Kumpulan 12 Cerpen, Mei 2023

(1)

Kuda Panandang Kajar

-

Oleh:  KETUT SUGIARTHA, 3 Mei 2023

Dalem Tarukan resah mendengar berita tentang situasi keraton. Semakin banyak saja patih yang kecewa karena sulit menghadap guna melaporkan dan memusyawarahkan hal-hal yang berkaitan dengan tugas-tugas mereka. Mereka jadi menyia-nyiakan banyak waktu hanya untuk menunggu Dalem Samprangan yang tak kunjung muncul ke pendapa. Itu bisa berbahaya bila dibiarkan. Bisa menjadi sesuatu yang sangat buruk dan merugikan rakyat.

Meski ia telah memilih jalan hidup yang berbeda, menekuni laku spiritual dan tinggal di luar keraton, ia tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab. Tanggung jawab menjaga nama keluarga besar Dalem Kresna Kepakisan yang telah diberi kepercayaan oleh Majapahit untuk mengemban tugas sebagai Adipati Bali. Dalem Samprangan, kakaknya yang pesolek itu, yang lebih banyak menghabiskan waktunya dengan para istrinya daripada menjalankan roda pemerintahan, mau tidak mau harus dilengserkan—tetapi dengan cara yang sedapat mungkin tidak menimbulkan gejolak—demi menjaga kepercayaan rakyat yang belum sepenuhnya pulih sejak Majapahit melakukan serangan besar-besaran ke Bali dengan segala tipu dayanya.

Untuk itu ia memanggil Kuda Panandang Kajar, putra angkatnya.

”Nak, kau pasti mendengar berita tidak enak mengenai keadaan di keraton.”

”Ya, Ayah,” sahut Kuda Panandang Kajar sambil duduk bersila di hadapan Dalem Tarukan.

”Kita tidak bisa membiarkan itu terjadi berlarut-larut.”

”Tapi, apa yang bisa kita perbuat?”

”Kau tahu, pamanmu Dalem Ketut ada di Pandak. Temuilah dia. Katakan padanya, aku minta ia datang ke puri untuk keperluan mengambil alih kekuasaan.”

Kuda Panandang Kajar sempat diam sebelum berkata, ”Baik, Ayah. Perintah Ayah akan segera saya laksanakan.”

”Untuk meyakinkannya, tunjukkan keris ini dan busana ini. Jangan lupa membawa I Gagak, kuda yang akan ditungganginya agar cepat sampai.”

Kendati Kuda Panandang Kajar segera bangkit dari duduknya dan berkemas untuk menjalankan tugas yang diberikan, Dalem Tarukan dapat menangkap rona kebimbangan membayang di wajah putranya. Ia tahu bagaimana putranya itu diam-diam menjalin hubungan batin dengan Dewa Ayu, putri Dalem Samprangan. Agaknya ia mengkhawatirkan hubungannya dengan Dewa Ayu jika keluarga keraton mengalami masalah. Dalem Tarukan merasa perlu juga memikirkan hal itu karena ia tidak ingin mengecewakan putra kesayangannya.

Tiba di Pandak, Kuda Panandang Kajar mendapati Dalem Ketut Ngulesir sedang duduk membicarakan sesuatu dengan sejumlah orang di sebuah balai banjar. Melihat kedatangan seorang pemuda tampan bertubuh tegap dan berkulit bersih, semua yang hadir di tempat itu segera diam dan mengawasinya dengan tatapan penuh tanda tanya. Mereka, tak kecuali Dalem Ketut Ngulesir, tidak mengenalinya.

”Siapakah kau, anak muda?” Dalem Ketut Ngulesir mengerutkan kening ketika ia menundukkan badan sambil mencakupkan tangan di depan dada.

”Maafkan saya telah lancang mengganggu, Paman,” tanggap Kuda Panandang Kajar. ”Saya putra angkat Dalem Tarukan.”

Senyum merekah di bibir Dalem Ketut Ngulesir dan suasana pun jadi cair. ”Hah, kau Kuda Panandang Kajar rupanya. Sedang apa kau di sini?”

”Saya datang untuk menyampaikan pesan Ayah.”

”Pesan kepadaku?”

”Benar, Paman. Ayah berharap Paman segera kembali ke puri. Ada hal penting yang ingin dibicarakan sehubungan dengan rencana penobatan Paman sebagai adipati. Saya kira Paman sudah tahu masalahnya.”

Dalem Ketut Ngulesir terperangah. ”Kau disuruh menjemputku?”

”Ya, Paman. Saya datang dengan sebilah keris dan busana adipati serta seekor kuda.”

”Oh, tidak! Tidak, Nak. Aku ini seorang pejudi. Aku tak pantas menjadi adipati. Lagi pula aku tak ingin ribut dengan kakakku. Katakan pada ayahmu, aku tak akan datang ke puri. Hidupku ada di sini, di antara para botoh.”

Kuda Panandang Kajar menundukkan wajah. Sudah terbayang di benaknya bahwa ia akan kembali ke puri tanpa hasil, dan itu pasti akan mengecewakan ayahnya yang sangat ia hormati.

