gambarku, layang-layang yang dibuat ayah kedua tangannya berkacak pinggang, tubuhnya pipih, dan kepalanya kotak.

”Tidak ada manusia pipih dan berkepala kotak, Yah,” protesku sambil berjalan mendekat ke layang-layang yang dicantolkan di paku di dinding. Kuturunkan manusia pipih setinggi ayah itu. Sekujur tubuhnya berwarna merah dari kertas minyak.

”Itu bentuk yang paling mudah terbang, Nak,” kata ayah. ”Layang-layang seperti gambarmu itu sulit terbang, dan bukan layang-layang kalau dia tidak terbang,” jelasnya.

”Seharusnya Ayah membuat layang-layang persis seperti gambarku dan Ayah harus membuatnya terbang.”

”Butuh waktu satu bulan untuk membuat layang-layang seperti yang kau gambar, Nak. Setiap siang selama satu bulan kau harus diam-diam meninggalkan rumah, lama-lama ibumu akan tahu,” kata Ayah.

Manusia merah pipih berkepala kotak kami terbangkan sore itu. Kami menerbangkannya di jalan di depan rumah Ayah. Tangan kananku memegangi pantatnya dan tangan kiriku memegangi tali gocinya. Ayah berjalan menjauh dariku merentangkan kenur hijau yang digulung pada dua bilah bambu sepanjang satu jengkal yang dipaku menyilang. Kira-kira sepuluh meter di depanku dia berhenti. Kami menunggu angin datang. Saat daun-daun mahoni di pinggir jalan mulai bergerak pelan, ayah memberi aba-aba. Pantat manusia merah pipih berkepala kotak itu kuangkat setinggi kepalaku. Setelah ayah menghitung sampai tiga, kulepaskan dia. Ayah berlari dan layang-layang melesat ke atas.

Setelah beberapa meter di atas kepala, manusia merah pipih berkepala kotak itu berbalik arah dan menukik ke bawah. Kenur hijaunya menebas ranting-ranting mahoni di pinggir jalan dan menggugurkan daun-daunnya. Kepala kotak itu membentur tanah dan peok dan wajahnya sobek. Ayah menambal wajahnya, memperbaiki bentuk kepalanya, dan menyetel ulang gocinya, kemudian kami mencoba lagi menerbangkannya. Sama, si kepala kotak itu menukik lagi. Kali ini kepalanya remuk, lehernya patah, dan tubuhnya compang-camping.

”Kepalanya sudah tidak tertolong lagi, Nak. Ayah gagal membuatkanmu layang-layang,” keluh ayah.

”Layang-layang harus terbang, Yah. Ayah membuat layang-layang, bukan hiasan dinding,” kataku,

”Ayah bilang, bentuk layang-layang seperti ini yang paling mudah terbang.”

”Ayo, Yah, buat dia terbang!”

Ayah memenggal kepala remuk itu. Menambal beberapa bagian tubuh yang compang-camping dan kami mencoba lagi menerbangkannya. Manusia pipih berwarna merah itu terbang tanpa kepala. Layang-layang manusia itu seperti enggan terbang. Ketika ayah sudah menghabiskan kenur di gulungannya, layang-layang itu hanya menjauh dari kami, tidak mau terbang tinggi. Tetapi aku bahagia sore itu, dan besok, aku bisa ikut bercerita ketika teman-teman di sekolah bercerita tentang sore hari yang menyenangkan bersama ayah mereka menerbangkan layang-layang.

***

Suwito Adi Prasetyo, Kelahiran Bojonegoro, 10 Oktober 1983. Penulis buku Aku Manusia dari Anak Manusia tahun 2017. Kepala Sekolah SDN Sumuragung I Kecamatan Baureno, Kabupaten Bojonegoro

***

(2)

Soto Mi Tanpa Mi

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/aJFqU7aeRnhj67AtkADp_vnRtGY=/1024x1348/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F25%2F3976c8de-08d1-459e-a482-1dc5d8895efc_jpg.jpg

Oleh: SENA WIDYA, 26 Maret 2023

Sore sudah hampir hilang. Seorang pelayan mendatangiku. Dengan cepat langsung kujawab: dua mangkuk soto mi tanpa mi dan segelas es jeruk. Mungkin dia heran dengan konsep soto mi tanpa mi atau dengan dua mangkuk untuk seorang perempuan mungil sepertiku.

Dua mangkuk soto mi itu untuk kumakan sendiri. Sebab aku tidak ingin orang lain tahu aku sedang bersedih. Nanti akan kukucurkan dua iris jeruk limau dan lima sendok sambal, mungkin lebih, ke situ. Memikirkannya saja sudah mengalirkan rasa hangat di dadaku.

Bagiku soto mi tanpa mi adalah simbol kenyamanan ketika kata-kata tidak memadai. Kadang aku bertanya-tanya apa cerita di belakang eksistensi soto mi di muka Bumi ini. Siapa pun yang pertama kali menciptakannya pastilah orang yang ceria dan ramah. Ada dekapan tulus seorang sahabat dalam semangkuk soto mi.

Warung soto mi ini langgananku. Terletak di tengah terminal angkutan dan bus yang tak pernah sepi dari sopir-sopir dengan wajah berkilat oleh keringat, penumpang yang bergegas menuju rindu, dan pedagang kaki lima yang menawarkan dagangannya. Menunya hanya soto mi, tetapi tidak pernah sepi pengunjung. Seperti biasa aku duduk di kursi paling kanan bagian tengah, dekat kipas angin. Soto mi di sini memang legendaris, menggunakan risol superjumbo yang krispi memenuhi isi mangkuk. Semangkuk soto mi berkuah kaldu sapi yang bening gurih berpadu dengan irisan daging empuknya beraroma harum dan disajikan dengan irisan tomat, kol, emping, dan mi tentu saja.

Sebenarnya aku tidak ada masalah dengan mi. Aku suka mi rebus, mi Aceh, mi ayam, bakmi pangsit, mi ramen, mi goreng, dan semua olahan mi. Tapi mi di dalam soto mi rasanya tidak pas, tidak membuatku bahagia.

***

Di situlah bintang itu, terselip di bening matanya, dinaungi alis yang tebal. Bintang itu hilang ketika dia tersenyum, apalagi tertawa, yang membuatnya begitu menggemaskan. Bintang itu tak pernah bisa lama kupandang karena gugup dan malu menguasaiku. Sinarnya teduh menenangkan, kadang tajam melumpuhkan. Tapi siang tadi, saat aku menemuinya di Café Gwenchana, sinarnya terdispersi menjadi puluhan warna kusam yang membuatku tersesat. Aku kehilangan arah.

”Maafkan aku,” katanya setelah hening yang cukup lama.

Kutata emosiku dengan sabar, sebab rasa sakitnya tebal-tebal. Pikiranku seketika terasa kosong dan pandanganku seperti mosaik. Di depan kami duduk seorang ibu dan anak perempuannya yang lucu asyik bermain boneka. Entah kenapa boneka itu sepertinya menatapku, menilaiku, menghakimiku.

Kawan, sini kuberi tahu betapa absurdnya nasibku. Aku selingkuh. Dan selingkuhanku baru saja mengatakan kalau dia selingkuh, sebentar kukoreksi, dia punya selingkuhan lain. Hmmm. Aku bisa dengar cicak mendecak di belakangku, tertawa, seperti yang kamu lakukan, kan?

Apa sekarang kamu paham kenapa aku tidak mau ada orang melihatku menangis? Tentu saja ini bukan cerita yang bisa menarik empati. Aku cukup waras untuk tahu tidak akan ada yang memeluk dan menghiburku dengan cerita ini. Masih bagus kalau aku tidak dilempar gelas. Mamp*s, sukurin, rasain, kualat!

Padahal, serius, aku tidak bohong, rasa sakitnya berlipat kali kuadrat. Hatiku tidak dibuat untuk merasakan ini. Aku tidak sedang mencoba memosisikan diri sebagai korban, pun tidak berharap ada yang mengerti. Bagian terberat adalah aku tidak bisa menumpahkan kesedihan ini pada siapa pun. Duhai. Ini sulit sekali.

Selingkuh itu tidak ada yang benar. Aku tahu itu. Maka selingkuh itu harus kamu tutup rapat sendiri. Bahagianya kamu simpan, kecewanya kamu telan. Seorang yang jago selingkuh mestilah punya bakat akting yang mumpuni. Kurasa aku bisa mempertimbangkan ikut casting aktris setelah melewati ini.

”Tolong, jangan tinggalin aku…,” suaranya bergetar.

Air mata mulai membayangi mata bintangnya. Aku menyayanginya sama besar dengan sayangku pada kekasihku. Aku tahu dia juga sudah punya kekasih yang sangat dia sayang. Aku dan dia punya banyak cerita dan pola pikir yang akhirnya kami mirip-miripkan. Lalu kami sepakat untuk saling mengisi hati-hati kami yang kesepian. Pelan-pelan aku percaya bahwa semua terjadi atas rencana semesta.

Hening kembali menyelimuti kami. Kutatap lelaki di hadapanku. Dia menunduk. Selama aku mengenalnya, baru sekali ini aku memenangkan lomba saling tatap. Dia tahu betul aku akan meninggalkannya. Bahkan kalau aku bisa memaafkannya, aku tetap akan meninggalkannya. Sungguh, kebohongan paling kejam sering kali diceritakan dalam diam.

***

Aku menarik napas panjang, mencoba mengisi rongga dadaku dengan lebih banyak udara. Sore semakin larut, terminal bertambah sibuk lalu-lalang penumpang selesai dari bermacam aktivitas, dan keadaan warung soto mi kian penuh. Sudah dua puluh menit pesananku belum juga datang. Kulihat pelayan sibuk mondar-mandir membawakan hidangan. Setiap aku berada di warung ini, aku merasa seperti sedang menonton sebuah film dengan berbagai karakter dan ekspresi aktornya. Tiga orang karyawati muda masuk sambil tertawa terpingkal-pingkal. Mereka langsung mengambil tempat di meja panjang paling luar, tempat di mana sepasang suami istri sudah selesai menghabiskan soto minya, tapi sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Di ujung belakang seorang perempuan jangkung berkacamata duduk gelisah, matanya sesekali melirik ke luar. Di sampingnya duduk dua anak muda, kutebak mereka mahasiswa, terlihat semangat, namun lelah.

Di luar, malam sudah lengkap. Cahaya lampu jalanan, sorot lampu bus, atau angkot silih berganti membias di udara. Aku merasa terlindungi, tenggelam di tengah keramaian. Seorang pengamen masuk dan mulai memetik gitar. Saat itulah, di kursi paling kiri bagian belakang, aku melihat dua orang lelaki yang asyik mengobrol saling menatap lembut. Sesekali tangan mereka menggenggam mesra. Yang satu beralis tebal bermata bintang dan yang satu lagi, walau hanya dari punggungnya saja, kuyakini adalah kekasihku. Aku mematung memberikan waktu untuk otakku mencerna. Pelayan datang membawakan pesananku. Satu gelas es jeruk dan dua mangkok soto mi. Dengan mi di dalamnya. Air mataku mengalir deras tanpa bisa kucegah. Saat kau pikir kau mampu, dunia akan melukaimu.

***

Sena Widya, peneliti yang senang sastra dan menulis, lahir di Jakarta pada April 1979, kini menetap di Tangerang Selatan.

Luky Supriadi, Aktif sebagai seniman yang tinggal di Bandung. Lulus dari Seni Grafis FSRD ITB pada tahun 2006. Pernah pameran tahun 2023 (sedang berlangsung) pameran duet ”Preliminaries”, Orbital Dago Bandung, pameran duet 2023 ”It’s always 12 o’clock in Wonderland”, Kunasi Coffee Bandung. Pameran bersama 2009 ”Unlimited Portraits” di Plaza Indonesia, Jakarta. Pameran bersama 2007 ”Artist Preview” di Cemara 6 Galeri, Jakarta. Tahun 2007 ”SEVEN” Galeri Soemardja, Bandung. Tahun 2006 ”Merekamereka” Galeri Redpoint, Bandung. Tahun 2005 ”Human + Space” Galeri Soemardja, Bandung. Tahun 2005 ”Thursday, Collaboration Edgar Heap of Bird: Native American Artist” di Galeri Soemardja, Bandung.

***

(3)

Mati Suri

-

Oleh: I WAYAN KERTAYASA, 25 Maret 2023

Aku tidak pernah membayangkan akan tertidur selama 365 hari. Bulan Januari sampai Desember aku lewati tanpa bicara dengan Puan kekasih hatiku. Atau mungkin selama itu juga dia mencariku di taman seberang Jalan Jendral Sudirman. Selama itu aku tidak tahu dia bepergian ke mana, bercerita dengan siapa dan mengisi waktu dengan cara bagaimana. Setelah siuman dari tidurku yang panjang tersiar kabar ada seorang perempuan yang masih setia menunggu pacarnya di taman kota. Itu Puan pacarku yang tetap mau menerimaku apa adanya. Berita ini ditayangkan berkali-kali, dimuat di surat kabar harian kota dan dijadikan sampul halaman depan.

Sungguh aku harus bergegas menemuinya agar perjuangannya tidak sia-sia. Lantas pada sore hari yang langitnya hampir terbenam, saat itu hujan gerimis turun dia masih duduk sendirian di sana. Aku membawakannya payung warna merah tanpa logo atau muatan politik apa pun dengan harapan kemunculanku dari kaum milenial tidak dibawa ke ranah-ranah politik yang sialan itu. Aku duduk di sampingnya lalu memastikan hubungan ini masih tetap terjalin penuh cinta dan kasih sayang.

”Puan kekasih hatiku, aku tidak main wanita! Kemarin aku mati suri dan dibawa ke dunia lain oleh bisikan itu.”

”Dasar lelaki tukang khayal, sudah berapa perempuan kamu tiduri?”

”Aku tidak bohong, kemarin aku benar-benar mati suri.”

”Peradaban sudah jauh berubah, kamu masih saja percaya hal seperti itu?”

”Sungguh aku tidak bohong, boleh aku ceritakan 365 hari tanpa kamu?”

”Silakan saja, mudah-mudahan aku percaya.”

Begini ceritanya, sepulang bekerja dari shift malam aku bermain HP sambil swipe-swipe konten orang. Pada konten yang membahas negara-negara yang teraman di dunia, aku tertidur. Ibuku bilang, aku tidur masih memegang HP dengan konten yang masih ngoceh. Ibu tidak ada firasat apa pun sehingga aku ditinggalnya pergi jualan ke pasar. Maklum ibuku kerjanya bukan mengabdi untuk negara, melainkan mengabdi untuk keluarga kecilnya. Singkat cerita malam sekitar jam delapan ibu dan bapak pulang masih melihatku tertidur. Saran dari ibu agar aku dibawa ke kamar saja agar tidurnya menjadi lebih lelap. Sampai saat itu belum ada kecurigaan apa pun.

Malam itu, aku melihat tubuhku sendiri tertidur tak berdaya. Ada rasa nyeri di dada serta tangan yang tidak mampu kugerakkan. Apa mungkin aku sudah mati sejak kemarin di ruang tamu. Namun, aku masih meragukan pendapatku itu karena aku masih bernapas dengan teratur. Pagi jam tujuh belum ada tanda-tanda aku akan bangun. Bapak dan ibu menjadi panik, menyadarkanku dengan berbagai cara, mulai dari memercikkan air putih, mencubit bagian perutku, lalu memapah tubuhku berdiri tidak ada hasilnya, mataku masih tetutup dan tidak ada tanda-tanda akan terbuka.

Puan kekasih hatiku sekadar info saja, jam delapan pagi aku dibawa ke UGD untuk diperiksa. Kata ibu, di hidungku dimasukkan selang oksigen, darah di lenganku diambil lalu jari-jariku dipasangkan alat yang kemudian terhubung ke monitor. Tiga jam kurang sembilan menit, dokter yang menanganiku datang dan memberikan hasil pemeriksaan lab, dia bilang kalau aku tidak menderita penyakit apa pun. Diagnosa sementara dokter, aku hanya mengalami kelelahan. Lantas bapakku bertanya kalau hanya kelelahan kenapa tidak sadarkan diri. Dokternya bilang, itu di luar kendalinya sebab apa yang menjadi hasil lab itu yang dia sampaikan. Malah ibuku mengumpat, tidak percaya dengan hasil lab itu bahkan berani menyuruh dokter untuk melakukan pemeriksaan ulang. Ibuku juga tidak mau memakai jaminan dari lembaga mana pun dia akan memakai jalur VIP agar pelayanan maksimal dan akurat. Sudah menjadi rahasia umum perlakuan pasien spesial jika mampu bayar sendiri. Padahal ibu tidak punya uang banyak kalau dipakai untuk membayar fasilitas VIP mungkin hanya cukup seminggu saja, itu pun pakai modal dagangannya.

Hari pertama aku berada di dunia lain ke sana-kemari berteriak siapa tahu ada manusia. Kuhampiri goa yang dindingnya licin itu berharap menemukan sesuatu yang bisa aku makan. Jujur perutku lapar ingin makan mi ayam Mas Yono yang biasanya kalau jam segini lalu-lalang di rumahku. Tapi aku ragu! Ada urusan apa Mas Yono hingga jualan di ruang yang hampa ini. Memang di dunia nyata dia tidak dikasih jualan? Katanya dipersulit masuk ke perumahan elite. Aku masih mencari tahu tempat apa ini, kalau misalnya surga kenapa gelap lalu kalau misalnya neraka kenapa tidak ada jembatan api. Baru kali ini aku merasakan ketakukan yang teramat dalam, menangis sepanjang jalan, menyebut-nyebut nama bapak dan ibu terus tanpa henti. Padahal ibu selalu mejagaku di Ruang Kamboja nomor 335. Jangankan menepuk pundaknya, menggerakkan jari-jari saja seperti mengangkat beban puluhan kilo.

Di dalam goa ada spesies serangga berkaki lima dengan bola mata yang besar selalu mengikuti ke mana kaki ini melangkah. Mungkin kalau di dunia nyata makhluk ini namanya kunang-kunang karena memiliki cahaya di bagian bokongnya. Dia jinak, tapi aku tetap saja waspada siapa tahu dia bisa berubah menjadi besar dan memakanku mentah-mentah. Lalu ada juga bangsa kelelawar warna merah menyala. Sejak tadi aku masuk goa sudah tidak ramah, mereka beterbangan dan mencakar kepalaku. Aku usir dengan potongan kayu yang bagian depan runcing karena tetesan air goa. Langkahku semakin pelan ketika melihat bayangan makhluk menyerupai manusia, namun kepalanya tikus. Aku mengintip dari sela-sela bebatuan mereka sedang berkumpul jumlahnya jutaan. Aku kira kakinya tiga ternyata bagian tengahnya ekor. Mereka sepertinya sedang merencakan sesuatu, aku tidak tahu rencana itu apa sebab dia ngomong memakai bahasanya sendiri.

Hari pertama aku berada di dunia lain ke sana-kemari berteriak siapa tahu ada manusia. Kuhampiri goa yang dindingnya licin itu berharap menemukan sesuatu yang bisa aku makan. Jujur perutku lapar ingin makan mi ayam Mas Yono yang biasanya kalau jam segini lalu-lalang di rumahku. Tapi aku ragu! Ada urusan apa Mas Yono hingga jualan di ruang yang hampa ini.