”Yang patut menggantikan Dalem Samprangan,” lanjut Dalem Ketut Ngulesir, ”adalah ayahmu. Beliau lebih layak untuk itu. Beliau terpelajar dan memiliki bekal yang memadai. Beliau tahu tentang seluk-beluk tata negara. Sedangkan aku, hanyalah seorang gelandangan yang setiap hari bergaul dengan rakyat jelata.”

”Maaf, Paman. Menurut Ayah, justru Paman yang bergaul langsung di tengah masyarakat lebih memiliki kemungkinan untuk berhasil menjalankan pemerintahan. Paman tentu tahu betul apa yang menjadi kebutuhan dan kehendak rakyat.”

Dalem Ketut Ngulesir menggeleng keras-keras. ”Jangan berdebat denganku, Nak. Pulanglah. Aku tidak mau kembali ke puri. Katakan pada ayahmu, beliaulah yang pantas menjadi adipati.”

”Tapi Ayah sudah berjanji akan menjalani hidup sebagai pendeta.”

”Kependetaan bisa ditangguhkan atau bahkan ditinggalkan. Orangtua kita juga melakukan hal itu. Bukankah kita keturunan brahmana yang sudah disatriakan?”

Kuda Panandang Kajar kehabisan kata. Tak ada lagi yang bisa ia katakan karena ucapan pamannya tak mungkin dibantah. Maka ia mohon pamit, bergerak mundur perlahan beberapa langkah sebelum akhirnya membalikkan badan.

Putra Adipati Blambangan yang lahir dari seorang selir itu kembali ke Puri Tarukan dengan wajah tertunduk lesu. Ia telah gagal menjalankan tugas yang diberikan ayah angkatnya. Itu membuatnya sedih dan jengah. Ia akan mengecewakan orangtua yang sangat ia cintai.

Dalam kelesuannya menyusuri jalan pulang ke Pejeng tiba-tiba ada seekor gagak melesat mendekat dan menyambar destarnya serta membawanya terbang entah ke mana. Ia sempat mengumpat sebelum kembali terdiam dan merenungkan kejadian itu. Ini pertanda tidak baik, batinnya.

”Kau pulang sendirian, Nak? Mana adikku Dalem Ketut?” Dalem Tarukan heran melihat putranya kembali dengan wajah murung.

Kuda Panandang Kajar mencakupkan tangan di depan dada. ”Hukumlah saya, Ayah. Saya telah gagal menjalankan tugas. Paman Dalem Ketut tidak mau kembali ke puri.” Ia lalu menjelaskan mengenai pertemuan dan pembicaraannya dengan pamannya.

”Ya sudah, kalau memang begitu. Kita tidak bisa memaksanya. Istirahatlah, kau tentu sangat lelah.”

Esoknya, walaupun hari sudah siang, Kuda Panandang Kajar tidak keluar dari kamarnya. Dalem Tarukan yang tiba-tiba merasa ada yang aneh akhirnya datang menjenguk. Ia heran melihat putranya masih berbaring di tempat tidur.

”Ada apa, Nak? Biasanya pagi-pagi sekali kau sudah bangun.”

”Maaf, saya tidak bisa bangun, Ayah.”

”Kau sakit?”

”Sepertinya saya lumpuh,” jawab Kuda Panandang Kajar.

”Apa?!”

”Kaki saya tidak bisa digerakkan.”

”Dewa Ratu!”

Dalem Tarukan segera menyibakkan selimut yang masih menutupi tubuh putranya. Ia mencoba menyentuh kaki Kuda Panandang Kajar dan mengangkatnya sedikit sambil bertanya, ”Sakit?”

Kuda Panandang Kajar menggelengkan kepala. ”Tidak berasa apa-apa, Ayah.”

Dalem Tarukan menutup kembali tubuh putranya dengan selimut sebelum membalikkan badan untuk menyembunyikan matanya yang mulai basah. ”Istirahatlah, Nak. Apa pun akan kulakukan untuk membuatmu sehat kembali seperti sediakala.”

Sejak hari itu silih berganti penyembuh yang datang ke Puri Tarukan; mulai dari balian ketakson, penyembuh yang memiliki kekuatan gaib, sampai balian putus, orang yang menjadi penyembuh karena tekun mendalami lontar-lontar usada.

Dalem Tarukan sempat marah ketika ada penyembuh yang mengatakan bahwa Kuda Panandang Kajar tidak sakit. Tetapi ketika penyembuh-penyembuh lain juga mengatakan hal yang sama, ia mulai berpikir. Apa sebenarnya yang terjadi pada putraku?

Ia tergerak untuk membuka lontar usada miliknya. Setelah meneliti lembar demi lembar akhirnya ia menemukan apa yang ia cari, bahwa ada penyakit pada pikiran atau perasaan yang bisa menggejala ke badan. Ia tidak ragu lagi, itulah yang terjadi pada Kuda Panandang Kajar.

Hanya ada satu cara untuk membuatnya bisa sembuh. Ia harus diajak bicara dari hati ke hati agar bisa diketahui akar masalahnya. Tetapi jelas itu tidak mungkin. Belakangan ia hanya bisa mengucapkan satu atau dua patah kata saja. Ia begitu lemah dengan tubuh kurus kering karena hanya bisa menelan makanan sedikit saja setiap hari. Bahkan membuka mata pun ia tidak sanggup.

Dalem Tarukan tidak putus asa. Setelah lama berpikir, ia ingat bahwa pendengaran putranya masih normal. Maka ia putuskan untuk melakukan upaya dengan cara yang bisa ia lakukan. Malam itu, setelah Kuda Panandang Kajar menelan sedikit makanan seperti biasanya, Dalem Tarukan berkata, ”Jika kau bisa sembuh seperti sediakala, aku berjanji akan mengawinkanmu dengan Dewa Ayu.”

Keajaiban terjadi pada hari berikutnya. Kuda Panandang Kajar mulai membuka mata. Makanan yang disantap pun lebih banyak dari sebelumnya. Dari hari ke hari ia menunjukkan perkembangan yang semakin baik, sampai akhirnya ia betul-betul sembuh.

Hati Dalem Tarukan membuncah melihat kenyataan itu. Namun, janji yang pernah ia ucapkan membuatnya kembali berpikir keras. Apa yang harus kulakukan untuk memenuhi janjiku? Karena alasan yang baru belakangan ia ketahui, Dalem Samprangan tak akan mungkin merestui perkawinan Kuda Panandang Kajar dengan Dewa Ayu.

Tetapi Dalem Tarukan tahu keduanya saling mencintai. Maka ia mengatur siasat agar Dewa Ayu bisa minggat dari keraton. Siasat itu membuahkan hasil tanpa hambatan, sehingga ia bisa memenuhi janjinya mengawinkan putranya dengan Dewa Ayu. Peristiwa itu memberinya kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Sayangnya, kebahagiaan itu hanya berlangsung sehari. Suasana Puri Tarukan mendadak gaduh setelah hari berganti. Kuda Panandang Kajar dan Dewa Ayu ditemukan terkapar di atas tempat tidur dengan tubuh bersimbah darah.

Ketut Sugiartha. Tinggal di Tabanan, Bali. Menulis esai, puisi, cerpen, dan novel. Telah menerbitkan 14 buku tunggal meliputi kumpulan cerpen dan novel. Dua kumpulan cerpen terbarunya, Gelang Tridatu (2022) dan Tentang Sepuluh Wanita (2023).

****

(2)

Truk Bapak

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/Gy7E8xdSU5n7VKDTjG7AovKs1FM=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F05%2F1f4c5dc1-5884-433e-8335-012705f9bd95_jpg.jpg

Oleh: ADI ZAMZAM, 6 Mei 2023

Entah sudah berapa kali warna bak belakang truk itu berubah warna sesuai kalimat yang terpampang padanya. Kata-kata lucu itu tak lahir dari keisengan belaka. Selalu ada kejadian besar—menghebohkan, atau minimal unik, yang melahirkannya. Tentu saja aku masih ingat beberapa. Misal saja ”Melupakan Ibadah Itu Neraka, Melupakan Orang Tua Itu Durhaka, Melupakanmu Mana Bisa?” yang diberi latar belakang warna putih. Kalimat itu lahir untuk menyindir keluarga besar Mbah Tedjo yang memiliki lima anak, namun semuanya saling menghindar saat diminta merawat orang tuanya yang mulai uzur.

Ada lagi kasus yang sampai berjilid-jilid dan bikin heboh satu kampung. Yaitu saat kepala desa kami—yang sebetulnya sudah dikenal sebagai thukmis, ”berhasil” menggaet istri Kang Opi, tetangga kami. Kasus itu lantas menjadi menu pembicaraan banyak orang, dari setiap kerumunan di sekeliling tukang sayur, para guru di sekolahan, sampai jagongan di masjid. Banyak yang menyalahkan Kang Opi mengapa bisa sampai kalah oleh lelaki yang sudah mencicipi tiga perempuan. Ada pula yang menyalahkan Minah—mengapa bisa sampai jatuh ke dalam mulut buaya.

”Sampai mual dan bosan dengerinnya. Masak di mana ada kerumunan, gosipnya ituuu mulu,” ujar Ibuk, yang langsung menyemprot Bapak begitu menyinggung soal ulah Pak Kades. Akhirnya, Bapak pun berinisiatif membuat ”Daripada Mengangkut Istri Orang, Lebih Baik Mengangkut Batu Satu Dam” dengan warna latar belakang merah nyala, yang tiga bulan kemudian diubah lagi menjadi ”Ora Usah Dolanan Barang Nylempit, Enak’e Sak Menit Rekasane Sundul Langit” saat akhirnya Pak Kades terbukti melakukan penyelewengan dana desa. ”Legaaa…,” kata Bapak, seolah telah mengeluarkan banyak unek-unek yang memenuhi dada.