Raja tikus yang berbadan gemuk, perut besar serta baju hitam lengkap dengan gaya rambut klimis. Dari gerak tubuhnya mereka akan berperang entah dengan siapa lalu dalam rangka konflik apa. Aku menyaksikan sendiri salah seorang penghianat di tebas kepalanya lalu di mutilasi. Darahnya muncrat ke mana-mana bahkan mengenai sepasukan tikus sebelah kiri. Entah tubuhnya dibawa ke mana yang pasti aku melihat lima kantong keresek hitam berisi irisan tubuh tikus penghianat itu. Dalam goa yang minim penerangan itu perlahan aku mundur dan keluar dari goa menghindari aku dijadikan korban selanjutnya.

Hari-hari selanjutnya jiwaku mengembara entah dengan maksud dan tujuan yang bagaimana. Ada bisikan yang entah dari malaikat atau sejenisnya bahwa aku harus melewati 365 hari dengan hebat. Aku berbicara dengannya, agar boleh memberi kabar kepada bapak dan ibu bahwa aku sebenarnya baik-baik saja. Minimal hal itu akan membuatnya tidak khawatir serta berhenti mengumpat dokter-dokter itu lagi. Namun kata dia, tidak usah ada berita apa pun karena ini sudah garis takdir. Bisikan itu semakin menggema hingga menuntunku ke arah selatan mengikuti arus sungai yang deras. Katanya nanti aku akan bertemu pohon beringin yang masih muda dengan daun yang tidak lebat, di sampingnya ada lubang yang dibuat bangsa burung pelatuk. Aku di suruh memasukkan tangan ke sana lalu minta makanan apa saja yang aku inginkan. Minta secukupnya saja, tidak boleh dijadikan perbekalan karena satu kilo dari jarak pohon makanan itu akan berubah menjadi sehelai daun.

Aku hanya minta mi ayam bakso Mas Yono sedikit pedas isi pangsit lalu minumnya air mineral saja. Untuk mi ayam baksonya aku dikasi namun untuk air mineralnya tidak, dia menyuruhku untuk minum air yang ada di batang bambu. Setelah di rasa-rasa ini benar mi ayam bakso Mas Yono yang keliling di rumahku setiap sore. Bagaimana mungkin dia jualan di tempat seperti ini, dibayar berapa dia sama bangsa burung pelatuk itu. Aku baru pertama kali makan mi ayam bakso di dunia lain dengan pemandangan hutan belantara. Rasanya sama enak cuma khawatirnya banyak setelah ini aku dimangsa segerombolan serigala atau predator lainnya.

Pada hari yang entah keberapa, aku sampai di gunung yang paling tinggi. Di bawah sana sedang terjadi pertempuran hebat antara sepasukan tikus dengan suku Manteng. Suku Manteng adalah penduduk asli yang kerjaannya hanya berkebun dan bertani. Sepasukan tikus itu menyerang membabi buta dengan pedang panjang yang ujungnya bergerigi. Perempuan yang sedang memetik pucuk teh itu ditebas tepat di lehernya lalu suaminya di gantung di pohon kelapa. Remaja yang sedang belajar di berangus di sekolah dengan senjata penyembur api, mereka tewas di ruag kelasnya. Ketua Suku Manteng di seret dari rumahnya ke balai desa lalu di sana ditembak dengan peluru kaliber 5,50 x 40 mm. Ribuan brondongan peluru tajam itu mengenai seluruh tubuh ketua suku sehingga rakyat yang tersisa di tawan ke dalam balai desa itu.

Ternyata misiku ke sini adalah menyelamatkan para tawanan itu. Entah kenapa harus aku yang warga sipil ini yang mereka pilih yang pasti bisikan itu mengatakan bahwa aku adalah reinkarnasi serdadu tempur. Leluhurku dulunya bertempur dengan gagah perkasa melawan kebiadaban bangsa tirani yang ingin menguasai suku Manteng. Selang beberapa saat, tubuhku membesar keluar otot-otot yang kekar serta baju tempur lengkap dengan pedang dan tameng pelindung. Aku sempat berpikir melawan sepasukan tikus itu dengan pedang, sedangkan mereka memakai senjata khusus dan peluru tajam. Katanya ini bukan pedang sembarangan, apa pun yang terjadi jangan sampai lepas dari genggaman, apalagi dikuasai oleh musuh.

Doktrin menjadi seorang serdadu tempur berhasil. Aku terbang dari ketinggiang gunung menuju permukiman suku Manteng dengan kecepatan menyerupai pesawat tempur. Membantai sepasukan tikus yang berjaga di ujung kampung. Aku bertempur mungkin dengan 1.000 tentara tikus, semuanya aku bantai tanpa ampun. Setiap kali pedang itu menghujam jantung tentara tikus itu mengeluarkan cahaya merah keemas-emasan. Pedang ini seakan haus akan darah tikus-tikus ini, seperti ada dendam penindasan di masa lalu. Melewati ring tiga sepasukan tikus tentu mudah lalu sampai di ring dua pertahanan musuh aku tertembak peluru tajam pada bagian kaki kiri darahku tercecer di semak-semak. Ini pasti ulah sniper yang belum aku ketahui posisinya. Atas bantuan bangsa burung pelatuk, aku menemukan tiga sniper pasukan khusus bangsa tikus itu. Dari belakang aku iris lehernya dan mati pelan-pelan karena kehabisan darah.

Entah dari mana muncul rudal kendali yang memborbardir gedung ini sehingga hancur berkeping-keping. Aku kira diriku telah mati tertimbun reruntuhan gedung itu. Dada sebelah kiri tertusuk besi, dahi tersayat kaca lalu kaki terimpit batu. Seketika aku terkoneksi ke dunia nyata melihati diriku sendiri mengeluarkan darah dari hidung dan telinga. Ibuku panik lalu aku dibawa ke meja operasi. Sampai di meja operasi dokter-dokter kebingungan mencari bagian mana yang terluka, namun tidak ditemukannya. Bapakku sudah marah-marah tidak karuan, dokter spesialis itu dibentaknya setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku di ruang operasi.

Pedang itu menuntunku untuk bangun dari reruntuhan dan melawan lagi sepasukan tikus itu. Dengan energi penuh yang diberikan oleh pedang itu, aku mampu bangkit dan membasmi tank-tank musuh. Aku terbang menunggangi raja burung pelatuk untuk mencari raja tikus yang diam di balai desa. Burung pelatuk lainnya kami beri tugas untuk melawan sepasukan tikus di ring dua. Aku akan bertempur satu lawan satu dengan raja tikus yang bengis itu. Sampai di balai desa, aku telah ditunggunya. Pertarungan pedang tidak bisa dihindarkan. Berkali-kali saling tikam, namun selalu berhasil menghindar. Pada tikaman yang tepat menghujam ke jantungnya, raja tikus itu menahannya dengan pedang. Namun pedangku lebih sakti sehingga mematahkan pedang milik raja tikus sialan itu. Kini dia tidak punya senjata dan akhirnya tersudut. Aku sempat bilang kepadanya agar menyerah saja lalu menyerahkan tawanan baik-baik.

Aku malah diperdayainya, ditembak dengan pistol yang dia sembunyikan di saku belakang. Aku tertembak di dada, namun tidak mengenai jantungku. Di sela-sela energi yang tersisa, aku gunakan untuk menikam perutnya, matanya lalu terakhir jantungnya. Pedangku sampai mengeluarkan cahaya dan kurasakan panas pada gagangnya. Aku terpental dan pedang itu hancur bersamaan dengan tubuh raja tikus yang menjadi abu.

Sementara di dunia nyata, bapak membawa tiga dukun kenalannya untuk menerawang apa yang terjadi padaku. Katanya, aku disembunyikan bangsa jin utara dia meminta sesajen pada bulan mati waktu tengah malam. Baru pertama kali ada keluarga pasien membawa dukun ke rumah sakit umum daerah. Atas petunjuk dukun itu, bapak sepakat merawatku di rumah saja. Dia sangat benci pelayanan di rumah sakit itu yang menurutnya tidak bisa mendiagnosis penyakit malah setiap hari diminta untuk ke kasir membayar perawatan. Sedangkan jiwaku di sini sedang dirawat oleh dayang-dayang istana seusai bertempur tadi. Aku diobati dengan daun-daunan dan diambil peluru di tubuhku menggunakan jarum emas. Memerlukan waktu yang tidak lebih dari 365 hari untuk aku bisa pulih. Maka aku yang berada di dunia akan terus bernapas dan mati suri.

Puan kekasih hatiku, kira-kira begitu cerita singkat yang aku alami di dunia lain. Pacarmu ini ternyata punya darah juang mengalir ke kehidupan selanjutnya agar demokrasi tidak dikebiri, penindasan atas alasan apa pun harus kita lawan serta saling bantu adalah ciri kita memanusiakan manusia. Demikian yang bisa aku sampaikan kepadamu, selanjutnya aku ingin merayakan cinta denganmu. Anggap saja aku sedang menebus banyak malam minggu yang terlewatkan saat aku mati suri.

***

I Wayan Kertayasa, pengajar literasi di Yayasan Was. Saat ini, penulis tinggal di Banjar Kedungu, Taro, Tegallalang, Kabupaten Gianyar, Bali. Novel yang sudah diterbitkan Romansa Lagu (2020) dan antologi puisi Semoga Aku Sampai (2021).

***

(4)

Ingatan Buruk tentang Toko Kelontong

-

Oleh:  DAVIATUL UMAM, 23 Maret 2023

Berita perampokan toko kelontong di Depok menggemparkan kampungku. Video rekaman CCTV yang memperlihatkan aksi tiga perampok menyebar luas dari ponsel ke ponsel. Tampak di video berdurasi 48 detik itu satu orang menodongkan pistol ke arah seseorang yang meringkuk ketakutan. Sedangkan dua orang lainnya terlihat buru-buru memasukkan sekotak uang dan rokok-rokok dagangan ke dalam tas hitam.

Seseorang yang tertimpa musibah itu tak lain adalah tetanggaku sendiri, Yuyud. Anak muda yang masih terbilang pengantin baru. Dia pergi merantau bersama istrinya dua bulan lalu, tepat lima belas hari setelah hari pernikahannya. Kondisi ekonomi yang pas-pasan, tidak adanya lapangan kerja yang memadai di tanah sendiri, serta didukung oleh lingkungan di mana orang-orang sedang gemar-gemarnya merantau, menuntut Yuyud agar ikut arus demi memenuhi kebutuhan hidupnya dengan sang istri.

Memang, di kampungku, tidak harus lebih dulu punya pekerjaan yang mapan untuk membangun rumah tangga. Ketika seorang lelaki siap menikah, bagaimanapun ia sudah siap bertanggung jawab. Kebetulan, dalam dasawarsa ini, orang-orang di kampungku punya peluang luas mendapatkan mata pencarian yang sangat menjanjikan di kota-kota besar. Sebab itu, pemuda penganggur sekalipun tidak akan ragu melamar seorang gadis yang dicintainya, seperti yang dilakukan Yuyud.

Sebagaimana para tetangga yang lain, di tanah seberang sana Yuyud bekerja sebagai penunggu toko kelontong. Sebuah usaha yang kini begitu didambakan sekaligus diagung-agungkan oleh orang-orang, begitu pun diriku sendiri, dulu. Tak heran, peruntungannya membuat kami sangat tergiur. Tak sedikit famili dan tetangga yang bisa melunasi utang-utangnya, merenovasi rumah bahkan membangun rumah baru, membeli mobil mewah atau motor keluaran teranyar, berlomba-lomba menunaikan ibadah umrah—berkat adanya pekerjaan tersebut.

Dan, tak terelakkan, keberuntungan mereka menanamkan benih keirian di hati kami. Sehingga kami begitu bergairah untuk ikut berduyun-duyun merantau, menekuni dunia perniagaan itu. Berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, kami meninggalkan kampung halaman, seolah-olah telah lupa jalan pulang.

Persis empat tahun silam, bersama anak-istri aku betah sekali berlama-lama di Jakarta, berhubung juragan kami—yang juga kerabat istriku—memberi kebebasan pada kami terkait masa kontrak kerja. Dengan kata lain, dia pasrah saja, tergantung pada kami seberapa lama kami mau bekerja di toko kelontong miliknya. Tentu saja kami senang dan cukup puas menikmati pekerjaan itu, pada mulanya.

Di toko yang diamanahkan kepada kami, aku bebas memilih rokok apa saja yang kusuka, juga tak ada batasan mengenai berapa banyak aku mesti menghabiskannya per hari. Begitu pula jatah makan-minum kami bertiga, termasuk susu dan popok si kecil yang kala itu masih berumur 17 bulan. Pokoknya serba bebas. Semua kebutuhan sehari-hari terjamin, tanpa perlu mengambil lima ratus perak pun dari gaji yang kami terima tiap bulannya. Sungguh memuaskan dan memang seperti itulah sistem kerja yang berlaku. Yang penting, kata juragan, jangan mencabut keuangan secara berlebihan atau di luar nalar. Karena itu jelas bakal merugikan toko, dan otomatis merugikan kami sendiri.

Di buku akuntansi toko, ada aturan tak tertulis tentang untung-rugi hasil penjualan selama masa kontrak kerja. Apabila penghitungan barang dagangan diketahui rugi di kemudian hari, sesuai kesepakatan awal, kami wajib mengganti utuh jumlah nominal kerugian itu. Itu artinya, walaupun kami diberi jaminan kepuasan mengisi perut, kami diminta sangat hati-hati mengelola toko. Dalam hal ini kejujuran menjadi satu-satunya kunci yang harus senantiasa kami genggam.

”Kasihan Yuyud dan istrinya. Padahal, mereka baru belajar nyari uang sendiri,” seru istriku sembari mengepel lantai. Raut mukanya menunjukkan kerutan masai.

Aku tertegun di atas kursi, membayangkan betapa terpukulnya Yuyud saat peristiwa perampokan itu menimpanya. Betapa histerisnya istri Yuyud begitu terbangun dari tidurnya tiba-tiba mendapati wajah sang suami kelihatan pucat dan sedih teramat dalam, sementara sisa dagangan di etalase toko berantakan.Sejurus kemudian aku teringat diriku sendiri selama mencari nafkah di perantauan.

Menunggui toko selama 24 jam, bergantian dengan istri siang-malam tanpa hari libur. Jadwal tidur harus benar-benar teratur dan rasa lelah di tubuh kami tidak pernah betul-betul sirna. Belum lagi kami juga disibukkan dengan keperluan serta gerak aktif si kecil, di samping kesibukan melayani para pembeli, menuang bensin dari jeriken ke botol-botol, memasukkan minuman ke kulkas, menata barang-barang belanjaan ke rak, menakar tepung, gula pasir, minyak goreng, dan segala macam aktivitas lain yang berkaitan dengan toko.

Lantaran semua kesibukan tersebut dan toko tidak pernah tutup, kami tidak pernah tidur berdua dan jarang sekali berhubungan badan. Semisal hasrat sudah tak mampu lagi dibendung, untuk urusan yang satu ini kami harus menunggu si mungil tidur pulas, lalu memilih waktu yang biasanya sepi pembeli. Sekali bercinta pun tidak bisa berlangsung lama, khawatir tiba-tiba ada orang yang suka panjang tangan. Mau tak mau kami selalu bercinta secara tergesa-gesa di belakang rak dagangan. Malah, terkadang sudah ada pembeli memanggil-manggil sebelum sempat kami ejakulasi. Dengan sangat terpaksa kami tetap harus mendahulukan pembeli sebelum kemudian kembali menyalurkan hasrat yang tersisa.

Ya, lama-lama pekerjaan itu ternyata amat membosankan. Apalagi kalau mengingat-ingat nasib jiwa-raga yang kami pertaruhkan. Terasing dari keluarga, kerja nonstop yang membuat kami sering kali ketiduran di atas kursi, makan-tidur harus giliran antara aku dan istri, meladeni berbagai watak pembeli yang kerap menyebalkan, menghadapi para penipu dengan bermacam modusnya, terlebih ketika kami mendengar ”saudara-saudara” kami yang tokonya kebanjiran, kebakaran, kena palak preman atau kena rampok seperti yang dialami Yuyud, nyatanya tidak dapat dihibur atau diiming-imingi oleh kebebasan memilih makanan maupun rokok apa saja yang kami suka, bahkan oleh banyaknya hasil keringat yang kami terima sekalipun.

Menunggui toko selama 24 jam, bergantian dengan istri siang-malam tanpa hari libur. Jadwal tidur harus benar-benar teratur dan rasa lelah di tubuh kami tidak pernah betul-betul sirna. Belum lagi kami juga disibukkan dengan keperluan serta gerak aktif si kecil, di samping kesibukan melayani para pembeli, menuang bensin dari jeriken ke botol-botol, memasukkan minuman ke kulkas, menata barang-barang belanjaan ke rak, menakar tepung, gula pasir, minyak goreng, dan segala macam aktivitas lain yang berkaitan dengan toko.

Namun, seakan tidak punya pilihan lain, orang-orang semakin bernafsu merantau dan toko kelontong terus didewakan. Tak banyak yang masih setia pada jalan ikhtiar yang semula menghidupi mereka. Lahan-lahan yang mereka miliki sudah diserahkan ke tangan asing, karena bercocok tanam dirasa mustahil mendatangkan kekayaan. Usaha peternakan sapi juga mulai kekurangan peminat karena dianggap meremukkan tulang belaka. Begitu pun masyarakat pesisir, mereka kompak melepas sampannya karena kepercayaan mereka kepada laut kian menyusut.

Alhasil, ini kampung tak seramai dulu. Rumah-rumah megah bagai jasad tanpa roh, tidak ada kehidupan di dalamnya. Sebagian besar warga sudah telanjur menjadikan rantau sebagai pemandu arah nasib mereka. Jika ada satu keluarga hendak pulang kampung, maka satu keluarga yang lain akan berangkat sebagai gantinya. Demikianlah cara kerja toko kelontong yang sudah lumrah diterapkan. Sebab, setiap juragan enggan mencari pekerja kecuali punya hubungan karib tertentu dengannya—entah itu kerabat, tetangga, atau teman.

”Kira-kira juragannya minta ganti rugi nggak, ya?” istriku melanjutkan kata-kata keprihatinannya terhadap pasutri muda yang malang itu, ”Semoga saja nggak.”

Aku masih saja tercekat di kursi dengan sebatang rokok yang mengepul di tangan. Spontan sebuah memori buruk terputar di kepala. Musibah yang melanda Yuyud memang mengerikan. Tapi, musibah yang pernah menumbuk diriku dan istriku juga bukan hal sepele dan tidak gampang dilupakan. Omongan juragan kami masih saja membekas di benak. Kami dituduh maling. Kami dikecam tidak tahu malu, tidak tahu diuntung, tidak tahu balas budi. Anak kami pun kena tempias. Katanya, anak kami boros susu, boros popok.

Ingin sekali kutonjok mulut juragan kami begitu dia bawa-bawa anak kami sebagai sumber petaka. Akan tetapi, sebuah kesadaran yang jernih meredam emosiku. Kesadaran di mana hati kecilku mengakui dosa yang kulakukan. Diam-diam aku selalu menyisihkan uang sepuluh ribu saban hari dari perolehan toko, tanpa sepengetahuan istri. Setiap akhir bulan uang gelap itu kutransfer ke orangtua di kampung, bersama uang dua ratus ribu dari gaji kami yang kuminta kepada istri secara terang-terangan.