Kreativitas Bapak bukannya tak pernah menimbulkan masalah. Mbah Penceng—orangtua Pak Kades, sempat melabrak Bapak lantaran merasa malu dan tersinggung atas kata-kata di bak truk bagian belakang itu. ”Apa kamu bangga, kalau nama kadesmu tercoreng sampai di mana-mana?!” luapnya. Tentu saja aku dan Ibuk ketakutan. Kata Ibuk, meskipun tahu keluarga orang tua itu banyak melakukan keburukan, tapi memiliki banyak pengikut di desa lantaran memiliki banyak jenis usaha dengan puluhan pegawai. ”Apa kamu suka kalau anakmu kupermalukan sampai ke sana-sana?”

Bapak sempat mengelak bahwa beliau tak pernah berniat menyindir (mantan) Pak Kades (setelah kasus tangkap tangan itu, Indrajit masih saja mendapatkan panggilan terhormat). Tetapi, kata-kata pada bak truk bagian belakang itu memang telanjur bicara kepada siapa pun yang sudi membacanya.

”Kalau tersinggung ya berarti memang bener ta? Kalau dianya enggak begitu, ngapain tersinggung? Wong bak truk ini enggak menuduh siapa-siapa…” Meskipun kemudian Bapak mengganti warna bak belakang truknya lagi dengan warna ungu untuk menampung ”aku JANJI ga akan nakal lagi. kalo aku NAKAL lagi, nanti aku janji lagi” yang kadang membuatku tersenyum sendiri lantaran sepertinya itu juga diarahkan kepadaku.

* * *

”Kok sepertinya mirip Markonah?” komentar Ibuk ketika melihat lukisan Bapak selesai. Seorang perempuan yang rambutnya tergerai bebas dengan buah dada besar. Ada tulisannya juga; KembanG SukeT MekarE SorE, SirahE MumeT MikirkE KowE. Sementara bagian paling bawah ada tulisan ’MongklE-MongklE’ dengan warna biru tua yang entah artinya apa.

”Mongkle-mongkle artinya apa sih, Pak?” tanyaku penasaran.

Tapi Bapak hanya menjawab dengan tawa. Terbahak-bahak.

Pantang menyerah aku terus saja mendesak Bapak dengan pertanyaan itu. Hingga akhirnya kudapatkan jawaban yang malah membuatku semakin mengerutkan kening.

”Ada truk yang mau menyeberang sungai lewat jembatan bambu, dan hampir jatuh gara-gara bawa muatan terlalu berat,” jawab Bapak sambil terbahak.

”Bapak ini apa-apaan sih?!”

”Bosaaan, Buk. Hidup kok begini terus…,” sahut Bapak.

”Nanti kalau Markonahnya datang dan protes, gimana?” suara Ibuk bergetar. Markonah adalah tetangga kami yang setengah waras.

”Ya biar saja. Asal kita enggak korupsi, enggak mengganggu orang lain.”

Ibuk memang paling enggak suka dengan sesuatu yang mengundang keramaian. Apalagi jika yang menjadi pusat keramaian adalah dirinya. Itulah mengapa Ibuk kadang menangis dan minta ditinggal di rumah saja daripada harus selalu berbasa-basi melayani senyum dan gurauan orang-orang di jalan.

”Apa kamu enggak kasihan dengan anak-anakmu? Aku rela begini juga demi mereka. Demi masa depan kita juga, sebenarnya,” bantah Bapak, yang memang sudah keras kepala.

Bapak sebenarnya sudah pernah coba berdamai dengan keinginan Ibuk. Kebetulan saat itu pas ramai-ramainya musim politik. Gambar baru yang mengisi tiga sisi truk kesayangan Bapak itu sungguh membosankan; dua orang berjas yang terlihat rapi sekali, gambar paku, dan tulisan ’pemimpin jujur negara makmur’. Gambar itu dibuat Bapak atas pesanan seseorang yang mencalonkan diri sebagai bupati. Dan Bapak dibayar mahal atas iklan berjalan itu. Satu juta per bulan!

Hanya saja saat itu wajah Bapak jadi sering terlihat serius.

”Biar saja mereka omong sesukanya. Mana ada orang sempurna? Siapa pun orangnya pasti punya kelebihan dan kekurangan,” hibur Ibuk. Yang pernah bilang lebih nyaman dengan gambar membosankan itu.

”Rasanya kayak mengangkut tai. Kamu itu kayak pura-pura enggak tahu saja. Apa kamu senang melihat banyak orang yang tutup hidung saat kamu lewat?”

Ibuk akhirnya terdiam. Alasan Bapak menerima tawaran itu memang hanya lantaran orang itu masih saudara jauh Ibuk. Saudara yang hanya datang saat butuh. Tiga bulan kemudian Bapak akhirnya mengakhiri ”kontrak” tak tertulis itu. Dan lima bulan kemudian saudara jauh Ibuk itu memang kalah dalam bursa pemilihan calon bupati.

”Menang apalagi kalah, pokoknya enggak enak,” komentar Bapak saat mengenang momen-momen truknya harus berhias gambar orang-orang yang sedang berebut kekuasaan itu.

Akhirnya Bapak pun kembali ke kebiasaan lama. Mendandani truk kesayangannya dengan kata-kata gokil, unik, nylekit, menghibur, namun juga bernada menasihati.

”Dunia ini tempat menyedihkan. Cepat mati kalau hidup kita sedih terus,” ujar Bapak saat mulai berkreasi lagi di bak truk kesayangannya. ”Cara terbaik agar kita bisa bertahan lama ya menertawakan dunia,” lanjut Bapak. Tanpa ada bantahan lagi dari Ibuk.

Sepertinya Ibuk sudah mulai terbiasa saat harus mendengar ”Ayo rondonya dikejar, Kang!” atau ”Sudah mimpi rondo yang mana, Kang?” atau ”Semakin ngebut semakin dekat dengan Tuhan ya, Kang? Hahaha!”

Yang jelas, kata-kata di bak truk yang setiap bulan Bapak ganti itu membawa banyak warna dalam hidup kami. Salah satunya sanggup mengundang orang yang mengaku dari sebuah stasiun televisi nasional itu.

”Aku sempat nonton video bapakmu yang viral itu di fesbuk. Aku ke sini mau lihat kesehariannya langsung. Dan kalau boleh, mengambil videonya juga,” ujar lelaki bernama Hendra itu.

ukan saja kami yang di rumah. Sesampainya di rumah pun Bapak tak kalah kagetnya, ”Video apaan? Video yang mana? Kok bisa?”

”Pasti kelakuannya Darlin, Pak. Yang sering teriak rondo-rondo itu…,” sahut Ibuk dengan suara bergetar. Bapak pun langsung teringat dengan orang bernama Darlin yang katanya memang sering mengarahkan ponselnya ke Bapak.

Wajah Bapak begitu semringah saat menanggapi permintaan Om Hendra itu. Tetapi tidak dengan Ibuk. ”Aku tak mau jadi tontonan orang banyak. Apalagi se-Indonesia. Aku kan sudah bilang, Pak. Aku di rumah saja,” dengan suara bergetar.

”Bukan jadi tontonan kok, Buk. Tapi cerita inspiratif. Banyak orang akan mendapatkan pencerahan saat menonton keseharian Pak Joyo,” potong Om Hendra.

”Buk, apa kamu tega, lihat anakmu habis pulang sekolah, bersih-bersih rumah, nanti masih ditambah mandiin kamu, kasih makan kamu, nyebokin kamu?”

”Kalau begitu biarkan saja aku mati?” Ibuk mulai menangis. Dadaku turut tersayat. Aku memang pernah coba menuruti keinginan Ibuk. Tapi hanya kuat bertahan tiga hari. Rasanya memang berat, sebab aku juga masih harus mengurus tiga kandang bebek yang bila lengah sedikit saja, penghuninya bisa merusak tanaman milik tetangga dan buang kotoran di sana-sini. Apalagi kalau si kembar Nina dan Neni sudah teriak-teriak minta ini dan itu lantaran belum mampu melakukannya sendiri. Mereka masih tiga tahun. Mbah Nur katanya juga sering kewalahan.

”Kenapa enggak mati dari dulu saja biar aku juga ikut mati digebuki para penagih utang itu?!” sahut Bapak pilu. Hingga berakhir tangis yang bersahut-sahutan, yang membuat Om Hendra tak bisa berkata apa-apa.

Om Hendra akhirnya memang pamit pulang setelah mendapatkan cerita dariku. Cerita sedari Ibuk masih sehat dan berjualan segala macam jajan pasar demi bisa membantu Bapak melunasi utang pembelian truk. Ibuk mengalami lumpuh secara bertahap setelah terjatuh dalam posisi terduduk saat hendak naik ojek. Bapak minta maaf berkali-kali. Om Hendra memaklumi. Setidaknya beliau sudah mendapatkan sebuah cerita dariku.

Namun tanpa kami sangka, dua hari berikutnya berdatanganlah orang-orang yang entah dari mana asalnya. Alasan dan tujuan kedatangannya sama; video viral itu, dan mereka menginginkan hal yang juga diinginkan Om Hendra kemarin. Salah seorang yang datang dengan mobil paling mewah sendiri malah mengaku sebagai utusan dari artis Anu di Jakarta sana. Dan sedia membayar Bapak dengan nominal berapa pun yang beliau mau.

”Bukan hanya terkenal, tapi Bapak sekeluarga akan menjadi teladan bagi banyak orang,” rayu si utusan artis itu, yang bahkan kemudian rela menginap di rumah Mbah Nur demi menunggu persetujuan.

”Kok sampai berani bayar mahal kami, berarti untungnya sampeyan pasti lebih gede,” ujar Bapak saat pagi-pagi sudah dihadang orang itu.

”Yaaa… kita sama-sama bisa dapat untunglah, Pak. Siapa tahu setelah tambah viral, Bapak tambah deras rezekinya.”

”Tanya saja istriku,” jawab Bapak kemudian, sembari menggotong Ibuk ke dalam truk dan mendudukkannya di kursi khusus yang beliau bikin.