Seolah mengamini pendapat umum bahwa pekerjaan bisa ditiru sedang rezeki tidak, akibat yang ditimbulkan tangan jailku sungguh di luar dugaan. Rupanya kecuranganku menyebabkan kerugian sebesar 7.233.000 rupiah di akhir masa kontrak kerja. Tidak, tidak mungkin kukira. Aku meragukan besarnya angka itu. Aku yakin ada penyebab lain. Sayangnya aku tidak punya bukti apa pun, selain kebohongan yang membuatku hanya bisa jujur kepada diri sendiri.

Semenjak kejadian itu, kami tak pernah lagi merantau. Aib kami jadi penghalang sekaligus pantangan. Aib yang alangkah cepatnya mencemari kuping penduduk seantero kampung di desa ini, meski kenyataannya kami sudah lebih dulu mengganti seluruh kerugian tadi. Di antara para juragan toko kelontong yang tidak memercayai kami, ternyata masih ada seorang juragan yang bersedia memberi kami kesempatan. Tapi kebaikannya kami tolak. Kami masih trauma. Lebih-lebih istriku. Dia tidak mau harga diri kami tercoreng untuk kedua kalinya, kendati aku sendiri tidak punya niat tercela secuil pun untuk kembali berulah.

Toh, kami juga sudah cukup bahagia dengan jalur yang kini kami tempuh. Istriku jadi guru honorer di sebuah lembaga di mana putri kesayangan kami menggayung ilmu, sedangkan aku jadi kurir di sebuah kantor ekspedisi. Walau upah kami sama-sama relatif kecil, kami merasa nyaman dan tenteram menjalani apa yang telah menjadi pilihan kami masing-masing.

***

Daviatul Umam, lahir dan tinggal di ”Kota Keris”, Madura. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Kini bergiat di Komunitas Damar Korong, Sumenep. Buku puisinya yang telah terbit bertajuk Kampung Kekasih (2019). Bisa disapa di Instagram-nya: @daviatul.umam.

***

(5)

Mati Bersama

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/Vv9hQujtDz80tNs8dB30l0oom4I=/1024x1028/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F18%2F4c4c17ab-b538-4013-a6ea-a282ace659d7_jpg.jpg

Oleh: BAGUS DWI HANANTO, 19 Maret 2023

Suara ”kouta” seorang ”geisha” sembari memetik ”shamisen” terdengar jelas di kamar lantai dua itu. Nyanyiannya merdu; tarikan kata-kata pada liriknya terdengar bening dan jelas. Petikan ”shamisen” berpadu baik dengan lagu itu. Serupa riak-riak halus di tengah kolam ikan, suara-suara yang menjeda sesaat pada lirik dan petikan ”shamisen” menyatu dalam keselarasan.

Rikuko si geisha baru pulang dari Manchuria setelah Jepang menarik mundur pasukan. Tahun-tahun muram dalam gelung perang menjadikan negeri itu dipenuhi orang miskin. Perempuan-perempuan di desa jadi penghibur untuk menghidupi diri; tak terkecuali Rikuko. Dia datang ke Tokyo, menetap di Shinagawa dan bergabung dengan rumah geisha Shoji. Dan sekarang dia tengah berasyik mesra dengan seorang lelaki muda yang usianya terpaut lima tahun dengannya. Kecantikan geisha tentu akan luntur seiring waktu, dengan itu dia memuas-muaskan diri untuk menjalin asmara dengan lelaki yang diidamkannya.

Namun, Yuki adalah lelaki dingin. Ini tahun keempat belasnya berada di rumah Jindai tempat masternya mendidik dirinya untuk menjadi rakugoka mumpuni. Seni bercerita ini sempat dilarang pemerintah menampilkan cerita-cerita erotis pada masa-masa perang beberapa tahun lalu. Namun, kini rakugo kembali tumbuh, siap menghibur orang-orang dan materi cerita erotis tidak lagi dilarang. Yuki yang suaranya tipis dan tampak kemayu saking tampannya dia, tidak begitu menguasai cara bercerita dengan mengandalkan suara tegas dan gimik kuat seperti teman- teman seperguruannya di Jindai. Orang-orang mengaguminya karena dia tampan semata.

”Kau sudah bagus membawakan cerita. Kenapa tak puas?” Rikuko bertanya sambil membelai wajah rupawan Yuki.

Mata Yuki mengarah lurus ke kisi jendela yang menampilkan sepotong awan dan pohon kusu no ki dua ratus tahun menjulang begitu besar di tengah perumahan para penghibur itu.

”Ada yang kurang dalam diriku. Orang-orang tak semangat kalau aku tampil.”

”Kau terlalu berprasangka. Orang-orang tetap saja datang menonton rakugo-mu.”

”Tapi mereka tak bertepuk tangan.”

”Mereka melakukannya, kok!”

”Sedikit yang dapat kutangkap.”

”Tapi mereka melakukannya.”

Bahkan, elusan dan rayuan Rikuko tak dapat mencairkan hati Yuki yang telah membeku. Tak betah di kamar itu, dia pun beranjak dan mengambil mantel serta topi di sangkutan. Rikuko hanya dapat menatap punggung Yuki.

”Kau mau pulang sekarang?”

”Ya.”

***

Taiko berdentum berkali-kali. Para penonton masih bersuara sampai mereka dapat duduk tenang. Di panggung berlatar layar lukisan pohon, dua lilin panjang dinyalakan. Saat Yuki berjalan ke panggung, sorak-sorai penonton membahana. Yuki kini rakugoka tingkat futatsume setelah bertahun-tahun menjadi zenza. Cara berceritanya lembut dan cerita yang akan dibawakannya kali ini sesuai dengan musim dingin saat ini.

Yuki akan membawakan cerita Shinigami. Kisah seorang lelaki yang didatangi dewa kematian dan menyuruhnya menyalakan lilin-lilin dan menjaga agar tetap nyala kalau tidak ingin mati. Cerita ini sangat menakutkan. Orang-orang tua yang mendengar Yuki bercerita sesekali berteriak, terperanjat, dan menjerit. Cara berceritanya meyakinkan. Rikuko yang menonton kekasihnya tampil ikut senang alih-alih takut. Setiap kali Yuki bercerita, memainkan gimik, tingkah tokoh-tokoh di tengah panggung bagi Rikuko terasa menakjubkan dan memesona. Karena itulah dia jatuh cinta padanya.

Yuki menegakkan sensu di tangan kiri dan tangan kanannya setengah menutupi seolah-olah itu lilin yang harus dijaga nyalanya. Penonton ikut merasa terbebani dengan nyala lilin imajinatif yang mesti dijaga agar tetap nyala.

Kisah Shinigami berakhir dengan kematian si penjaga lilin karena api diembus angin. Orang itu dibawa ke neraka oleh dewa kematian.

***

”Penampilan yang menakjubkan. Aku masih takut saat ini,” kata Rikuko, setengah bohong.

Meski dipuji kekasihnya, Yuki bergeming. Ditatapnya langit malam dan embusan napasnya tampak jelas menghambur saking dinginnya suhu.

”Kau akan mampir ke tempatku, kan?”

”Aku langsung pulang saja.”

Rikuko menggayuti lengan kekasihnya. ”Ayolah….”

Dengan kasar Yuki mengenyahkan tangan-tangan Rikuko.

”Di sini dingin, aku ingin lekas tidur di rumahku.”

Rikuko tak menyerah. ”Aku bisa menghangatkan dirimu. Ya, ayo ke tempatku.”

Namun, Yuki berpaling, melambai, dan menodongkan punggungnya yang lebar ke hadapan Rikuko. Perempuan itu terluka karena penolakan ini.

Rikuko meminta izin ke indung semang tak melayani tamu malam itu. Sepanjang malam dia menangis. Dia memikirkan masa lalunya. Bagaimana semua pria berlaku keji padanya. Setelah tak dibutuhkan langsung dibuang.

”Hidup ini menjemukan,” embusnya keluar jendela.

Esoknya Rikuko sudah berniat ingin mengakhiri hidup.

***

Karena kekasihnya tak mau diajak bunuh diri bersama, Rikuko yang sedih memikirkan kemungkinan terbaik mengakhiri hidup. Yuki lebih memilih jadi penghibur ketimbang cinta. Rikuko sudah berkali-kali sadar, kekasihnya ini dingin dan ajakan semacam itu tak akan digubris. Namun, Rikuko telah mengucapkannya dan ditolak. Sekarang dia hanya memiliki sedikit waktu. Maka, dia mulai memilih salah satu pelanggan tetapnya.

Mengajak bos mafia tak mungkin sebab status mereka bagai bumi dan langit. Induk semangnya akan membunuhnya duluan kalau dia mendengar dirinya mengajak mati seorang bos mafia. Mengajak pedagang kain culas penyuka sake yang sering datang ke Shoji juga tidak mungkin. Dari pandangan Rikuko selama ini, orang itu tak pernah bersedih; pesta pora selalu ada dalam benaknya dan tawanya yang mengguncang itu tanda hidup yang berlimpah walau zaman serba susah. Satu-satunya yang mungkin mau dia ajak mati bersama cuma Si Tukang Menangis yang sering datang dan berutang di Shoji.

Si Tukang Menangis ditinggal istrinya karena malas bekerja dan hanya mabuk-mabukan. Rikuko beranggapan lelaki itu tampan, tetapi karena sering menangis wajahnya kuyu permanen dan tak menampakkan semangat hidup. Dalam keadaan mabuk minuman, dia akan menangis dan mulai mengeluh sampai ditendang keluar induk semang Shoji. Itu pun tak membikinnya kapok. Dia akan tetap datang dan selalu Rikuko dengan sabar melayaninya.

Kalau mengajak mati Si Tukang Menangis, mereka akan sama-sama untung. Rikuko mati karena jengah dengan hidupnya dan patah hati setelah Yuki lebih memilih rakugo; sedangkan Si Tukang Menangis dengan hidup amburadul bakal terbebas dari sengsara selama ini.

Si Tukang Menangis muncul di Shoji. Sebelum dia menangis, Rikuko sudah menodongnya.

”Kau selalu sedih tiap kali datang kemari. Apa kau mau mati bersamaku?”Si Tukang Menangis terkejut tentu saja.

”Apa maksudmu?”

”Mati bersamaku. Bagaimana?”

Si Tukang Menangis tak segera menjawab. Rikuko melanjutkan.

”Kita berangkat besok sebelum itu aku harus ke apotek membeli obat tidur.”

Si Tukang Menangis seketika mengangguk lemah. Entah bagaimana dia gampang menyetujuinya. Dia akan menemani Rikuko. Namun, sepanjang jalan pulang dia merasa telah berbuat kesalahan. Dan semalaman Si Tukang Menangis memikirkan kematian yang akan dia hadapi.

***

Sebelum melompat ke laut, Rikuko melipat kimono berharganya dan sebuah surat yang ditujukan kepada Yuki. Lelaki itu tidak akan membacanya tentu saja. Saat Rikuko ditanya mengapa memilih mati, dia hanya menjawab jenuh dengan hidup. Pekerjaan sebagai gadis panggilan dan penghibur telah meruntuhkan dirinya dan menggerus apa yang ada dalam hatinya. Ini tak diterangkan hingga jauh kepada Yuki. Lelaki itu menolak dengan dingin tanpa bertanya lebih jauh lagi.

”Lakukan yang menurutmu terbaik,” ucapnya waktu itu.

Rikuko menangis begitu lama, tapi zaman yang keras telah bosan menerima air mata. Begitu juga perasaan manusia. Tak ada guna.

Rikuko bersiap melompat.

”Susul aku nanti, ya.”

Si Tukang Menangis hanya mengangguk. Matanya mendelik, keringat dingin bermunculan di keningnya. Dia menatap perempuan dengan tekad kuat itu.

Setelah Rikuko melompat, Si Tukang Menangis mencari tubuhnya di permukaan air. Namun, perempuan itu tidak tampak, tergilas ombak dan gelap malam.

Ditampakkan kematian begitu nyalang, tentu nyali Si Tukang Menangis ciut. Lebih baik hidup sengsara ketimbang mati. Mati itu menyakitkan, pikirnya.

Maka dia pun berbalik, mengemasi kimono Rikuko dan pulang.

Esoknya dia menggadaikan kimono itu untuk minum-minum. Dan radio menyiarkan berita kematian seorang perempuan yang menenggelamkan diri ke laut. Orang-orang tempat minum tak tahu itu Rikuko, salah satu geisha cantik Shoji. Dan tak ada yang tahu bahwa Si Tukang Menangis diajak mengakhiri hidup.

Si Tukang Menangis keluar dari kedai minum, sempoyongan dan melantunkan dodoitsu yang tak berarti apa-apa. Tak ada penyesalan dalam dirinya.

Namun, pada malam hari, dalam keadaan mabuk berat, saat tertidur di bawah selimut hangat, Si Tukang Menangis terperenyak bangun. Keringat membasahi tubuhnya. Lilin ruang kamar padam seketika. Dan wajah seorang perempuan menampakkan diri tepat di hadapan.

Dia pun memejamkan mata penuh ketakutan, dan bergumam.

”Namu Amida Butsu…Namu Amida Butsu…Namu Amida Butsu…”

Dirasa sudah aman, Si Tukang Menangis berhenti. Namun, saat Si Tukang Menangis memicingkan mata untuk melihat apa perempuan itu sudah pergi, dia terkejut. Perempuan itu masih ada di sana. Senyata hari-hari lalu.

”Dewa kematian, jangan bawa diriku!” pekiknya.

Catatan

Rakugo: seni bercerita tradisional Jepang

Rakugoka: pencerita rakugo

Zenza: tingkatan awal rakugoka

Shinigami: dewa kematian dalam kepercayaan Jepang

Sensu: kipas lipat

***

Bagus Dwi Hananto, lahir di Kudus 31 Agustus 1992. Menulis prosa dan menerjemahkan. Novelnya yang sudah terbit berjudul Tokyo Red (2022). Terjemahannya antara lain: Seni Penyembuhan Diri Viktor E Frankl; Tempat Pulang novel Tahar Ben Jelloun; dan Hari-hari Penuh Warna karya Antonio Skarmeta.

Bambang Herras, lulusan ISI Yogyakarta tahun 1994. Sejak kuliah sudah aktif dalam berbagai banyak kegiatan seni rupa, baik pameran kelompok maupun tunggal. Selain aktif dalam pameran yang bersifat pribadi, juga aktif membantu membuatkan event pameran teman-teman perupa yang lain. Beberapa pameran yang diikuti pada 2002, antara lain Pameran Drawing Ambabar Gambar di ISI Yogyakarta, pameran bersama YAA #7 ’Flow’ di Bale Banjar Sangkring, Yogyakarta dan pameran bersama pelukis Indonesia, Bridge of Colors di National Gallery, Thailand, Bangkok.

***

(6)

“Gift”

#---This is Caption---#

Oleh: TESALONIKA TAROREH, 18 Maret 2023

Pria tua dan miskin itu adalah ayahku. Kami hidup tinggal berdua, sejak ibu memutuskan untuk meninggalkan aku dan ayah ketika aku berumur 5 tahun karena tidak sanggup hidup miskin. Ia yang tidak tahan berkelahi setiap hari dengan ayah karena uang memilih mencari kehidupan baru di luar sana. Aku tidak tahu mengapa ayah membiarkan ibu pergi begitu saja, tanpa berusaha untuk mencari pekerjaan yang tetap guna memperbaiki keadaan ekonomi kami.Aku tidak menyukainya, karena dia orang yang gagal dan bodoh sehingga kehidupan kami tak sekaya temanku yang lain. Ayah bekerja serabutan setiap harinya, dan ia harus bekerja lebih keras dari pada semua ayah temanku. Di pagi hari, ia menjual koran dari rumah ke rumah, siang hari ia akan menyebar selebaran-selebaran yang bahkan akupun tak tahu apa isi selebaran itu. Kulihat ia menawari selebaran itu kepada semua orang yang lewat di persimpangan jalan. Beberapa orang mau mengambilnya, tetapi banyak juga mengacuhkan uluran tangan ayah. Pernah sekali aku melihat seorang pria mengambil selebaran itu, meremasnya lalu melemparkan kembali kepada ayah. Ayah hanya tersenyum kepada pria itu tanpa berniat untuk memarahinya bahkan memukulnya. Aku bingung mengapa ada orang seperti ayah di dunia ini. Sore hari ia akan berubah menjadi seorang badut. Ia akan berlatih melucu selama 30 menit di depan cermin. Setiap kali melihatnya berlatih di depan cermin aku selalu tertawa. Ia memang benar-benar lucu. Tetapi, aku tidak tahu ia tampil menjadi badut di mana, aku tidak pernah ikut pergi bersamanya. Walaupun ia selalu mengajak aku pergi, aku menolak dan memilih untuk tinggal di rumah. Ketika malam tiba, barulah aku bisa menikmati waktu yang ada bersamanya. Terkadang ia juga harus menjadi kuli yang membantu memasukkan barang-barang setiap orang yang belanja ke angkot.Malam itu, kami berdua sedang berbincang-bincang mengenai sekolahku hari itu. Aku bercerita dengan semangat yang membara, tetapi ia malah sibuk dengan kegiatannya sendiri tanpa mau melihat diriku bercerita. Kulihat ia sedang menulis sesuatu di secarik kertas berwarna pink. Aku mengambil kertas itu lalu membacanya “Engkau akan menjadi ORANG YANG BERGUNA! Percayalah!”. Aku tersenyum, lalu memandangnya dan mengatakan dalam hatiku bahwa aku pasti akan menjadi seperti itu kelak.“Hei, itu bukan untukmu,” katanya padaku lalu mengambil potongan kertas itu.Api semangat yang tadinya membara seketika padam setelah mendengar perkataannya itu. Perasaanku hancur, mengapa itu bukan untukku? Tanyaku pada dirinya. Tetapi ia tidak menjawab pertanyaanku.Dengan kesal aku masuk ke kamar dan memilih untuk tidak berbicara lagi dengannya. Mengapa ia menyemangati orang lain untuk menjadi orang yang berguna ketimbang aku sendiri sebagai anaknya. Kututup pintu kamar sekeras mungkin agar ia sadar bahwa aku ini anaknya bukan orang lain di luar sana. Dan seharusnya kertas itu ia berikan padaku. “Ah sudahlah, biarkan saja dia. Toh juga aku tidak menyukainya. Ia ayah yang gagal” kataku sembari melemparkan bantalku ke langit-langkit kamar yang hanya berjarak 1,5 meter di atasku. Aku berpikir dengan pintu yang tertutup keras membuat hatinya tergerak dan ia akan datang menghampiriku lalu memberikan kertas penyemangat itu padaku. Tapi nyatanya, ia tidak juga datang.Esok paginya, aku sudah siap untuk ke sekolah. Kulihat ia masih tertidur pulas di sofa ruang tamu dengan buku di tangannya. Kuambil buku itu dan melemparkannya pada meja. Mendengar bunyi buku yang kulempar pada meja, seketika ia langsung bangun.“Kita terlambat untuk ke sekolah,” kataku dengan nada sedikit kesal.Ia meminta maaf, lalu dengan buru-buru ia bersiap untuk mengantarku. Saat di sekolah, guru menyuruh kami menuliskan siapa yang menjadi sumber inspirasi dalam hidup kami. Semua temanku menjadikan ayah atau ibu mereka menjadi sumber insipirasi. Aku memilih untuk tidak menuliskan nama siapa-siapa pada bukuku sebagai sumber insipirasiku. Aku tidak pernah menjadikan ayah sebagai sumber inspirasiku dalam menjalani hidup. Ia bodoh dan miskin. Aku tidak menyukainya karena hal itu. Di sekolah, aku termasuk anak yang cerdas. Itu membuatku percaya diri bahwa aku akan menjadi orang yang berguna dan kaya nantinya.Selepas ia bekerja, ia akan menghitung uang yang ia hasilkan dalam sehari. Kami berdua akan duduk di meja makan, ia menghitung uang dan aku belajar.“Ini uang sakumu, dan aku sudah melebihkannya sedikit,” katanya sembari memberikan uang padakuDengan tersenyum aku menerima uang itu. Tapi, seketika ia langsung mengeluarkan celengan dan menyuruhku untuk memasukkan uang itu dalam celengan. Aku sedikit kesal, bagaimana tidak, baru saja aku mendapatkan uang lebih dan sekarang aku diminta untuk menyimpannya dalam celengan. Hari itu, aku berniat untuk tidak menyimpan seperser pun uangku untuk ditabung, tetapi ia mengambilnya dari tanganku lalu memasukannya. Karena kesal, aku berani bertanya mengapa kami tidak pernah kaya. Dengan senyuman, ia menjawab bahwa “menjadi kaya bukan tentang berapa banyak yang kamu punya, namun berapa banyak yang kamu beri. Saat kamu memberi, kamu akan merasa lebih bahagia.”Tetapi menurutku, memberi itu bukan menjadikan aku bahagia, tetapi itulah yang membuat kami tidak pernah kaya. Aku tidak pernah bahagia ketika memberi, mengapa harus memberi kalau mereka bisa mencarinya sendiri. Terkadang aku tidak mengerti alur hidup ini.Sejak saat itu, kuputuskan untuk belajar sekeras mungkin, agar kelak aku akan menjadi orang yang sukses dan memiliki banyak uang. Aku tidak ingin hidupku di masa depan sama seperti ayahku. Ketika aku duduk di bangku SMA, aku memutuskan untuk mendaftarkan diriku di berbagai universitas yang menawarkan beasiswa. Aku bertekad untuk mencari kehidupanku sendiri daripada mengandalkan seorang ayah yang tidak berguna sama sekali.