Tapi Ibuk membisu. Sudah sedari kemarin Ibuk belajar membisu. Hingga si utusan artis itu mengejarnya tergopoh-gopoh menuju truk Bapak. Truk yang Bapak gunakan untuk menertawakan dunia.*

Catatan:

– Thukmis: mata keranjang

– Ora Usah Dolanan Barang Nylempit, Enak’e Sak Menit Rekasane Sundul Langit: tidak usah bermain-main dengan sesuatu yang terjepit, enaknya satu menit, susahnya sampai setinggi langit.

– Rondo: Janda

***

Adi Zamzam, bernama asli Nur Hadi, lahir di Jepara, 1 Januari 1982. Cerpen-cerpennya tersebar di berbagai media nasional. Pernah menjadi nomine lomba cerpen Krakatau Award 2018 dan lomba puisi Krakatau Award 2019.

***

(3)

Pohon-pohon Jalan Protokol

-

Oleh: KIKI SULISTYO, 7 Mei 2023

Pemerintah kota mengeluarkan aturan: pohon-pohon di sepanjang jalan protokol harus ditebang. Pertama, karena musim hujan sudah datang. Kedua, karena pohon-pohon itu sudah berusia tua; rapuh dan mudah tumbang. Musim hujan dalam beberapa tahun belakangan selalu diiringi angin badai. Sejumlah pohon sudah tumbang dan sebagian menimpa kendaraan yang sedang melintas. Tahun lalu, seorang perempuan pekerja turut menjadi korban. Sekarang perempuan itu lumpuh dan harus menghabiskan hidupnya di atas kursi roda.

Sewaktu petugas penebang pohon mulai bekerja, Maryam baru mengetahui ada aturan itu. Sebelumnya, setiap hari Maryam berjalan melintasi jalan protokol. Ia senang berjalan di bawah kanopi pepohonan. ”Rasanya syahdu, seperti membawa nostalgia,” ucap Maryam kepadaku saat kutanya soal kebiasaannya itu. Maryam lahir di daerah administratif yang masih termasuk ibu kota provinsi tempat jalan protokol itu berada. Meski tinggal di daerah pinggir, bukan di pusat kota, semenjak kecil ia sudah senang berjalan melintasi jalan protokol, di bawah kanopi pepohonan. Sekarang Maryam bekerja di sebuah kantor asuransi dan setiap hari ia berjalan kaki menuju kantornya, sekitar 3 kilometer dari tempat tinggalnya.

Ia memilih berjalan kaki bukan karena tak ada angkutan kota, atau dalam rangka mengirit pengeluaran. Ia berjalan kaki karena selalu hendak merasakan syahdu yang seperti membawa nostalgia itu. Aku bilang ke Maryam, seraya mengutip Milan Kundera, perihal nostalgia; suatu perasaan ingin pulang ke rumah yang sudah tak ada lagi. Maryam tak setuju dengan pendapatku. Ia berkata, ”Itu berlaku untuk situasi besar. Situasi yang melibatkan negara dan politik. Tidak dalam situasi yang kualami. Aku tak ingin pulang. Bagaimana bisa aku ingin pulang sedang aku tak pernah ke mana-mana? Nostalgia yang kurasakan adalah hal berbeda; ia tak memulangkan, ia mengasingkan.”

Mungkin Maryam benar.

Karena perasaan itu, saat para petugas mulai menebang pohon, Maryam tiada dapat menyembunyikan kecemasan di parasnya. Ia akan kehilangan saat-saat keterasingannya.

”Mungkin kita bisa menulis surat pembaca untuk mempertanyakan kebijakan wali kota,” ujarnya kepadaku pada malam kami bertemu setelah ia untuk pertama kali melihat petugas penebang pohon bekerja. Aku bilang kepadanya bahwa itu tak ada gunanya apabila ia mengharapkan surat yang ditulisnya bisa membuat aturan dibatalkan. Tanpa surat pembaca pun pasti akan ada pihak-pihak yang menentang aturan itu; mahasiswa, LSM, bahkan dari pihak pemerintah sendiri. Namun, seperti biasa, aturan itu akan tetap dijalankan. Pohon-pohon di jalan protokol akan ditebang.

”Lagi pula, kupikir aturan itu tepat. Pohon-pohon itu sudah terlalu tua. Sangat berbahaya apabila datang musim hujan. Nyawa manusia tetap tak setimpal dengan pohon-pohon,” ujarku menambahkan. Maryam tak menyukai pendapatku. Tiada sedikit pun ia percaya bahwa nyawa manusia tak setimpal dengan nyawa pohon-pohon. Padahal, aku tak mengenal Maryam sebagai seorang pemerhati masalah lingkungan. Ia tak pernah ikut organisasi pencinta maupun pelestari alam. Ia juga jarang sekali berbicara soal sampah, pemanasan global, atau perubahan iklim. Akan tetapi menyangkut pohon-pohon di jalan protokol, tampaknya ia merasa sangat berkepentingan. Dengan nyaris bersungut-sungut ia berkata, ”Itu pikiran yang bodoh. Mana bisa manusia hidup tanpa pohon-pohon? Kau lihat saja nanti, kalau pohon-pohon itu habis ditebang, kecelakaan akan lebih banyak terjadi. Panas matahari sekarang bisa bikin orang senewen. Karena senewen mereka akan ugal-ugalan di jalanan, apalagi jalanan kota ini kian ramai, kian sesak, terutama di jam-jam kerja. Macam jalan di ibukota negara saja!”

”Tapi coba kau posisikan diri sebagai korban yang terkena pohon tumbang. Bagaimana kalau kau, atau keluargamu, terpaksa harus menghabiskan sisa usia di atas kursi roda. Apa pikiranmu masih akan sama?”

”Ah, tak perlu kau sodorkan kepadaku pertanyaan dari moral Kantian semacam itu. Bagaimana mungkin segelintir orang yang celaka membuat orang lain membasmi sesuatu yang sebetulnya tak ada hubungannya dengan kecelakaan itu. Barangkali, jika orang-orang mampu, mereka juga akan meratakan gunung-gunung supaya tak ada lagi yang meletus. Membuat atap seluas semesta untuk menangkal hujan supaya tak ada banjir, juga menjaring angin supaya tak ada topan dan badai. Padahal semua kecelakaan yang menimpa orang-orang adalah karena kebodohan mereka sendiri.”

”Termasuk aku?” tanyaku. Tentu pertanyaanku bermaksud menggodanya, juga bermaksud mencairkan ketegangan.

”Iya. Termasuk kau!” serunya.

Maryam kemudian melaksanakan niatnya menulis surat pembaca. Ia kirim ke koran lokal, juga ke koran nasional. Akan tetapi surat itu tak dimuat. Tampaknya koran lokal tak mau memuat surat tersebut karena perusahaan yang menerbitkan koran tersebut sudah punya kerja sama dengan dinas terkait. Sementara koran nasional tak tertarik dengan surat tersebut lantaran isunya terlalu lokal.

Sementara itu, musim hujan pun datang. Nyaris setiap hari langit gelap, angin basah menggiring bubuk air agar tertebar merata seakan-akan bubuk air itu adalah bibit-bibit tanaman. Pertengahan Desember cuaca memburuk. Badan Meteorologi memperingatkan kemungkinan datangnya badai. Aku tak bertemu lagi dengan Maryam semenjak terakhir ia bilang kepadaku bahwa ia sudah mengirim surat pembaca. Sebagai wartawan aku disibukkan oleh tugas liputan, dan tentu saja hari-hari itu liputanku tak jauh dari soal cuaca.

Sebetulnya aku agak malu mengaku sebagai wartawan, sebab pekerjaanku, di perusahaan media dalam-jaringan itu, tak lebih dari menulis ulang rilis acara-acara pemerintah, atau mengunggah konten-konten remeh semacam chord gitar lagu yang sedang terkenal, sinopsis sinetron yang juga sedang terkenal, bahkan pernah: tips mengaduk semen. Kadang aku juga diminta membuat daftar-daftar tertentu, dengan janji nomor sekian bakal mencengangkan pembaca. Tentu saja tak ada yang mencengangkan dari daftar-daftar itu, kecuali judulnya. Apa boleh buat, sebagaimana aku, perusahaan juga membutuhkan pemasukan.

Namun, beberapa waktu lalu seorang kawan wartawan keluar dari perusahaan. Kabarnya ia mau membangun perusahaan sendiri. Jadi, aku mendapat kesempatan untuk menggantikannya meliput peristiwa.

Aku ditugaskan menemui Fatimah Gotama, perempuan yang lumpuh karena tertimpa pohon tahun lalu, untuk keperluan wawancara. Di luar dugaanku, mungkin juga dugaan banyak orang, Fatimah justru memimpin suatu gerakan protes terhadap aturan penebangan pohon sepanjang jalan protokol. Bersama sejumlah aktivis ia turut berdemo, baik di depan kantor wali kota, maupun di depan Gedung DPRD, juga di depan dinas pertamanan dan tata kota. Memang tak banyak yang ikut. Isu penebangan pohon kiranya tak cukup hangat dibanding isu kenaikan harga bahan bakar atau isu perubahan undang-undang yang berskala nasional itu.

Tiada kusangka, di rumah Fatimah, aku malah bertemu dengan Maryam.

”Kau salah lagi. Lihat, aturan penebangan pohon itu ditunda. Setidaknya belum seluruh pohon habis ditebang. Kami berhasil,” ucap Maryam saat aku sudah di ruang tamu rumah Fatimah. Fatimah sendiri belum keluar, ia sedang menerima telepon di kamar dalam.

Sementara itu hujan turun dengan ganas; angin kencang menyapu apa saja. Bunyi atap seng yang nyaris terbang membuat suasana jadi terasa mengancam. Akan tetapi, Maryam tampak tenang-tenang saja.

”Kami?” tanyaku. ”Jadi sekarang kau ikut menjadi aktivis?”