Di SMA aku belajar sebaik mungkin. Tak ada hal lain yang kulakukan selain belajar. Setelah ujian akhir selesai, aku mendapat panggilan dari sekolah. Kepala sekolah memberikanku amplop putih yang bertanda UCLA. Kuambil amplop itu dan segera keluar dari ruangan kepala sekolah.Kubuka amplop itu dan membacanya. Isi amplop itu membuat jantungku berdetak kencang. Kupercaya amplop itu akan menjadikanku orang yang sukses. Aku diterima untuk berkuliah di Universitas of California, Los Angeles dengan beasiswa 100 persen. Dengan perasaan bangga aku melangkahkan kakiku menuju rumah. Aku mendapatkan ayah sedang duduk di kursi depan rumah sembari minum kopi. Kutunjukkan surat itu padanya. Dengan air mata kebangaan ia berdiri lalu memelukku erat-erat. Hari keberangkatanku ke LA sudah tiba, di bandara ia tak henti-hentinya tersenyum dan mengatakan bahwa ia bangga padaku. Sebelum waktu boarding tiba, ia memberiku sejumlah uang untuk membeli keperluanku di LA nanti. Aku menolak uang itu karena memang aku tidak butuh uang darinya. Biarkan saja uang itu ia pakai untuk hidupnya sendiri.Beberapa tahun sudah berlalu sejak aku tiba di tempat ini. Sejak saat itu aku belum pernah kembali ke Indonesia. Sewaktu Ayah meninggal aku pun memilih untuk tidak kembali ke Indonesia karena aku sibuk dengan pekerjaanku. Aku lebih memilih pekerjaanku daripada ayahku karena melalui pekerjaanku aku bisa kaya. Aku tidak menyukainya sebagai ayahku. Setelah memiliki uang yang banyak, aku memilih untuk kembali ke Indonesia dan bekerja di sana.Sampai di Indonesia, aku langsung menuju rumahku. Sampai di rumah, ternyata tidak banyak yang berubah. Aku masuk ke kamar ayah, kulihat sekeliling dan menemukan koper merah yang rasanya asing di atas lemari. Kuambil koper itu, dan membukanya. Koper itu berisi surat-surat dari Chest Community yang mengucapkan terima kasih karena telah berdonasi untuk anak-anak di sana. Dan anehnya, semua surat itu tertera namaku sebagai orang yang berdonasi. Aku bingung lalu menelepon tempat itu dan memutuskan untuk pergi melihat ke tempat tersebut. Sampai aku di sana, aku disambut dengan penuh kehangatan oleh mereka. Aku mengatakan bahwa aku mendapat surat yang menuliskan bahwa aku telah berdonasi ke tempat ini, tetapi nyatanya aku tidak pernah menyumbangkan apapun pada tempat ini. “Itu semua ayahmu yang melakukannya, ia memberi harapan bagi anak-anak di tempat ini. Semua itu dilakukannya atas namamu, tetapi ia ingin kamu tidak mengetahuinya.” Kata salah satu pegawai di tempat itu.

Aku bertemu dengan pemimpin tempat itu, dan pemimpin tempat itu mengatakan bahwa ayahku melakukan banyak hal untuk tempat ini, ia memberi senyuman bagi anak-anak di tempat ini. Ia tidak hidup mementingkan dirinya sendiri. ia selalu berusaha untuk membantu orang lain. Ia menyimpan semua kesedihan dan kesakitan dalam dirinya sendiri.Aku menerima penghargaan yang bahkan tidak kulakukan sekalipun dalam hidupku. Setelah mendengar semua penjelasan dari pemimpin yayasan itu, seketika hatiku hancur, dan penyesalan yang kuyakin tidak akan pernah berakhir muncul dalam diriku. Mengapa selama ini aku tidak mengetahuinya. Kataku menyalahkan diri sendiri.Dengan air mata aku kembali ke rumah dan mengambil foto ayah. Aku menangis tersedu-sedu menyesali perbuatanku selama ini kepadanya.Pada hari ulang tahun ayah, kubuka kembali koper coklat yang berisi pakaian badut ayah dan memakainya. Aku datang ke yayasan di mana ayah selalu ada di sana dan berusaha menghibur anak-anak yang ada di tempat itu. Aku tahu ia pasti mengharapkan hal itu padaku. Saat itu aku baru menyadari, bahwa memberi memang sejatinya akan membuat kita bahagia.

***

Tesalonika Imelda Taroreh, pribadi berzodiak Taurus yang menyukai travelling dan membaca. Alumnus Universitas Pelita Harapan, Pendidikan Bahasa Indonesia, di Tangerang, Banten

***

(7)

Semangkuk Mi Ayam dan Kenangan

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/9oMWhdJ05M9pziqM1h5KOPdnN24=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F14%2Fd0259048-b1d1-4ad6-aee1-fbe72b1f4b9a_jpg.jpg

Oleh: SUDI SETIAWAN, 16 Maret 2023

Hujan sayup-sayup mulai membasahi jalanan kota kecil ini, lampu-lampu jalanan terang benderang menerangi kegelapan malam, dedaunan jatuh dari pohon asem setelah dihempas angin kencang dari arah timur. Jalanan sepi, para manusia sibuk kembali ke bilik kehangatan; rumah-rumah yang hangat bersama keluarga, para tukang gorengan dan ojek pengkolan juga sudah pulang setelah seharian mencari rezeki.

Aku masih sibuk mencari tempat di mana harus berteduh. Mencari kehangatan di tengah malam yang hujan setelah kilatan petir dan gemuruh sejak hari menjelang petang tadi. Mencari rumah-rumah kosong ke sana-sini, tempat-tempat yang terbengkalai atau rumah-rumah warga kota sekalipun yang bisa aku tumpangi setiap hujan datang.

”Sial. Kenapa harus setiap malam hujan sih,” gerutuku, terus terbang mencari tempat berteduh. Tidak semua tempat kosong bisa dijadikan tempat berteduh, bukan karena tempatnya tidak enak atau jelek, tetapi entitas yang sudah menempati terlebih dahulu enggan berbagi tempat denganku. Dan aku masih berkeliling kompleks perumahan mencari tempat berteduh.

Aku singgah ke sebuah rumah bergaya arsitektur peninggalan Belanda di persimpangan jalanan sudut kota, sedikit remang dengan lampu bohlam yang meredup. Sekujur badanku sudah basah—itu sudah jelas—dan aku tak menyukai ini. Kesiur angin tenang menambah dingin cuaca malam ini. Aku menyeka air yang membasahi badanku dengan tanganku, walaupun sebenarnya aku tidak tahu apa ini berefek padaku atau tidak. Berdiri di depan teras rumah Belanda ini; mengoceh tak jelas.

Aku bosan. Itu saja. Bagaimana tidak, setiap hujan mengguyur kota kecil ini aku terus saja kesusahan mencari tempat berteduh. Sebagai roh gentayangan yang tak memiliki tempat berlindung; seperti hujan misalnya, aku terus merasakan dikucilkan bahkan di alam yang berbeda sekalipun. Untungnya, malam ini setidaknya ada rumah tanpa penjaga atau entitas yang kuat yang bisa mengusirku tanpa ba-bi-bu seperti biasanya. Aku sedikit penasaran, tapi tidak memiliki keberanian lebih. Rumah ini sedikit membuatku penasaran.

Kolam ikan mas di sebelah taman cukup membuat ingin memberinya makan, mereka terlalu lucu dengan mulut yang terus menguap-uap kelaparan. Rumah ini tampak terawat, menjaga kemurnian arsitekturnya yang masih klasik berkonsep hunian tropis. Ah, bagaimana bisa aku masih memikirkan siapa yang merancang sedemikian rupa rumah ini.

”Kok aku baru tahu ada rumah sebagus ini?” gumamku terkesima dengan isi rumahnya yang rapi; terlihat deretan buku-buku mengisi rak lemari, sofa kayu jati dan hiasan berbahan keramik. Aku yang masih di luar rumah ini hanya bisa mengaguminya.

”Drek”, bunyi gerendel pintu terdengar dari arah samping. Aku mengintip, tampak seorang pria menggunakan celana pendek sebatas lutut, mengenakan hoodie berwarna biru dengan payung yang menutupi bahu sampai ke wajahnya keluar dari rumah.

”Mau ke mana dia malam-malam begini?” Gerutuku, aku tak banyak pikir karenanya. Ketika aku memilih berteduh karena tak memiliki tempat berlindung, tetapi pria itu malah keluar rumah ketika hujan cukup deras. Dasar aneh!

Masih sama, aku leyeh-leyeh sambil memperhatikan diriku di depan jendela kaca yang transparan. Aku menatap diriku sendiri, wajah pucat-pasi, pipi sedikit gembul dan rambut yang dikuncir ke belakang, mengenakan baju potongan yang tak senada antara baju dan celana. Aneh, aku sempat berpikir apakah selera pakaianku saat aku hidup sejelek ini? Sampai-sampai ketika aku menjadi roh gentayangan pun menggunakan pakaian sejelek ini.

”Kenapa aku mati?” ucapku. Menatap jendela kaca itu sekali lagi. Suasana menjadi hening. Bagaimana aku bisa lupa dengan kematianku sendiri. Apa penyebabnya dan kenapa aku terjebak di dunia ini? Ini semua masih tanda tanya untuk diriku saat ini. Di tengah rasa ketidaktahuanku, pria yang keluar dari rumah ini kembali datang dengan sebungkus plastik berwarna hitam. Tercium bau makanan tak asing di hidungku.

”Ah. Mie ayam.” Semringah, aku bisa melihat senyumku di pantulan jendela. Aku merasa aneh melihat senyum ini ketika aku sudah mati. Ah, biarlah. Lagian, siapa yang peduli aku sudah mati. Tapi mie ayam itu sanggat menggodaku.

Aku masih mengintip dari luar rumah, pria itu mengenakan hoodie yang awalnya seperti baju kaos biasa. Lalu membuka isinya, dua bungkus mie ayam yang kuah dan mie terpisah. Dua mangkok tersedia di atas meja. Aku ngiler, benar-benar ingin merasakan mie berkuah itu. Aku hanya bisa mengecap lidahku sendiri. Meratapi nasibku sebagai hantu perawan yang ingin makan mie ayam itu.

Sebentar, dia membeli dua bungkus mie ayam? Lalu satu bungkusnya buat siapa? Aku mengerutkan dahi. Sedari tadi aku mencoba mendeteksi isi rumah peninggalan Belanda ini dengan merasakan energi kehidupan. Dan hanya menangkap satu energi kehidupan, yaitu pria yang mengenakan hoodie itu saja yang ada di rumah ini. Tiba-tiba ia menoleh ke arahku.

Deg! Mata kami saling menatap beberapa detik. Bertautan. Kali ini aku bisa melihat jelas wajahnya yang tirus, rahang yang kuat dan hidung yang mancung dengan mata bulat menatapku seperti mengetahui keberadaanku. Sial. Bukannya senang karena aku bisa dilihat olehnya, aku malah gelagapan, lekas pergi dari rumah ini secepat kilat.

Brrrr! Dengan jurus baruku di dunia gaib ini aku terbang melarikan diri. Ini kali pertamanya seseorang menatapku tanpa rasa takut atau mengintimidasi diriku yang sudah berbeda alam. Berbeda dengan manusia lainnya.

”Sial. Kenapa dia bisa melihatku. Bisa-bisanya aku seperti gadis yang ketahuan mencuri mata ke dia…,” menghakimi diri sendiri sambil terbang mencari tempat berteduh yang lain di tengah hujan malam.

**

Aku menopang dagu, duduk di tepi jalan sendirian. Meratapi diriku yang sudah menjadi hantu ke sekian kalinya. Tiba-tiba angin pelan datang mendekat. Ya, aku sudah mengenalnya. Bahkan bisa dibilang kami sudah berteman sebagai sesama hantu. Dia Brendo, si Poci yang mengenalkan dirinya sebagai anak STM yang hobi tawuran. Itu hidupnya dulu, sebelum akhirnya satu gir motor menancap di kepalanya yang menyebabkan dia tewas di tempat. Gir motor itu sampai saat ini masih tertancap di kepalanya bahkan ketika ia menjadi hantu poci; pocong.

”Sendirian aja neng. Abang temenin ya,” godanya, duduk di sebelahku dengan tangan terikat. Melihatnya lalu kembali ke acara memantau gerobak Mang Eko berharap diantar semangkuk hangat mie ayam buatannya. Aku pernah berpikir, apakah si Brendo ini dulunya buaya darat pas semasa hidup ya? Bahkan sifatnya ini sampai ke bawa jadi hantu seperti ini.

”Pengen mie ayam aku, Ndo…,” keluhku tak menggubris godaannya. Dia tampak tak memberi respons lebih dari permintaanku, permintaan tak masuk akal bagi hantu perawan sepertiku. Kami duduk berdua sambil melihat orang-orang membeli mie ayam yang dijual Mang Eko yang terkenal enak. Di tengah lamunanku ini, si Brendo lantas mengungkap satu kemungkinan yang bisa membuatku bisa mencicipi kuah kental dan kaldu ayam itu.

”Satu-satunya cara biar lu bisa makan mie ayam lagi. Lu harus menemukan orang yang secara ikhlas memberimu Kin…,” Brendo memandang kosong ke depan. Melihat orang hilir mudik di jalanan.

”Benarkah? Tapi siapa yang mau memberiku secara ikhlas mie ayam itu, Ndo,” aku malah semakin menjadi. Ah, gara-gara rasa penasaranku pada mie ayam itu, aku malah galau bukan main. Merindukan rasa nikmat mie ayam hangat itu selama menjadi roh gentayangan. Entah kenapa, mie ayam seperti memiliki kenangan yang begitu melekat pada diriku.

”Sebentar,” aku mengingat sesuatu. ”Apa aku minta ke dia ya?” Pikirku pelan, apakah aku yakin dengan ide gilaku ini. Aku bergeming sendiri.

”Hah?” Brendo hanya menanggapi tanpa ekspresi lebih.

Wush! Aku pergi meninggalkan teman hantuku ini sendirian. ”Kenapa lagi dia ini…”.

**

Aku kembali lagi. Ke rumah Belanda yang beberapa hari lalu ku singgahi. Aku tidak berniat jahat atau yang lainnya; apalagi mengganggu seperti yang manusia pikirkan kepada kami. Aku berdiri di depan jendela kaca transparan yang memperlihatkan isi dalam rumah itu dengan jelas. Di mana pria yang kemarin itu? Mataku mondar-mandir ke kanan-kiri mencari keberadaan pria berjaket biru itu.

”Drek…”. Derap suara langkah kaki di belakangku.

”Dia di belakangku.” Aku ketahuan. Ini kedua kalinya aku tertangkap basah.

**

Entah bagaimana aku menceritakan ini semua. Sebagai hantu pun aku masih tak bisa berpikir ini nyata terjadi. Aku terus saja menelan air liur karena tenggorokanku terasa kering kerontang. Bisa-bisanya aku gugup kepada manusia padahal kami sudah berbeda dunia. Setelah selesai menyampaikan kemauan dan keinginanku kembali lagi ke rumah Belanda ini. Aku malah dibuat kebingungan.

Argh. Kenapa aku bisa mempercayai manusia ini? Dan dia mempercayai kata-kataku!

Aku duduk di atas meja di dekat ruang buku, duduk berdua bersamanya. Tempat dimana aku melihatnya dari luar rumah kemarin, pria yang beberapa hari lalu, dimana aku ketahuan mengintipnya. Kalo boleh jujur, dia tampan ketika dilihat dari dekat, kini aku bisa melihat dengan jelas binar matanya yang terlihat ramah dan perhatian. Duh, Brendo harus tahu orang ini.

”Satu porsi mie ayam dengan kerupuk pangsit. Tanpa bawang goreng dan sayuran…,” ungkapnya menyebutkan pesananku padanya. ”Dan lagi, ceker ayam,” lanjutnya menyebutkan dengan benar semua kemauanku. Aku bisa melihat satu mangkok berisi kemauanku yang disebutkan sebelumnya. Tanpa rasa ragu atau ketakutan, pria yang tidak kuketahui namanya ini tenang seperti sudah biasa menemui hantu sepertiku. Dan lagi, ceker ayam? Bagaimana dia tahu kesukaanku ceker ayam, padahal aku tidak menyebutkannya tadi?

”Ada lagi?” Tanya kepadaku, aku sendiri bingung harus berkata apa padanya.

”Cukup…!” Jawabku lantang, sebenarnya aku sudah tak sabar menyantap kuah lezat ini. Tapi aku masih menjaga imej hantu yang polos seperti biasanya.

”Semoga kamu bisa merasakan kembali kenangan yang ada di mangkok mie ayam itu…. Pria itu menatapku dalam; aku bisa melihat diriku dari pantulan matanya yang jernih diterpa lampu yang terang.

Dia manusia yang baik. Setelah sekian lama aku menjadi sosok hantu perawan yang bergentayangan tak jelas di dunia fana ini. Dia satu-satunya manusia yang membuatku tersentuh dengan tindakannya. Aku hanya bisa menunggu dan menunggu hari dimana aku bisa melanjutkan prosesku, sebagai roh yang telah mati. Air mata merembes di pipiku, aku tidak tahu kenapa tiba-tiba aku merasa emosional seperti ini. Apakah ini gara-gara semangkuk mie ayam ini atau manusia yang baik hati ini? Aku tidak tahu. Kemudian aku menyerap saripati makanan di depanku dengan air mata yang terus luluh.

**

Aku baru mengetahui. Selama ini yang kuketahui bahwa aku adalah roh gentayangan yang tersesat. Tersesat di dunia yang seharusnya sudah aku lewati. Aku tidak tahu, selama ini aku adalah Kinanti Mariana, seorang siswi yang meninggal akibat peristiwa tabrak lari ketika pulang les dengan sekantong plastik hitam yang masih hangat yang berisikan mie ayam. Di akhir hayatku, bukan rasa sakit yang teramat menyakitkan tubuhku-badanku remuk, kakiku patah dan benturan keras di kepalaku mengakhiri kehidupanku-tetapi isi kantong plastik ini yang akan kuberikan kepada adikku yang menungguku di rumah malam ini. Malam yang dingin setelah hujan reda, badanku tersapu genangan air yang meluap di jalan, membasahi tubuhku yang kaku karena tidak mendapatkan pertolongan.

Aku masih bengong, memikirkan apa yang harus aku lakukan saat ini. Pria tampan yang baru kukenal telah memberikanku kenangan pahit sekaligus manis bersamaan. Karenanya, aku bisa mengingat kembali bapak dan ibu yang menyayangiku dan adik yang sangat aku rindukan. Aku menangis ketika baru mengetahui bahwa kematianku membuat luka yang teramat dalam bagi mereka berdua. Semua kenangan manis terlupakan ketika peristiwa itu merenggut nyawaku dan menyisakan ketidaktahuanku selama ini.

”Terima kasih,” ucapku, berterima kasih kepadanya telah membantuku mengingat kembali kehidupanku sebelumnya. Satu kata yang hanya bisa aku berikan kepadanya, dari lubuk hatiku terdalam. Pria baik yang tidak diketahui namanya itu tersenyum sebelum akhirnya aku berpamitan pergi menuju proses yang semestinya mengakhiri diriku yang tersesat di dunia ini yang telah lama.

**

Brendo duduk menyendiri di tepi jalan kota yang padat sambil menatap Mang Eko yang sedang melayani pelanggan mie ayam jualannya. Dengan wajah yang biasa-biasa saja-sedikit menyeramkan- tanpa sebuah permintaan, dia terus menunggu kehadiran seseorang yang beberapa hari ini tidak ia temui. Brendo duduk sebisa mungkin di atas kursi besi buatan pemerintah dengan nyaman. Setidaknya, dia bisa bersantai dengan tangan terikat.

”Brendo?” Panggilnya, suara serak-parau membuyarkan kegabutannya.

”Siapa?” jawabnya. Mencari sumber suara yang memanggil namanya. Awalnya, dia berpikir itu sesama hantu penghuni ruas jalan kota ini. Dia sendiri merupakan sosok yang paling hype-menyeramkan sepanjang jalan Petamburan. Nyatanya ada yang lebih mengejutkan.

”Anjir, lu manusia?” Dia terkejut melihat sosok pria jangkung menatapnya tanpa ragu. ”Kok bisa liat gue? Lu setan juga kah?” Masih dengan khas gayanya yang slengekan, Brendo malah yang ketakutan.

”Aku Kino, adik mbak Kinanti.” Jawab pria menggunakan hoodie berwarna biru menghampirinya.

***

Sudi Setiawan adalah penulis kelahiran Bangka yang sedang mengenyam pendidikan S-1 Manajemen di Universitas Bangka Belitung. Karya cerita pendeknya yang berjudul Marthapram (2022) telah dibukukan dalam Antologi Cerita Pendek Pulpen Saya Jilid II dan cerita pendek berjudul Benreeck : Misteri Kampong Bubung Tujuh (2022) diterbitkan secara daring dan juga memiliki ketertarikan pada bidang penulisan dan sejarah.

***

(8)

Ramuan Pahit dan Pertarungan Pamungkas

-

Oleh: NI KOMANG ARIANI, 12 Maret 2023

Aku merasakan sengatan ringan, ketika telapak tanganku menyentuh tangan perempuan tua itu. Sejenak ruangan ini mampat oleh energi yang aneh. Seperti sebuah energi yang berasal dari dunia lain. Udara di sekelilingku seperti diremas-remas oleh energi itu. Perempuan tua itu menatap mataku dengan sepasang matanya yang terlihat kelabu, namun entah kenapa tatapan matanya mengandung tusukan sebilah pisau.

”Apa yang membawamu ke sini? Cepat katakan. Aku tidak punya banyak waktu,” serak dan tajam suara perempuan tua itu, membuat nyaliku ciut.

”A…aku Reswara, Nek,” kataku dengan suara selirih mungkin. ”Salah satu dari pendekar Elang Kembar.”

”Ohh… Pendekar Elang Kembar. Pendekar nomor satu dunia saat ini. Kenapa kau kelihatan sebagai cecurut yang ketakutan seperti itu?”

Aku tersenyum kecut mendengarnya. ”Aku bukan siapa-siapa tanpa Gentala. Saat ini dia terluka parah. Aku memerlukan bantuanmu. Untuk meracikkan Ramuan Pahit untuknya.”

”Ha-ha-ha….” Perempuan tua itu terkekeh-kekeh sambil memperlihatkan giginya yang runcing dan hitam. ”Aku tidak peduli dengan Pendekar Elang Kembar. Aku lebih suka kalian mati daripada menyelamatkan kalian.”

”Dalam sepekan kami harus bertarung di Bukit Tepian. Kalau kami tidak hadir, seluruh penduduk Desa Tepian akan terancam jiwanya.”

”Aku juga tidak peduli dengan itu. Heh-heh-heh….”

”Bukankah kau juga suka menonton pertandingan tingkat tinggi. Kalau kami tidak datang, dan tidak bertarung, kau akan kehilangan tontonan menarik.”

Perempuan tua itu terdiam. Ia menatapku dengan wajah sebal. Ia menarik secarik kain dari lipatan bajunya, menuliskan sesuatu di sana, dan menyerahkannya kepadaku dengan muka masam.

”Kau temui laki-laki ini. Dia menjual minuman hijau di setiap arena pertarungan para pendekar.”

”Jadi dia orangnya. Aku pikir ia hanya penjual minuman hijau biasa.”

”Kau tahu, setiap dia menyerahkan minuman hijau kepada para pembeli, ia menyuling rasa pahit yang mengambang di udara, dan orang yang meminum ramuan hijaunya, akan seketika merasa gembira oleh sebab-sebab yang mereka tidak ketahui.”

Aku takjub mendengar penjelasan itu.

”Itukah alasan, pembeli minuman hijau berasa pahit itu mengalir tak habis-habis bahkan sampai pertarungan selesai?”

”Heh-heh-heh… Jangan menganggap remeh orang yang kelihatan biasa.”

”Lalu bagaimana caraku meminta ramuan itu kepadanya?”

”Tunjukkan saja sobekan kain itu. Dia tahu sobekan kain itu dariku. Dia sudah paham. Ini pertama kalinya aku membocorkan rahasia ini kepada seorang pendekar. Itu karena aku suka melihat kalian bertarung. Jangan kalah lawan si Golok Mata Tiga. Tawa tiga pendekar itu membuatku sebal.”

Aku cepat-cepat memasukkan sobekan kain itu, sebelum perempuan tua di hadapanku berubah pikiran. Sangat sulit menebak ia akan membuat keputusan apa karena ia hanya mengikuti suasana hatinya. Aku dapat mengingat dengan baik laki-laki penjual minuman hijau itu. Ikat kepalanya yang dekil menjadi ciri khasnya. Kalau mendekat, bau ikat kepala laki-laki itu selalu membuat kepalaku pusing. Mungkin ikat kepala itu sudah bertahun-tahun tidak pernah dicuci. Gentala terkekeh bercanda mengenai ikat kepala itu sebagai ikat kepala yang sakti itu. ”Kalau ikat kepalanya tidak bau, mungkin ramuannya tidak laku.”

**

Dari apakah rasa pahit terbuat? Tidak pernah jelas kuketahui. Yang jelas, hasil sulingan rasa pahit itu sudah menjelma sebotol ramuan hijau, yang memiliki kekuatan dahsyat menyembuhkan luka dalam yang diderita Gentala. Biasanya Gentala yang menyelamatkanku. Menyambar tubuhku yang sudah terkulai lemas oleh hantaman lawan, membopongku melewati pucuk-pucuk pohon, menaburkan bubuk penyamar, kemudian menghilang di semak-semak. Kita boleh kalah, tapi kita tidak perlu mati dalam pertarungan ini.

Gentala menggerak-gerakkan tubuhnya, untuk melatih beberapa kuda-kuda untuk pertarungan kami pada hari Ahad ini. Dari ratusan pertarungan kami, entah keberapa kalinya ia muntah darah. Entah keberapa kali ia hampir mati. Aku menghela napas panjang.

”Ada apa denganmu, Reswara. Kamu selalu banyak pikiran.”

”Sampai kapan kita akan terus bertarung?”

Gentala hanya terkekeh-kekeh. ”Kita akan bertarung sampai napas kita putus.” Masih dengan suara yang terdengar tidak serius.

”Aku sudah lelah merasakan rasa sakit di sekujur tubuhku. Dan melihatmu muntah darah berulang kali tentu bukan saat terbaikku.”

”Karena biasanya yang muntah darah kamu, kan?” kata Gentala dengan nada bercanda.

”Kenapa masih bisa bercanda tentang itu. Entah sudah berapa kali kita hampir mati.”

”Semua orang dalam keadaan hampir mati, Reswara. Hanya kematian yang menghentikan seseorang. Selama kita belum mati, kita tidak berhenti.” Tegas suara Gentala.

**

Seluruh desa gelap gulita. Penduduk desa Tepian sedang menunggu pertarungan pamungkas dari dua pendekar paling sakti di negeri ini. Pertarungan antara pendekar Elang Kembar dan Golok Mata Tiga. Sekilas pertandingan ini tidak terasa imbang. Dua orang pendekar berhadapan dengan tiga orang pendekar. Namun dalam kancah dunia persilatan, perpaduan jurus-jurus yang menjadi penting. Pendekar Elang Kembar, jika dipisahkan satu sama lain, tidak akan menjadi diri mereka yang sekarang. Reswara sendiri hanya pemuda lemah yang tidak berdaya tanpa Gentala. Demikian sebaliknya, tiga kakak beradik yang menjadi musuh mereka tidak akan bisa berbuat apa-apa, tanpa dua orang yang menjadi pasangannya. Tiga orang paruh baya berbobot satu kwintal itu hanya tiga orang loyo yang tanpa kemampuan sama sekali.

Persiapan panjang telah dilakukan selama tujuh hari tujuh malam. Bukit Tepian dikosongkan sampai jarak lima kilo. Setiap memulai pertarungan akbar seperti ini, aku selalu bisa mencium aroma daunan-daunan melalui ramuan hijau yang aku minum sebelum pertandingan. Aku seperti berenang di telaga ramuan hijau yang rasanya amat pahit. Namun, hari ini, aroma itu tidak tercium sama sekali. Aku malah mencium aroma manis yang sangat menggiurkan. Bunga-bunga yang bermekaran seperti berebut untuk menguarkan aroma manis, aku menjadi tidak tahan untuk menyesapnya. Semalam aku juga mimpi indah sekali. Seluruh Bukit Tepian ditumbuhi bunga aneka rupa dan bentuk. Yang tercium adalah aroma manis yang tidak terhingga.

Gentala mendengus-dengus dengan wajah agak kesal. ”Sejak kapan di Bukit Tepian ada kelelawar?” Gentala mengedarkan pandangan ke sekeliling.

”Kelelawar? Aku tidak mencium adanya bau tai kelelawar?”

”Coba tajamkan telingamu. Suara mencicit-cicit itu, mengganggu sekali.” Aku mencari suara mencicit yang dikatakan Gentala di tengah keheningan Gunung Tepian, namun tidak aku temukan sama sekali. Mulutku terbuka untuk menyampaikan bantahan, namun teriakan keras Golok Mata Tiga yang menyerupai petir, mengagetkan semua orang yang menonton pertandingan itu. Aku melihat kepala-kepala bersembulan di pucuk-pucuk pohon.

”Ha-ha-ha-ha,” tawa ketiganya bergema dan memantul-memantul. Aku merasakan tanah agak bergetar. ”Sudah siap mati kau Elang Kembar?”

”Kematianku bukan hari ini, Golok Mata Tiga. Mungkin besok.” Tipis senyum Gentala menanggapi gertakan Golok Mata Tiga. Ia berbisik ke telingaku. Sudah siap menghadapi tiga kwintal beras? Tak ayal aku tersenyum kecil menanggapi candaannya.

”Orang lain boleh kau takut-takuti dengan kesaktianmu, Elang Kembar. Kami sudah mengetahui rahasiamu. Bahwa kamu hanya dua manusia lembek. Ha-ha-ha…!” tawa Golok Mata Tiga saling bersahutan. Sepintas tawa itu terdengar menggelikan, karena ketiganya tertawa dengan nada yang berbeda-beda. Namun lama-lama suara tawa ketiganya terdengar makin nyaring.

**

Setetes air yang amat dingin membuatku terjaga. Pada saat itulah aku merasakan rasa sakit di sekujur tubuhku. Aku mengerang kesakitan ketika perempuan tua itu menutup mulutku.

”Jangan berisik kau, Reswara.”

Aku mendapati diriku terjepit di antara dahan pohon di tempat yang tidak jauh dari arena pertarungan kami di Bukit Tepian. Seluruh tubuhku tersembunyi di dalam kerimbunan dedaunan. Apa yang terjadi?

Seluruh ingatanku buntu. Aku bahkan tidak ingat bagaimana pertarunganku dengan Golok Mata Tiga. Namun arena pertarungan sepertinya meninggalkan jejak-jejak yang amat jelas. Rerumputan rebah seperti sehabis diinjak ratusan gajah. Beberapa pohon terlihat gosong. Batu-batu besar hancur menjadi remahan debu. Aku menduga, salah satunya terhantam pukulan bola api yang menjadi salah satu jurus pamungkasku bersama Gentala.

”Aku terlambat menyelamatkannya, Reswara. Maafkan aku.”

Seseorang seperti menyiramku sampai padam. Sekarang semuanya terbayang dengan jelas. Ketika ratusan jarum beracun menancap di tubuh Gentala, dan ia masih menyunggingkan seulas senyum padaku. “Bukit ini bau tai kelelawar, Reswara. Kau harus percaya.” Saat ia menghembuskan napas terakhirnya di pelukanku. Golok Mata Tiga semakin menggila. Mengepungku dari segala penjuru. Melemparkan ribuan jarum beracun dengan kecepatannya yang melampaui kilat.

”Aku terlambat tahu. Golok Mata Tiga, adalah tiga pendekar yang ditakdirkan mengalahkan kalian. Seseorang yang dekat dengan kalian telah membocorkan ramalan itu kepada mereka bertiga.”

Aroma manis yang ganjil itu kembali menguar. Mengingatkanku pada sepasang mata Gentala yang menyerupai telaga. Di telaga warna manakah kau sedang berenang-renang Gentala? Aku akan menyimpanmu di lubuk hatiku.

***

Ni Komang Ariani lahir di Bali, 19 Mei 1978. Cerpen-cerpennya terdapat dalam antologi Lidah (2008), Senjakala (2010), Bukan Permaisuri (2012), Jas Putih (2014), dan Marigold(2019). Tahun 2008 menjadi pememang pertama Lomba Menulis Cerita Bersambung Femina lewat novelet ”Nyanyi Sunyi Celah Tebing”. Karya-karyanya juga beberapa kali masuk dalam Cerpen Pilihan Kompas. Kini dia menetap di Jakarta.

Wayan Kun Adnyana, guru besar sejarah seni (seni rupa), yang aktif berpameran di berbagai pergelaran seni rupa berpengaruh. Terakhir pameran tunggal Wastu Waktu di Agung Rai Museum of Arts, Ubud. Sejak Maret 2023 diberi amanah sebagai Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.

***

(9)

Kejadian di Tambang Pasir

-

Oleh: RANANG AJI SP, 11 Maret 2023

Malam gelap dan berawan di langit Merapi. Sepanjang garis sungai tumpukan pasir seperti benteng hancur oleh serbuan brutal. Perut bukit hitam berlobang oleh mulut pengeruk pasir. Di atasnya pohon-pohon berdiri di antara kecemasan mati dan hidup. Suara serangga berdengung. Air sungai mengalir tipis menyusuri jalurnya yang ditimpa tanah, pasir, dan batu. Di sisi sungai, di bawah tebing – beberapa kuli tambang pasir berkumpul di depan tenda menikmati kopi dan rokok. Kepala desa pemilik tambang meminta mereka untuk berjaga dan bekerja lembur. Pukul sembilan malam tampak kilat petir membelah langit, ketika beberapa pekerja tiba-tiba berteriak ketakutan dan berlarian. Esok harinya mereka memutuskan untuk tidak ikut lagi menambang di hulu sungai.

“Dasar bodoh! Kalian takut apa?,” kepala desa membentak murka.

“Tapi benar, kami melihat pocong,” kata salah satu penambang.

“Pocong matamu siwer! Tak ada pocong!”

“Kami melihat sendiri, Pak,” kata lainnya mencoba meyakinkan. “Ini sudah tiga kali.”

“Terserah kalian! Kalau tidak mau bekerja, tak usah mengemis pekerjaan lagi!” Kepala desa itu bicara jengkel. Putus asa, dan mengusir mereka tanpa memberi sisa upah.

“Tutup saja tambang itu, Pak,” kata anak satu-satunya setelah mereka pergi.

“Kamu mengigau, bocah ingus?”

“Serius, Pak, lebih baik ditutup saja. Itu hulu sungai, harusnya tak boleh ditambang. Bisa rusak semua nanti.”

“Kamu gila, bocah tengik! Dari dulu kamu bicara soal menutup tambang, bicara soal lingkungan dan melupakan isi perutmu berasal dari mana.”

“Bukan begitu, Pak, tapi alam memang sudah marah. Pocong itu pertanda. Kuli-kuli itu tidak mungkin bohong.”

“Ah, kamu sama saja! Tak ada pocong di sana, kecuali orang-orang pengecut.”

**

Tak ada pekerjaan yang tuntas dalam beberapa bulan. Itu membuat kepala desa panik. Semua pemesan mengeluhkan kelambanan, dan setoran uang untuk pihak-pihak tertentu menjadi berkurang. Mereka marah dan mengancam. Semua ini gara-gara semua pekerjanya ketakutan. Setiap itu terjadi, anaknya selalu memberinya saran untuk menghentikan tambang. Saran itu terdengar sama menjengkelkannya dengan pocong yang selalu menakut-nakuti pekerjanya. Namun, setelah putus asa oleh keadaan, seorang temannya menganjurkannya mengundang paranormal yang dulu pernah membantunya menjadi kepala desa.

“Kalau masalah gaib, pasti dia bisa mengatasinya,” kata temannya.

Ketika paranormal itu datang, semua yang dipikirkannya tentang pendapat anaknya agak berubah. Mungkin saja anaknya benar tentang pocong itu. Paranormal itu bahkan mengatakan persis yang dipikirkan anaknya. Semua tempat di Merapi ada penghuni gaibnya, kata orang itu. Seharusnya semua dimulai dengan meminta restu dahulu sebelum memulai pekerjaan. Orang itu juga mengatakan mungkin para penghuni gaib di sekitar tambang marah karena terganggu. Menambang di hulu sungai harusnya tak dilakukan. Sulit untuk memperbaiki.

“Dari sana air mengalir ke bawah. Ke hilir,” kata paranomal menjelaskan seolah kepala desa itu belum paham. Lalu, dia menambahkan, “Air dibutuhkan semua makhluk yang terlihat dan tidak.”

“Bagaimana itu?” kepala desa bertanya.

“Makhluk gaib seperti jin, sebagian dari mereka hidup di air. Merepotkan bila tempat mereka kering,” jelas paranormal. Kepala desa itu tertawa. Paranormal itu mengambil tembakau. Meramunya dengan klembak dan menyan. Lantas menggulung kertasnya di telapak tangan. “Memang begitu,” katanya kemudian. “Di surah Ah-Rahman, ada larangan merusak keseimbangan alam juga.”

Kepala desa kali ini diam dan mencoba merenungkan itu. Tapi pasir yang bagus ada di sana, dia menjawab akhirnya. Semua membutuhkan, dan semua orang mendapatkan yang diinginkan. Jadi, pekerjaan harus tetap berjalan. Paranormal itu memandangnya. Tatapannya tenang, diliputi asap rokok berbau menyan. Lalu, dia bicara hal-hal yang diabaikan kepala desa.

“Merapi itu bagian dari sumbu spiritual Jawa. Langsung berhadapan dengan keraton dan Laut Kidul. Tak bisa sembarangan. Alam butuh keseimbangan.”

“Jadi, apa jalan keluarnya?”

“Biar nanti saya tangani. Sementara jangan ada aktivitas dulu.”

“Baik, saya ikut, yang penting selesai”

Hujan gerimis di malam bulan November. Kepala desa itu lebih suka meringkuk di ranjangnya, sebenarnya, atau minum kopi sembari melihat sinetron, bila tak harus mengikuti ritual bersama paranormal. Dengan tatapan masgul, matanya memandang kosong bayangan tumpukan pasir dan traktor yang sudah mangkrak beberapa bulan. Dia sadar berapa yang harus dia bayar. Uang sewanya mahal, dan kini semuanya menjadi sia-sia. Tak ada suara di sana, kecuali serangga malam dan mantra yang dibisikkan. Setelah setengah jam, paranormal itu memintanya duduk di belakangnya. Paranormal itu kemudian bicara dengan nada suara penuh hormat dan khidmat, entah dengan siapa. Dia memperkenalkan nama kepala desa, kemudian menyebut semua orang-orang suci di masa lalu, kemudian ditutup dengan permohonan dan perlindungan. Ritual itu selesai di tengah malam.

“Setelah ini tak akan ada gangguan lagi,” kata paranormal itu dengan penuh keyakinan.

“Tapi jangan terlalu banyak mengambil,” tambahnya. Kepala Desa itu mengangguk dan mengucapkan terima kasih sembari menyerahkan amplop cokelat tebal.

**

Ketika paranormal itu datang, semua yang dipikirkannya tentang pendapat anaknya agak berubah. Mungkin saja anaknya benar tentang pocong itu. Paranormal itu bahkan mengatakan persis yang dipikirkan anaknya. Semua tempat di Merapi ada penghuni gaibnya, kata orang itu. Seharusnya semua dimulai dengan meminta restu dahulu sebelum memulai pekerjaan. Orang itu juga mengatakan mungkin para penghuni gaib di sekitar tambang marah karena terganggu. Menambang di hulu sungai harusnya tak dilakukan. Sulit untuk memperbaiki.

Benar saja. Setelah ritual itu, semua pekerjaan lancar. Semua kuli tambang bisa bekerja siang dan malam tanpa gangguan. Traktor bergerak mengeruk pasir, juga gigir bukit sekitar hulu sungai yang menganga seperti gua. Truk-truk berjajar, turun naik jalan mengangkut pasir menuju depo-depo besar. Kepala desa tersenyum lega, semua bisnis berjalan normal. Ketika anaknya pulang di akhir pekan, dia menyambutnya dengan nada riang. Katanya, nanti akan beli mobil untuk hadiah.

“Biar kuliahmu menyenangkan.”

“Saya lebih senang menutup tambang.”

“Kamu suka bapakmu bangkrut?”

“Bapak punya pekerjaan lain, bukan bangkrut.”

“Setan kamu! Semua ini buat hidupmu!”

“Lalu buat anak cucuku apa kalau semua rusak? Bapak tidak memikirkan masa depan keturunan kecuali diri sendiri.”

“Anak Dajal! Bicaramu sembarangan!”

Pikiran kepala desa itu kacau oleh tuduhan serius anaknya. Itu menyakiti hatinya. Di ruang makan dia tak mau bicara, dan meninggalkan ruangan ketika istrinya bertanya mengapa wajahnya muram dan setebal tembok candi berwarna hitam. Tapi dia kembali lagi dan mengatakan dengan suara kesal. “Ajari anak lakimu itu sopan santun” Istrinya bingung dengan kemarahan suaminya. Tapi wanita itu segera sadar apa yang terjadi.

**

Dua minggu kemudian, tiba-tiba semua kembali terulang. Para pekerja yang berjaga melaporkan melihat pocong di area tambang. Laporan itu membuat kepala desa kaget dan khawatir.

“Tak mungkin,” katanya seolah bicara pada dirinya sendiri. Dia mencoba mengingat-ingat semua syarat yang diberikan paranormal itu. Tapi dia merasa semua syarat sudah terpenuhi. Khawatir bisnisnya rusak, dia meminta anak buahnya merahasiakan.

“Kalian diam saja,” katanya mewanti-wanti. “Kalian tak usah bekerja dulu. Upah kalian nanti tetap aku bayar.”

Setelah itu, dia lantas mengambil pekerja baru untuk menggantikan. Dengan cara itu dia berharap bisnisnya tetap berjalan. Tapi, semua itu tak mampu menghentikan pocong. Bahkan mahluk itu kini selalu muncul di setiap minggu. Didera oleh rasa cemas – dia mencoba mencari jalan keluar. Sambil berpikir keras, kepala desa itu berjalan menuju tambang di sore hari. Matanya melihat kekosongan jalur sungai, tebing dan pohon-pohon yang mulai jarang di sekitar. Setelah merenung cukup lama, dia melangkah menuju kuburan di atas lembah. Berdiri di bawah pohon kamboja dan memandang kuburan muram yang diselimuti rumput-rumput liar. Matanya juga melihat bangunan kecil tempat bandosa dan perlengkapan pemakaman disimpan. Tapi dia tak mendapatkan sesuatu kecuali seonggok kain kafan di pojok teras. Sambil berdiri dan merokok, dia terus memikirkan semua yang menimpanya. Dan, akhirnya, didorong oleh rasa penasaran, dia memutuskan untuk terus menjalankan tambang. Dia akan mengambil kuli dari luar. Kali ini, dia akan ikut berjaga di malam hari.

**

Malam itu pekan ketiga, Kepala desa ikut menginap di lahan tambang setelah pamit pada istri dan anaknya yang mendiamkannya. Sejauh ini tak ada sesuatu yang terlihat aneh, kecuali udara yang basah, suara air yang menipis, suara jangkrik dan ular yang berderik, burung hantu, burung cabak, dan tawa para pekerja yang bemain kartu. Ketika para kuli itu sibuk bermain, kepala desa itu berjalan ke ujung sungai, lalu kencing di antara sela-sela batang pohon sembari melihat langit yang hitam kelam oleh mendung. Di saat tangannya mengancingkan celana, tiba-tiba dia dikejutkan oleh jeritan dari arah tenda.

“Pocoong!”

Bergegas dia berlari menuju tenda, mencari tahu apa yang terjadi. Dia melihat beberapa pekerjanya berlarian tak karuan. Satu di antaranya pingsan. Darahnya berdesir keras ketika matanya melihat sosok putih berdiri di antara pepohonan dan menghilang di kuburan. Seluruh tubuhnya merinding, sedangkan dadanya seperti disodok oleh sesuatu yang keras. Dia berdiri kaku, dan berpikir untuk lari. Tapi, rasa amarahnya tiba-tiba bangkit. Bergegas dia mengambil golok dan nekad mengejar makhluk itu. Ketika sampai di area kuburan, matanya segera menangkap sosok putih yang bergerak panik di teras bangunan. Tanpa berpikir panjang, dia bergerak cepat disertai teriakan marah yang menutupi rasa takutnya. Dengan ayunan membuta, goloknya membacok sosok yang tengah mencoba melepaskan kain kafan dari tubuhnya. Dalam sekian detik, mata tajam golok menebas. Kras! Tubuh pocong itu roboh. Tapi, ketika dia mendengar suara rintihan, jantungnya seolah berhenti. Dia pingsan begitu mengenali pocong itu adalah anaknya.

***

Ranang Aji SP menulis fiksi dan nonfiksi. Karya-karyanya diterbitkan pelbagai media cetak dan digital. Dalang Publishing LLC USA menerjemahkan dua cerpennya ke dalam bahasa Inggris. Menjadi nominator dalam Sayembara Kritik Sastra 2020 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud. Buku kumpulan cerpennya Mitoni Terakhir diterbitkan penerbit Nyala (2021).

***

(10)

Hantu Lapar

-

Oleh: RIBKA SYALOM CHRISTIANTI SARAGIH, 9 Maret 2023

Seperti mentari yang enggan terbenam petang ini, Yueyin menunda kepulangannya.

Puluhan tahun Yueyin menghuni daerah pasar di sudut kota itu. Tubuhnya ringkih berbalut terusan merah dengan corak bunga-bunga merah jambu, rambutnya yang sudah memutih dicepol di atas tengkuk. Sosok sepuh itu sudah lama mematung di seberang pasar. Hatinya yang senantiasa gelisah mengharap cemas ingin segera pergi, tetapi sekarang belum waktunya.

Sepasang mata sipitnya memandang kosong ke seberang jalan. Yueyin menatap sebuah toko kain yang sudah akan tutup, tempatnya sewaktu muda bekerja. Lie Feng, pemuda itu dulu masih suka menghisap ibu jari ketika Yueyin bekerja di sana. Yueyin ingat betul bagaimana dulu ia suka menimang-nimangnya di pangkuan. Miris, saat ini bahkan Lie Feng tidak balas menyapa jika Yueyin muncul di hadapannya. Yueyin kerap mengajaknya berbincang, tetapi Li Feng tidak mengacuhkan.

Yueyin sudah terbiasa, tidak seorang pun yang melihatnya. Keberadaannya seperti udara yang tidak kasatmata, tenggelam dalam kesunyian yang dirasakan seorang diri. Hanya mereka yang terbuka nuraninya yang menyadari keberadaannya.

Tepat ketika mentari terbenam, aroma hio menyeruak dari ujung jalan. Yueyin mengendus-endus baunya. Ia beranjak menuju sumber aroma semerbak itu. Langkahnya agak terseret-seret mengikuti bendera segitiga berwarna-warni yang dipasang berderet di sisi jalan menuju ke suatu tempat. Yueyin terus berjalan tanpa memperhatikan sekitar, sama seperti mereka yang tidak mengacuhkannya.

Yueyin berhenti di depan sebuah kelenteng berwarna merah dengan aksen kuning keemasan. Segelintir orang terlihat bergegas masuk ke dalam kelenteng, ritual besar akan dimulai. Yueyin memasuki gerbang besar, menyelinap di antara kelompok manusia yang sibuk berjalan.

Altar itu sungguh megah. Terlihat sebuah meja beser lengkap dengan hidangan mewah tertata di atasnya. Aroma hio sangat kuat tercium, menyeruak hingga ke sudut-sudut ruangan. Yueyin berdiri di sana. Dalam diamnya ia memperhatikan dari jauh, memilih tidak bergabung dengan barisan manusia yang khusyuk berdoa.

Yueyin menyimak altar bernuansa merah di hadapannya. Di atas altar itu tergantung sebuah pajangan merah dengan tulisan berwarna emas. Sepasang pilar merah mengapit altar, ornamen naga-naga emas menghiasinya. Lampion berwarna senada dengan aksen kuning keemasan mengantung pada masing-masing pilar. Patung dewa yang didudukkan di bawah naungan replika bangunan beratap merah menjadi pusat altar. Sebuah lampu gantung menyinari dari atas, memberikan kesan temaram yang hangat. Di hadapan patung dewa, diletakkan berbagai macam barang antik bernuansa merah dan hijau. Lilin-lilin besar berwarna merah berbaris rapi, apinya menari-nari tertiup angin. Sebuah hiolo antik berwarna hijau gelap dengan ornamen singa diletakkan di depan sesajian. Di dalamnya tertancap batang-batang hio yang ujungnya membara, menyebarkan aroma harum.

Seorang sinsang berdiri di hadapan altar sembari mengayun-ayunkan beberapa batang hio, merapalkan doa-doa kepada leluhur. Yueyin juga tidak mengerti maksudnya. Ia sungguh tidak peduli dengan doa-doa yang dirapalkan sinsang itu. Sesajian di depan sana jauh lebih menarik perhatian.

Ritual itu memakan waktu cukup lama, tetapi Yueyin masih memaku langkahnya di situ hingga sinsang itu memberikan penghormatan terakhir ke altar. Mereka yang ikut dalam ritual satu per satu menyingkir. Yueyin hampir menyentuh makanan yang diliriknya sejak tadi, tetapi dari luar terdengar keributan yang menarik perhatian.

Di bawah langit malam, Yueyin kembali mengikuti gerombolan manusia yang berjalan, kali ini menuju halaman belakang kelenteng. Di lahan yang luas itu, tersebar keranjang-keranjang makanan yang melimpah, masing-masing berisi daging, sayur-sayuran, jeruk, nanas, pisang, makanan ringan, bahkan karung-karung beras lima kilo. Ada juga banyak bungkusan kue-kue di dalam keranjang, seperti bakpao, kue apam, bolu kukus, kue keranjang. Di antara makanan-makanan itu, ditancapkan bendera segitiga berwarna hijau, kuning, dan ungu lengkap dengan mantra-mantra yang ditulis dengan tinta hitam.

Yueyin berdiri di antara kerumunan, berusaha maju ke barisan paling depan untuk melihat ke tengah lapangan. Yueyin mendengar dua orang setempat yang tengah berbincang di sela-sela percakapan yang lain.

“Bile mule? Dah kebuloran aku.”

“Sabarlah, bantar agek. Biak barok nak keluar yebe.”

Tidak lama kemudian, si sinsang membelah kerumunan. Berdiri di tengah-tengah, lantas berbicara sebentar. Sekejap setelah si Sinsang mengakhiri kalimatnya, mereka sontak berlari memasuki lapangan. Dengan rusuh gerombolan manusia itu berburu bungkusan.

Yueyin tidak ketinggalan, ia dengan segera bergabung dengan manusia-manusia yang membabi buta. Di tengah-tengah lapangan ia terdesak, tubuhnya yang sudah ringkih ditabrak dari segala arah. Yueyin ketakutan, manusia-manusia itu berebut dengan agresif, berharap mendapat berkah dari makanan-makanan itu.

Tidak satu pun melihat sosok tua yang pucat ketakutan itu. Ya, hanya mereka yang terbuka nuraninya dapat menyadari keberadaannya. Namun tanpa diduga, sinsang tadi menghampiri, mengangguk sopan dan memberikan bungkusan. Kemudian, menyuruhnya pulang dan mendoakan berkah untuknya.

Yueyin menangis dalam hati. Di tengah kerumunan yang membuatnya ketakutan itu, akhirnya ada yang melihat sosoknya. Di bawah langit malam yang temaram, Yueyin menjauh dari hiruk pikuk. Langkahnya terasa ringan. Ia tidak menunggu hingga wangkang dibakar. Malam ini ia akan pulang dengan simpul senyum di wajahnya.

**

Di sudut pasar yang sudah terlelap, sebuah bedeng reyot berdiri. Cahaya kekuningan mengintip dari sela-sela bingkai jendela. An Ni menyibak tirainya, membuka daun jendela. Gadis kecil itu menyembulkan kepalanya ke luar. Ia menatap nanar rembulan yang berpendar di balik awan kelabu yang menutupinya.

“Ng mo am cut, li puam shin hi cut lu kai hang.”

Begitu ia dipesankan pagi tadi. Sejatinya, An Ni ingin menangis keras, ia takut di bedeng sendirian, apalagi perutnya kelaparan belum makan sejak siang tadi. Gadis kecil itu rindu rembulannya kembali.

Tiba-tiba terdengar suara langkah yang diseret. An Ni menutup jendela, menarik tirainya kembali. Ia terbirit-birit mengunci pintu dan duduk meringkuk di baliknya. Gemetar bibirnya meminta ampun sudah berani-beraninya membuka jendela, bahkan melongok keluar. Ia memohon agar tidak diculik hantu.

Tiga kali ketukan di pintu terdengar.

Tok. Tok. Tok.

Senyap, An Ni masih duduk meringkuk sembari menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tiba-tiba terdengar suara dari luar.

“An Ni, buka pintunya. Lia jiu bak pao pun nyi!” Seseorang berteriak dari luar.

An Ni sontak berdiri dan membuka pintu.

“Pho Pho!”

“Kita makan besar malam ini, An!” seru sosok itu.

Rembulannya telah pulang dengan gurat lelah di wajah, tetapi segaris senyum menutupi lemah tubuhnya. Ialah Yueyin yang berarti sinar rembulan terang.

Catatan:

Hio artinya harum. Yang dimaksud harum disini ialah Dupa, yaitu bahan pembakar yang dapat mengeluarkan asap berbau sedap/harum.

Hiolo : Tempat meletakkan hio.

Sinsang : Semacam dukun dalam masyarakat Tionghoa di Sambas, Kalimantan Barat

Bile mule? Dah kebuloran aku: Kapan dimulai? Sudah kelaparan saya. (Bahasa Melayu Sambas, Kalimantan Barat)

Sabarlah, bantar agek. Biak barok nak keluar yebe: Sabar. Mereka baru saja keluar. (Bahasa Melayu Sambas, Kalimantan Barat)

Wangkang : Replika kapal laut dan pesawat terbang yang dibuat dari kertas dan kayu dan nantinya dibakar sebagai simbol mengantar arwah dalam ritual Chiong Shi Ku atau Sembahyang Rampas. Biasanya pembakaran wangkang dilakukan setelah ritual merampas makanan.

Ng mo am cut, li puam shin hi cut lu kai hang: Jangan keluar, malam ini para arwah keluar ke jalanan.

Lia jiu bak pao pun nyi! : Ada bakpao buatmu!

Pho Pho! : Nenek

***

Ribka Syalom Christianti Saragih, lahir di Semarang, Jawa Tengah. Tengah menempuh pendidikan semester keempat di Program Studi Informatika Universitas Tanjungpura Pontianak.

***

(11)

Bangkai Anjing

-

Oleh: ELVAN DE PORRES, 5 Maret 2023

Setelah hujan seminggu berhenti, Nikus keluar dari rumahnya dan pergi ke ladang untuk menguburkan sebongkah bangkai anjing. Itu adalah hari yang basah, tanaman-tanaman berbunga, dan hewan piaraan menepi di sekitar pondok tuannya. Angin terbang sedingin es lalu pecah, dan bulir-bulirnya menjalari perkampungan yang sepi seperti perahu mati. Di kampung hanya terlihat lelaki itu. Ia mondar-mandir di pekarangan belakang rumah, kemudian bergerak ke arah jalan setapak. Punggungnya memanggul karung dan tangkai pacul.

Anjing itu bertinggung dekat tumpukan kayu gaharu. Ia mendenguskan hidung dan menjulurkan lidah seolah mencari lalat putih atau anai-anai. Tetapi bilah-bilah kayu itu lembab sekali. Lidahnya pun ditarik kembali dan sebentar kemudian tenggorokannya berderit. Tepat ketika anjing itu melenguh, Nikus muncul dengan tangan membawa tempurung.

”Helmus,” ia memanggilnya.

Binatang itu mendekat. Bulu-bulunya mengibaskan embun, membentuk buih-buih. Ia menungkai kakinya di paha Nikus bagaikan bocah kecil menghormati patung kudus. Lelaki itu meletakkan tempurung di tanah; anjing itu menurunkan kakinya. Aroma ubi keladi terendus dari dalam isi tempurung.

Sementara anjing itu melahap ubi keladi, Nikus beranjak kembali ke dapur. Ia mengambil ubi seketul, memindahkannya dari tangan yang satu ke tangan yang lain, lalu meniup hingga desis uap lenyap. Ia memasukkan ubi ke mulutnya dan mengunyahnya lambat-lambat. Bola matanya awas pada tingkah anjing tersebut.

Nikus mendengar kabar dari mulut Oom Piduk tentang penyingkiran anjing-anjing. Ia singgah di kios Oom Piduk minggu lalu untuk membeli tembakau sesaat sebelum hujan turun menggelayuti kampung. Ia datang ke kios itu bersama anjingnya, Helmus.

”Jaga piaraanmu itu baik-baik,” berkata Oom Piduk seraya melinting bako dan melihat si Helmus.

”Memangnya kenapa?” Nikus bertanya buncah. Ia mengusap telinga anjingnya.

”Oe, kau belum dengar, kah? Anjing-anjing itu mau segera dibasmi.”

”Kurang ajar!” lelaki itu terkejut. ”Siapa yang beri tahu begitu?”

”Pamong desa tadi pagi ketika bertandang ke sini,” bisik Oom Piduk kecil.

Setelah menolak tawaran Oom Piduk atas anjingnya, Nikus segera bergegas ke rumah pamong desa. Ia berteman baik dengan pamong itu. Mereka sering berburu dan mabuk bersama sehingga tidak mungkin orang tersebut menyembunyikan informasi yang buruk. Nikus hendak memastikan kabar agar tidak keliru sangka. Kalaupun kabar itu benar, risiko apa pun bakal ia tanggung.

Namun, saat ia dan anjingnya melewati deker, tiba-tiba matanya mengeker ke truk hijau yang parkir di sekitar pohon jeruk, tidak jauh dari rumah pamong desa. Nikus mengucek matanya tiga kali, memperhatikan baik-baik truk itu. Seketika dadanya bergemuruh. Ia lalu berbalik badan, menaikkan anjingnya ke bahu, dan berbelok ke jalan pintas dengan langkah buru-buru. Oom Piduk tidak salah omong. Ia telah melihat kendaraan tentara.

Terengah-engah Nikus tiba di rumahnya, sementara di luar awan gelap perlahan menggantikan langit terang. Nikus menyorongkan kepala lewat jendela. Rongga hidungnya menyaring angin dingin seakan meminta petunjuk sebelum hujan turun. Ia lalu menyekat jendela. Tetapi jendela bergetar oleh gelegar guntur dan membuat anjingnya gemetar dan liurnya tercucur hingga ke telapak kaki lelaki itu. Nikus mengabaikan piaraannya. Ia berjalan ke belakang rumah dan menutup pintu. Di atas atap, air hujan telah mengetuk.

Mereka berdua sendirian di rumah berdinding halar itu. Helmus adalah satu-satunya peninggalan orangtua Nikus, selain gubuk tersebut dan peralatan berburu. Sepanjang hidupnya Nikus tumbuh besar bersama anjing itu. Kampung ini sungguh mengeramatkan anjing, begitu bapaknya bertutur sebelum meninggal. Seekor anjing mati, seisi kampung bersedih sampai musim berganti. Dan Nikus pun berjanji untuk menjaga anjingnya, meski kini musim-musim tidak lagi sama dan piaraan itu mungkin akan binasa. Hujan kian menghajar sebesar cakar raksasa. Keduanya mulai kedinginan.

Itu adalah hujan seminggu di antara angin kemarau sejak bulan lalu. Orang-orang kampung mengunci rumah rapat-rapat dan menyalakan pelita minyak damar yang bersinar terang benderang. Tidak seorang pun yang tampak lalu lalang. Mereka hanya bersimpuh menghangatkan badan dan menebak-nebak kenapa hujan mendadak datang bak air bah. Kilatan pertanyaan menyala pada wajah-wajah di sekitar tungku api. Pertanyaan dan jawaban pun bergelinding. Mulanya dari pondok sendiri, kemudian bergerak ke rumah tetangga waktu hujan sedikit reda, dan dua hari sebelum hujan sungguh berhenti, tiba pula di tempat tinggal Nikus.

”Semuanya dari mulut Oom Piduk,” seorang tetangga yang datang meminta bara mulai sesumbar.

”Pedagang itu yang menurunkan hujan?” Nikus bertanya.

”Bukan, tapi kabar pembantaian anjing-anjing.”

”Iya, saya juga dengar dari dia. Malapetaka akan melanda kampung,” Nikus mengerutkan dahi.

”Hanya saja kita bisa memikirkan cara,” timpal tetangga itu.

Tetapi begitu Nikus hendak menyambung percakapan tersebut, gerimis seketika berganti gemuruh. Langit memacakkan petir tunggal dan orang yang bertandang itu segera pamit pulang. Nikus hendak mengajukan pertanyaan, apakah tetangganya itu melihat juga truk tentara beberapa hari lalu, atau mendengar deru mesinnya. Apakah anjing-anjing itu bakal ditangkap terlebih dahulu baru kemudian dibasmi? Lalu, sudah di manakah jejak kendaraan berstempelkan muka presiden itu?

Sebab Nikus tidak perlu bertanya-tanya lagi. Sesaat setelah hujan kembali tumpah tanpa ampun, mulailah terdengar raungan anjing-anjing searah ujung kampung. Itu bukan lolongan biasa. Para anjing seperti menangis dan suara mereka beriringan dengan gelongsor peluru dan bunyi penggorok. Nikus memasang telinga lebar-lebar. Amapu Reta Seu. Ia menelan ludah. Lidahnya terasa kelu. Operasi tentara pasti sudah terlaksana, pikirnya tiba-tiba.

Namun, kenapa ia bisa mendengar suara-suara itu di tengah hujan yang kian membesar. Ia melihat ke arah Helmus. Piaraan itu hanya diam belaka dan sibuk memagut-maguti malor pada tiang berair. Nikus merasa heran pada anjing itu. Tidak biasanya ia mengancing mulut apabila teman-temannya melolong. Tidak mungkin pula ia sengaja menutup telinga. Tidak bisa kita berpura-pura sembunyi, laju peluru itu lebih cepat dari udara, Nikus menatapnya dalam-dalam.

Nikus memang belum pernah melihat peluru terbang, apalagi menghitung kecepatannya. Namun, ia sempat mendengar cerita bahwa dulu peluru-peluru itulah yang menghanguskan salah satu kampung di tanah bagian timur. Orang-orangnya mati mengenaskan, beberapanya hilang tanpa jejak. Peluru-peluru itu, bahkan, mengejar mereka hingga ke puncak gunung: menghabisi siapa pun yang dianggap pembangkang. Nikus merasa takut tiap kali mengingat kisah tersebut. Bau yang lebih busuk dari belerang seakan-akan menyumbat saung hidungnya.

Usai perut menjeluak dan ia melontarkan muntah, Nikus tidak mendengar lagi bebunyian itu, kecuali air hujan. Ia memperhatikan anjingnya. Binatang itu merangkak ke pojok belakang, membaui sebentar perkakas yang baru keluar tadi. Tidak ditemukan ketakutan padanya: anjing itu pun lanjut berbaring.

Memang, tidak ada lagi tanda-tanda aneh pada sore itu. Malam harinya, ketika hujan sejenak berhenti dan jangkrik berderik, mereka berdua telah tertidur lelap: Nikus di atas dipan dan Helmus di kolongnya. Nikus tidak sempat menyalakan lampu. Rumah itu gelap sekali di antara perkampungan sunyi yang terus menyala. Itu adalah malam yang sepi dan panjang. Itu adalah malam yang panjang sekaligus mencekam.

Pagi-pagi sekali, ibarat hantu pohon kelapa, si tetangga kembali datang berkunjung. Nikus tengah menjerang air, sementara anjingnya menelengkan kepala di atas karung ilalang.

”Nikus! Nikus!” berkata orang itu.

”Bagaimana?” Nikus bertanya singkat, dengan mata yang belum melek betul.

”Semuanya mulai hari ini. Pembasmian anjing-anjing itu.”

Nikus menjentikkan tahi matanya dan menyuruh lelaki bertubuh ceking itu merebahkan pantat.

”Saya pikir, sejak kemarin sore,” ia berkata pelan.

”Kemarin itu peringatan. Hari ini, penghabisan,” tetangganya berujar lebih pelan.

”Tapi kau bilang, kita bisa memikirkan cara.”

”Tidak bisa lagi. Anjing-anjing itu akan habis. Kita pasti mati semua,” timpalnya, dan tak lama kemudian segera menghilang.

Sepeninggalan tetangga itu, Nikus melirik-lirik ke sekitaran rumah. Ia mengelanakan mata dan telinganya bekerja dan berusaha menangkap berbagai gejala yang barangkali timbulkan petaka. Namun, ia hanya menemukan dunia yang kosong, berbelit-belit dalam pikirannya yang mulai karut-marut.

Menyerupai ayam katarak, Nikus hanya duduk pasrah dan di luar perkampungan semakin sunyi senyap. Langit yang sedikit biru bertolak belakang dengan kalbu kelabu di rumah-rumah itu. Tidak ada lagi penduduk yang berkunjung diam-diam. Semuanya hanya berjaga-jaga. Sedikit pun suara, entah cicit burung atau gemerisik belukar, selalu membikin mereka khawatir. Namun, Nikus mesti segera beranjak dari rumahnya. Entah kenapa, ia merasa kesunyian itu begitu menyiksa dan maut bakal menyasar secara tiba-tiba. Maut tidak pernah mengenal waktu.

Keesokan harinya, saat matahari kembali membias di tengah angin yang masih dingin, Nikus pun meninggalkan rumah itu dan membawa anjingnya pergi ke ladang. Ia merebus ubi keladi terlebih dahulu seraya membiarkan piaraannya menghirup bau tanah, kemudian mereka makan bersama.

Itulah perjamuan terakhir keduanya. Sebab, Nikus tidak ingin melihat anjingnya mati di tangan tentara, dan ketakutan itu mesti dibereskan dengan caranya sendiri.

Maumere, 2022

Keterangan:

1.Bako: tembakau

2.Deker: gorong-gorong

3.Halar: bilah-bilah bambu

4.Amapu Reta Seu: Tuhan Allah di Surga

  1. Malor: rayap

***

Elvan De Porres, lahir di Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur. Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.

Nugrahardi Ramadhani alias Dhani Soenyoto lahir di Lawang tahun 1981. Lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB ini kini tengah kuliah doktoral dan mengajar di Institut Sepuluh Nopember Surabaya. Aktif menulis, berkesenian, dan menjadi juri di sejumlah kompetisi. Penghargaan yang dia terima antara lain Juara I Kompetisi Komik Indonesia Kemenparekraf tahun 2012 dan Juara I Lomba Logo Halal Is My Way oleh Halal Corner.

***

(12)

Seekor Buaya di Sungai Karang Tambak

-

Amir Sareh melambaikan tangan, sementara matanya tetap awas mengamati kimpul pancingnya yang tidak juga bergerak mengabarkan pertanda baik. Sudah nyaris satu jam ia duduk mencangkung di tempat itu.

Oleh: TJAK S. PARLAN, 4 Maret 2023

Bangkai seekor belanak terapung di arus tenang dan berputar perlahan di sekitar tempat Amir Sareh melemparkan kail. Amir Sareh yang mulai bosan, mendorongnya dengan ujung joran hingga bangkai ikan itu hanyut terbawa arus yang lebih deras. “Sudah penuh belum kepis-nya?”

Amir Sareh menepuk-nepuk kepis bambu yang tergantung di pinggangnya, memperlihatkannya kepada Pangat yang tengah berdiri mengamati tidak jauh darinya. “Masih kosong!” ujarnya kemudian.

“Ndak ada seekor pun?” Pangat tampak penasaran.

Amir Sareh melambaikan tangan, sementara matanya tetap awas mengamati kimpul pancingnya yang tidak juga bergerak mengabarkan pertanda baik. Sudah nyaris satu jam ia duduk mencangkung di tempat itu. Namun, tidak ada seekor ikan pun yang benar-benar datang untuk menyambar umpan. Padahal, ia telah memasang kroto pilihan ke mata kail, berharap ikan-ikan nilem akan segera mengisi kepis barunya yang masih kosong melompong.

“Mungkin umpannya harus diganti,” celetuk Pangat.

“Ndak perlu,” tanggap Amir Sareh. “Saya cuma mau ikan nilem. Jadi penasaran, kenapa ikan-ikan ini ndak mau makan. Apa mereka sudah kenyang?”

“Bukannya kenyang, ikan-ikan itu sepertinya masih mabuk obat,” sahut Pangat. Kening Amir Sareh seketika mengedut. Ujaran Pangat itu tiba-tiba mengingatkannya pada ikan-ikan mati yang terapung di aliran Sungai Karang Tambak. Bukan hanya ikan belanak, sebelumnya ia juga menemukan beberapa ekor jenis ikan lainnya. “Mungkin sebelum mati, ikan-ikan itu teler karena sampah kulit kopi,” ujar Pangat seolah-olah meralat apa yang baru saja diujarkannya.

Sekilas, Amir Sareh membenarkan apa yang diujarkan Pangat. Ketika musim panen, pabrik pengolahan kopi memang kerap membuang limbahnya ke sungai. Namun, musim panen masih lama—bahkan pohon-pohon kopi di perkebunan belum menampakkan bunga-bunganya. Lagi pula, terakhir kali musim panen pihak perkebunan mulai mengarahkan limbah pembuangannya ke areal penampungan khusus yang cukup jauh dari sungai.

“Tapi sungai sedang bersih dan musim panen masih lama,” ujar Amir Sareh. “Pasti ada penyebab lainnya.”

Pangat tidak begitu menggubris. Kini ia mulai berjongkok di antara hijauan kolonjono. Rumput kolonjono tumbuh subur di beberapa bagian bantaran Sungai Karang Tambak dan warga kampung memanfaatkannya sebagai pakan ternak. Namun, sudah nyaris sebulan, jarang ada warga kampung yang menyabit rumput di pinggiran sungai. Cerita soal kemunculan seekor buayalah yang menjadi penyebabnya. Cerita itu disampaikan pertama kali oleh Matosen—itu sore yang gerimis dan Matosen baru saja berjongkok di bibir sungai untuk membuang hajat.

Ketika mulai mengejan, tiba-tiba moncong seekor reptil muncul dari kedalaman arus tenang, bersiap menggasak pantat Matosen. Banyak orang kampung yang percaya dengan cerita itu, kecuali Pangat dan beberapa yang lainnya. Pangat malah sering berseloroh, bahwa Matosen tidak bisa membedakan antara anakan buaya dan seekor biawak. Sejak peristiwa itu, kebiasaan Matosen pun berubah: ia tidak pernah lagi memasang bubu. Padahal, Matosen selama ini dikenal sebagai orang yang paling rajin memasang bubu.

“Ngomong-ngomong, ke mana perginya Matosen? Akhir-akhir ini saya jarang lihat dia. Apa dia sudah benar-benar membuang semua wuwu-nya?”

“Dia sudah ndak berani pasang wuwu. Takut sama anak buaya itu. Sekarang dia pasangnya ke daerah utara. Kemarin dia bawa pulang setimba ikan. Hampir penuh…”

“Satu timba?” Amir Sareh tampak tidak percaya. “Memangnya berapa wuwu yang dipasang Matosen? Yang benar saja!”

“Saya melihatnya langsung. Dia juga memberi saya tiga ekor mujair gemuk,” jelas Pangat, mencoba meyakinkan Amir Sareh.

Amir Sareh tetap sangsi. Dia curiga, Pangat hanya membesar-besarkan apa yang dilihatnya. Dalam banyak hal, Pangat memang kerap seperti itu. Ia bisa menyulap hal-hal kecil menjadi besar dalam obrolannya dan orang-orang merasa tidak perlu mengonfirmasi kebenaran cerita-ceritanya.

“Kimpul-nya terus bergerak!” ujar Pangat tiba-tiba. “Umpan disambar ikan besar!” Kali ini Pangat tidak berlebihan. Kimpul kayu itu memang bergerak ke sana-kemari. Lalu, pada saat yang tepat, Amir Sareh menyentakkan joran bambu di tangannya dan raut mukanya berubah kecewa. Bukan ikan besar seperti tebakan Pangat, melainkan hanya ikan badar yang kurus dan kecil. Amir Sareh segera membebaskan mulut ikan mungil itu dari mata kail dan melepaskannya kembali ke arus sungai. “Ini hari yang kurang baik. Lebih baik saya pulang saja,” ujar Amir Sareh.

“Kapan-kapan ikutlah Matosen, mancing ke daerah utara. Dijamin, pulangnya kepis-mu akan penuh.”

Amir Sareh menatap Pangat sejenak. Penyabit rumput itu sedang memasukkan kolonjono segar ke keranjang bambu miliknya. Amir Sareh terpikir untuk mengikuti saran dari tetangganya itu. Namun, kalau pun harus melakukannya, ia akan melakukannya dengan caranya sendiri. Maka, sembari berjalan pulang ke rumahnya petang itu, ia mulai menyusun rencana kecilnya.

***

 “Matosen datang bersama Matayib, adik laki-lakinya,” ujar Pangat lirih.

Amir Sareh mengusap-usap matanya dan berusaha mengusir rasa kantuknya. Hari itu, di samping ingin mengetahui lokasi Matosen memasang bubu, ia benar-benar penasaran dengan cara Matosen menangkap ikan.

“Coba lihat apa yang mereka bawa,” ujar Amir Sareh. “Hanya dengan alat-alat semacam itu, mereka bisa dapat setimba ikan?”

Pangat memperhatikan kedua sosok yang baru saja tiba. Matosen menenteng sebuah timba berukuran sedang; dua buah gagang penyauk ikan menyembul di bibir timba bekas wadah cat tembok itu. Sedangkan Matayib hanya menenteng sebilah sabit.

Kakak-beradik itu berhenti di sebuah kelokan bantaran sungai. Di ujung kelokan, sebuah cabang sempit membentuk selajur kanal yang mengalir beberapa puluh meter ke areal perkebunan kopi. Ketika kemarau panjang, kanal kecil itu mati suri; airnya hanya sebatas mata kaki, tapi tetap menjadi lahan subur bagi bertumbuhnya gulma genjer dan eceng gondok. Namun, selama hujan masih turun sesekali, debit airnya cukup tinggi dan menjadi persembunyian yang aman bagi ikan-ikan. Apalagi di pangkal kanal itu tumbuh sebatang pohon lo tua. Banyak orang percaya bahwa pohon bertajuk rindang itu memiliki penunggu yang tidak kasat mata. Meskipun demikian, tampaknya Matosen dan Matayib memilih mengabaikan hal semacam itu. Begitu pula dengan Amir Sareh dan Pangat yang menunggu dengan gelisah di bawah pohon angker itu.

“Kita akan tahu, di mana mereka memasang wuwu,” bisik Pangat.

Jarak antara mereka dengan kakak-beradik itu semakin dekat. Dan tidak ada bubu yang harus diangkat seperti dugaan Amir Sareh dan Pangat. Entah di mana Matosen menyembunyikan alat penangkap ikan itu—ia mulai menceburkan diri ke kanal dan tubuhnya terendam sampai ke pangkal paha. Setelah berjalan beberapa langkah, Matosen merogoh kantung celananya dan mengeluarkan sebuah botol kaca berwarna gelap. Matosen membuka tutup botol berukuran kecil itu dalam sekali putar lalu menuangkan isinya sedikit demi sedikit ke sejumlah titik. Dirasa cukup, Matosen melemparkan botol itu kepada Matayib. Matayib memeriksa botol itu sekali lagi, sebelum kemudian berjalan ke pangkal kanal, tepat di bawah naungan tajuk rindang pohon lo. Lantas, di bawah akar gantungnya yang nyaris menyentuh air, Matayib menuang sisa cairan terakhir sebelum kemudian melemparkan botol kosong itu ke bawah pohon. Pada saat itulah, Amir Sareh dan Pangat mulai mencium bau khas pestisida.

Amir Sareh menatap Pangat sejenak. Penyabit rumput itu sedang memasukkan kolonjono segar ke keranjang bambu miliknya. Amir Sareh terpikir untuk mengikuti saran dari tetangganya itu. Namun, kalau pun harus melakukannya, ia akan melakukannya dengan caranya sendiri. Maka, sembari berjalan pulang ke rumahnya petang itu, ia mulai menyusun rencana kecilnya.

Amir Sareh nyaris memperlihatkan dirinya untuk menegur mereka. Namun, Pangat berusaha menahannya. Kedua teman karib itu kembali bergeming, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketika cahaya fajar berangsur terang, seluruh bagian kanal mulai dipenuhi suara kecipak air. Beberapa ekor ikan muncul ke permukaan; mereka sekarat setelah berlarian ke sana kemari dimabuk racun pestisida. Matosen dan Matayib pun bertindak dengan cepat. Mereka menangkap ikan-ikan malang itu dengan serokan dan sabit—begitu mudahnya, seolah-olah mereka telah melakukan hal semacam itu setiap hari. Dan kali ini, Amir Sareh tidak bisa menahan diri lagi. Ia muncul tepat ketika Matayib memamerkan kutuk sebesar pangkal lengan ke Matosen.

“Bagaimana orang bisa mancing kalau begini caranya? Kalian memang bajingan!” Wajah kakak-beradik itu memucat seketika, seolah berhadapan dengan sosok penunggu pohon lo yang siap menyemburkan kutukan. Sebentar kemudian, Matosen tersadar bahwa yang berdiri di hadapannya hanyalah seorang tetangganya.

“Aduh, rasanya hampir modar saya!” ujar Matosen, mulai salah tingkah. “Ayolah, mumpung masih pagi dan ndak banyak yang lihat. Turun ke sini, kita bagi-bagi rezeki!”

Seraya menahan geram, Amir Sareh menunjukkan botol thiodan yang baru saja dipungutnya. “Rezeki matamu itu!” umpatnya.

Matosen berusaha membela diri. Ia menganggap dirinya melakukan hal yang biasa, tidak jauh beda dengan orang-orang kampung yang menangkap ikan dengan potas atau tuba.

“Apa bedanya? Toh, ikan-ikan di sungai ini ndak habis-habis!”

“Ndak ada bedanya, karena kalian sama-sama serakah. Sama-sama ndak pakai otak!”

Perang mulut pun semakin sengit. Saking sengitnya, mereka tidak menggubris ketika Pangat muncul untuk melerai. Sementara itu, Matayib pelan-pelan menyingkir ke ujung kelokan bantaran sungai. Ia duduk mencangkung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Satu-dua ekor ikan yang mabuk, berusaha meloloskan diri ke mulut kanal, lantas terbawa arus Sungai Karang Tambak. Tiba-tiba permukaan air yang tenang itu bergelombang. Lantas, nyaris bersamaan dengan bunyi kecipak, sesosok reptil bertubuh gelap muncul ke permukaan dan menyambar tubuh kurus Matayib. Hanya dalam hitungan detik, setelah jeritan pendek paling memilukan, tubuh Matayib lesap ke dasar sungai. Lalu perang mulut pun berhenti. Matosen, Pangat, dan Amir Sareh berlarian ke mulut kanal. Namun, semuanya sudah terlambat.

**

Siang harinya, tubuh Matayib ditemukan tidak utuh, mengambang di sebuah kedung yang jaraknya ratusan meter dari mulut kanal. Warga kampung gempar. Kegemparan itu menularkan kekhawatiran ke mana-mana, bahkan sampai berbulan-bulan setelah jasad Matayib dikuburkan. Matosen begitu terpukul dengan peristiwa itu, begitu pula dengan Amir Sareh dan Pangat. Butuh waktu lama bagi Amir Sareh dan Pangat untuk bisa berbicara dengan Matosen. Apalagi, Amir Sareh tetap yakin, bahwa penyebab utama peristiwa nahas itu adalah Matosen. Namun, Amir Sareh tidak bisa menolak, ketika pada suatu hari Matosen mendatanginya untuk menceritakan sebuah rahasia.

“Soal anak buaya itu, sebenarnya karangan saya saja. Sore itu, seekor biawak melintas sewaktu saya kebelet berak. Saya benar-benar ndak pernah bertemu anak buaya.”

“Yang harus kamu tahu,” tanggap Amir Sareh, “buaya itu benar-benar ada. Saya sudah pernah melihatnya. Tapi saya ndak habis pikir, kamu mengarang cerita untuk menakut-nakuti warga, biar kamu bebas meracuni sungai. Terus, apa yang kamu dapat akhirnya?”

“Ikan-ikan itu saya jual. Kamu tahu, saya harus memberi makan tiga adik saya. Empat dengan Matayib…”

Mata Matosen mulai basah. Itu pertama kalinya ia bisa menyebut nama Matayib, setelah berbulan-bulan mulutnya terkunci.

“Buaya itu marah padamu,” tanggap Amir Sareh seolah tidak peduli. “Air sungai beracun dan binatang itu merasa terganggu. Ikan-ikan yang biasa jadi santapannya, kamu bunuh semua. Coba saja kamu yang duduk di mulut kanal itu…” Kini mulut Matosen terkunci. Itu pertama kalinya ia tidak bisa membantah apa pun yang keluar dari mulut Amir Sareh.

Ampenan, 20 Oktober 2022

Catatan:

Kepis (Jawa): bakul kecil tempat untuk menaruh ikan hasil tangkapan.

Kimpul (Jawa): pelampung pancing, untuk mendeteksi pergerakan ikan saat menyentuh kail.

Kroto (Jawa): telur semut rangrang.

Pohon Lo (Jawa): ficus racemosa, di Indonesia ada yang menyebutnya sebagai pohon ara.

Wuwu (Jawa): bubu, merupakan alat penangkap ikan tradisional.

Kutuk (Jawa): ikan gabus.

***

Tjak S. Parlan, lahir di Banyuwangi, Jawa Timur. Menulis cerita pendek, esai, resensi, sejumlah feature perjalanan, dan novel. Sejumlah bukunya telah terbit, antara lain Kota yang Berumur Panjang (Basa-basi, 2017—Kumpulan Cerita Pendek), Berlabuh di Bumi Sikerei (Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, 2019—Feature Perjalanan), Sebuah Rumah di Bawah Menara (Rua Aksara, 2020—Kumpulan Cerita Pendek), Cinta Tak Pernah Fanatik (Rua Aksara, 2021—Kumpulan Puisi). Selain menulis, ia menekuni perwajahan (desain) buku dan media cetak (koran, majalah, bulletin, jurnal, zine). Saat ini mukim di Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.

***

(13)

Tungku di Tubuh Ibu

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/0jBG-UIFd6ri-w7YSvGSDe5sydA=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F02%2F21012db0-4440-454a-970d-38e754ab60ee_jpg.jpg

Oleh: PRIMA YUANITA, 2 Maret 2023

Kau bilang tungku dapur itu setiap hari harus mengepul. Jika tak mengepul, maka rumah kita ibarat sebuah kuburan. Dan jika belum mau menjadi penghuni kuburan, maka kita harus memasak. Memasak apa saja asal bisa menciptakan asap dan aroma yang sedap.

Padahal aku tak bisa memasak dan tak suka memasak. Tapi demi melenyapkan kemuraman wajah yang kerap kau perlihatkan itu—sebelum dan selepas kerja, bahkan di saat tubuhku letih, lemah, dan tak bertenaga—kusempatkan untuk menyalakan kompor di dapur.

”Jangan mengeluh! Seburuk-buruknya istri adalah yang suka mengeluh, dan Risan tak suka perempuan yang suka mengeluh!”

Kau menyebut nama anakmu yang sebulan lalu memboyongku tinggal di samping rumahmu. Di matamu yang bulat telur itu, seperti ada kilap api yang meliuk-liuk. Api itu berwarna ungu kemerah-merahan. Jika aku menatapnya lama-lama, maka ia seolah-olah menghipnotisku; aku tak bisa membantah setiap perintahmu. Dengan meminjam kegesitan koki di hotel bintang lima, tanpa perdebatan yang berjuntai-juntai pula, aku segera menyingkap lembaran catatan resep yang beberapa hari lalu kusalin dari internet. Mencomot beberapa bumbu untuk diiris di atas talenan dan memotong-motong sawi juga tahu putih.

Sreng sreng sreng….

Irisan bawang dan cabai telah beradu dengan minyak panas di atas wajan. Aromanya menguar dan menerbitkan sepercik senyum ganjil di bibirmu.

”Seharusnya semua perempuan itu bisa memasak. Biar suaminya tak suka jajan. Selama ini Risan terbiasa mengunyah masakan rumahan. Ia benci suguhan warung yang berminyak dan bertaburan micin,” tambahmu dengan suara tegas.

Aku tak lantas menjawab perkataanmu. Meskipun di dalam hatiku bertebaran bara-bara beringsang yang telah lama bersemayam.

Padahal sebelum menikah, aku dan anakmu, Risan, kerap makan di warung masakan Padang, warteg, soto Makassar, soto Lamongan, bahkan pernah jauh-jauh pergi ke puncak hanya ingin memesan semangkok mi rebus instan. Tapi aku tak memberitahukan hal ini padamu. Untuk apa? Itu hanya akan menyumbang rentetan pekerjaanku. Karena keesokan harinya kau akan mengeluh penyakit asam lambungmu kumat. Lalu Risan akan menyuruhku membawamu ke tempat Bu Bidan (tak ada praktek dokter di daerah sini). Maka aku memilih menuruti pesan Risan yang pernah ia lontarkan di suatu waktu, agar aku selalu diam menanggapi semua ucapanmu.

”Semenjak Ayah meninggal, Ibu jadi seperti itu!” ungkap Risan, ”dulu ia juga pekerja keras sepertimu, Nir! Tapi karena hamil, Ayah melarangnya kerja!”

”Jadi Ibu juga pernah kerja?” Risan mengangguk.

”Setelah itu ia mengurung dirinya di rumah, menghabiskan waktunya di dapur. Berjam-jam. Berbulan-bulan. Hingga kakakku lahir dari perutnya. Lalu kakakku yang kedua juga lahir, lalu yang ketiga, lalu yang keempat, dan aku yang terakhir. Ia telah lama menghabiskan waktunya untuk dapur dan kelima anaknya. Namun bagaikan kacang yang lupa pada kulitnya: setelah menikah dan beranak-pinak di tanah perantauan, kakak-kakakku tak pernah pulang.”

”Kenapa kau tak mengikuti jejak mereka?”

”Apa setiap anak harus memiliki hati yang sama?” Risan melekatkan pandangannya padaku, ”keputusan ada padamu, kau pasti tahu aku bersungguh-sungguh. Dan kau perlu tahu, aku tak akan mengikuti jejak Ayah untuk menyuruhmu berhenti kerja.”

Saat itu aku melihat binar mata yang bening dan berpalung. Ketika aku terjun, di dasar jauh sana, tampak ketulusan telah mengalir sebelum ia tahu apakah aku akan menerimanya.

”Baiklah, tak masalah!” jawabku dengan suara sedikit tertekan.

Tentu saja pada waktu itu aku bisa berbicara seperti itu: karena aku sedang jatuh cinta, dan orang yang jatuh cinta adalah orang yang buta. Ia tak bisa melihat lubang yang menganga di depan kakinya. Ia terus saja melangkah dan melangkah. Sampai ketika kakinya memasuki lubang dan tubuhnya nyemplung, ia baru sadar. Ia terjebak di dalam lubang itu. Dan begitulah yang kualami sekarang.

Kau tahu bagaimana rasanya seseorang yang terjebak? Bukan mesti ia harus mencari jalan keluar jika dengan keluar justru masalah akan berkecai-kecai.

”Tiga ratus juta sudah melayang untuk rumah ini. Apa kita mau utang lagi?” teriak Risan pertama kalinya di hadapanku, pada Sabtu pagi yang muram. Dan teriakan itu berulang pada hari Sabtu berikutnya, ketika aku mengulang kalimat yang sama untuk mengajaknya pindah dengan wajah yang lebih muram dari pagi-pagi sebelumnya. Maka untuk menghapus kemuraman di wajahku: aku berusaha tersenyum.

”Aku harus bisa bertahan,” kataku seorang diri. Menurutku berbicara pada diri sendiri bukanlah hal buruk. Sesekali mungkin kau juga perlu menyapa dirimu agar ia tahu bahwa ia tak kesepian. Seperti aku yang kerap melakukannya di depan cermin setiap hari. Cermin besar yang menempel di dinding kamar. Dinding yang hanya berjarak lorong setengah meter dengan dinding rumahmu. Dinding yang dilekati pintu-pintu kayu jati yang tiap hari kaugedor-gedor dengan sesuka hati.

Baru sedetik mataku terbuka, belum sempat mengguyur muka, bahkan melipat selimut berbulu domba, kau selalu menciptakan teror pagi yang lebih heboh dari rengekan keledai. Bagimu, bagai tiada hal yang lebih penting dari urusan dapur. Dapur yang luasnya tak sampai mencapai separuh bangunan rumahmu. Dapur yang kau serukan sebagai jantung rumah yang harus berdetak setiap hari.

Kau kerap meluluhlantakkan hari-hariku bersama Risan yang seharusnya diliputi kesyukuran sebagai sepasang pengantin anyar yang sedang ingin mekar. Dan bagaikan seorang prajurit yang siaga dipanggil komandannya, Risan akan melakukan apa pun perintahmu sebagaimana aku yang tak pernah bisa membantahmu.

Namun tidak dengan yang terjadi pada hari itu, hari Kamis yang berkabut dan menyerabut tulang-tulangku, ketika aku pulang kerja dengan tertatih-tatih karena terjebak macet dan banjir. Belakangan hujan memang turun deras, jalur utama ke kantor terendam nyaris mencapai lutut. Kulitku lengket dan bajuku basah berlumuran tanah.

Tanpa memedulikan wajah kuyu dan semangat layuku, kau tiba-tiba datang melemparkan kalimat dengan wajah segarang arang: ”Sudah jam berapa ini? Cepat nyalakan kompor! Siapkan makan malam untuk Risan!”

Seketika darahku meletup-letup mencapai ubun-ubun. Seperti bunyi teko yang berdesing-desing, telingaku disambar bising dan kepalaku mendadak pusing. Sementara kau terus berkata tanpa jeda, menyebut-nyebut kata ’tungku’ tanpa irama.

Kata tungku itu berdengung-dengung di tempurung kepala. Pandanganku memburam, lalu samar-samar mataku menangkap bayangan tungku berkaki dua. Di depanku, tubuhmu berubah menjadi tungku itu, dengan nyala api di matamu yang selalu berkobar-kobar acapkali bertandang. Mulutmu menganga seperti lubang tungku yang siap menyemburkan api panas: lidah panjang yang menari-nari, berlenggak-lenggok, dan menertawakan kediamanku. Kulitmu yang seperti dinding-dinding tungku itu mengusam dan baumu menyengak seperti gulungan asap hitam yang menyesakkan dada.

Hampir saja aku berteriak dan tanganku berubah menjadi bor menggerus seisi dapur hingga lebur. Tapi ada hawa panas yang mendadak menyergap. Ada pengap yang perlahan membekap. Lalu dalam sekejap semuanya tiba-tiba gelap.

**

Glek!

Sreng sreng sreng….

Riuh terdengar suara gesekan-gesekan, namun sebentar kemudian….

Hoeeek! Hoeeek!

Lagi-lagi aku harus ke kamar mandi. Mataku berkunang-kunang. Bau aneh itu tajam menusuk-nusuk hidung. Ada campuran rasa anyir, asam, dan getir-getir yang memualkan.

”Untuk sementara Bu Nir harus banyak istirahat, kalau perlu izin kerja!” saran Bu Bidan tadi sebelum menyodorkan sepuluh pil anti mual dan vitamin padaku. Setengah jam lalu, Risan mengatakan kalau aku ambruk lagi. Kemudian ia memanggil Bu Bidan.

”Baru anak pertama saja teler. Terus, bagaimana mau punya anak banyak?” gerutumu dari kejauhan dengan suara yang membuat cicak-cicak di eternit berloncatan.

Seperti biasanya, saat itu kubayangkan tungku berkaki dua itu pasti bersarang di tubuhmu. Ia berdiri dengan nyala yang panas dan garang. Aku berjalan ke dapur seperti seseorang yang sepekan lupa makan. Dari ruang tengah, kusaksikan tungku itu telah hidup, namun entah kenapa kali ini cahayanya meredup.

”Jangan biarkan dapurmu senyap, Nir! Jangan sampai rumahmu seperti kuburan!” teriakmu sembari mengaduk-aduk masakan—yang entah apa namanya—di atas wajan anti lengket yang kubeli bulan lalu lewat arisan.

Melihatmu saat itu dari pintu ruang tengah, ruang yang mengapit dapur dan kamar tidur, seketika aku menjadi musafir yang menemukan tempat perapian. Ada udara hangat yang tiba-tiba membasuh gigil kulit. Hatiku berdesir ketika, barangkali, ada setitik peluh yang luruh dan kau mengusapnya dengan keriput tanganmu. Garis-garis itu semakin kentara berbilang usia, seperti goresan-goresan di dinding tungku yang kuat bertahan diterjang gelombang panas.

”Ia telah lama menghabiskan waktunya untuk dapur dan kelima anaknya.”

Sesaat selepas aku terngiang kalimat itu, setitik air meluncur ke pipi.

Hoeeek! Hoeeek!

Untuk ke sekian kalinya aku mengurungkan niat menyambangi tungku itu, meski aku sadar di sana ada sinar yang berpendar-pendar. Sinar kehangatan yang berasal dari tungku Ibu.

***

Prima Yuanita, seorang ibu rumah tangga, penyuka makanan tradisional dan lagu-lagu bertangga nada mayor. Saat ini tinggal di Sragen, Jawa Tengah dan pernah meraih juara 1 Lomba Karya Jurnalistik PKK tahun 2020 tingkat Provinsi Jawa Tengah.

***

error: Content is protected !!