”Kenapa harus menjadi aktivis untuk bisa bersuara? Jika ada orang-orang yang satu pemikiran, meskipun mereka tak saling kenal, itu bisa disebut sebagai ”kami”. Aku menyebut ”kami” karena aku satu pemikiran dengan Fatimah, tapi kami tak satu pikiran denganmu. Ya, kan?”

Ah, Maryam. Ia selalu ingin mempertentangkan dirinya denganku. Aku tahu, kegemarannya berjalan kaki sepanjang jalan protokol untuk merasakan suasana syahdu dan seperti nostalgia itu tak lain karena silsilahnya. Maryam punya darah Belanda. Nenek buyutnya berasal dari negara Eropa itu. Para kolonialis itulah yang punya kebijakan menanam pohon di sepanjang jalan yang kelak menjadi jalan protokol kota ini. Maryam tiada pernah mengunjungi tanah lahir nenek buyutnya. Akan tetapi sesuatu dalam dirinya jelas terhubung dengan masa lalu. Berjalan kaki di sepanjang jalan protokol, di bawah kanopi pepohonan, dapat membawanya ke tanah lahir nenek buyutnya. Itu pastinya yang ia maksudkan sebagai nostalgia. Jadi aku tak salah, Milan Kundera juga tak salah. Aku bisa meyakini semua itu, karena aku dan Maryam berkawan dekat sejak kecil.

”Kau memang pintar, Maryam. Menyenangkan berbicara denganmu. Meski cuma kadang-kadang. Tapi ingat, sekarang ini aku sedang dalam tugas liputan. Aku mau mewawancara Fatimah. Kalau kau tak keberatan, bisakah kau membiarkan kami berbicara berdua saja?” ucapku.

”Kenapa begitu? Kupikir tak ada masalah aku tetap di sini. Kau tak perlu mengutip namaku di beritamu. Aku cuma mau mendengar pertanyaan-pertanyaanmu…”

Suara gemuruh terdengar dari luar. Suara yang seperti merobek deru hujan, disusul seruan-seruan. Aku segera bergegas ke pintu depan. Dari sana dapat kulihat sebatang pohon tumbang tak jauh dari rumah Fatimah. Pohon itu mengenai kabel jaringan listrik dan menimbulkan api yang memercik ke sebuah rumah. Meskipun hujan demikian deras, tapi angin rupanya turut membesarkan nyala api. Rumah itu terbakar, dan dalam tempo singkat api pun mulai menjalar ke rumah di sebelahnya; rumah yang lebih dekat dengan rumah Fatimah.

Sesaat kemudian kami mendengar suara jeritan dari kamar dalam.

Mataram, 2022-2023

***

Kiki Sulistyo lahir di Ampenan, Lombok. Kumpulan cerpennya, Muazin Pertama di Luar Angkasa (2021), masuk nomine Penghargaan Sastra Kemendikbudristek 2022. Sementara kumpulan cerpennya,Bedil Penebusan (2021), masuk nomine Buku Prosa Terbaik Tempo 2021.

I Made Wahyu Friandana, lahir di Denpasar. Dia merupakan perupa, musisi (Virtual Doom & Akubandkamu), dan seniman tato. Pernah menggelar beberapa pameran, salah satunya Pameran Bali Megarupa tahun 2021.

***

 (4)

Menjadi Burung Pingai dalam Lima Babak

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/BHCFnspyl0EBBvVwWJ7AKb1vX_8=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F09%2F99b2c5da-9fb7-4069-aeba-7ed6944b4e29_jpg.jpg

Oleh: EKA ARIEF SETYAWAN, 10 Mei 2023

”Bagaimana keputusan kalian semua? Apakah kita langsung menghukum manusia yang menyebabkan banyak kerusakan di kota ini? Jika saya menjadi kalian, tentu tak akan kupikir-pikir panjang untuk memberi balasan setimpal padanya,” pekik salah seorang pendemo secara berapi-api dan diikuti teriakan masyarakat lainnya. Posisinya kini terkepung di tengah mereka. Semakin terancam.

Babak Pertama – Awal Mula

”Berhenti.”

Perintah Wali Kota Sukapadu, Rizman Teguh, menghentikan laju mobil yang ia tumpangi menuju Balai Kota. Wajahnya menyiratkan kegeraman, kala mobil dinas yang disopiri oleh asistennya, Badrun, tiba-tiba ditembaki tahi burung saat memasuki Jalan Merdeka. Kaca mobilnya yang semula mengkilap, kini tercorak oleh cairan kuning keputihan itu. Tak hanya sekali, bahkan ”tembakan” itu menyasar bagian depan-atas-belakang mobil secara bersamaan hingga belasan kali. Badrun dan Wali Kota hanya ternganga dibuatnya.

Tersebab kotoran laknat itu mengganggu pandangan kemudi, Badrun terpaksa meminggirkan mobil pada sebuah toko kosong berkanopi. Ia mengelap kotoran-kotoran itu dengan kanebo yang ia simpan, meski tak membersihkan—justru memperkeruh—hingga merata ke seluruh kaca sebab tak membawa banyak air. Wajah Badrun semakin gusar.

Dari balik jendela mobil, kedua mata Wali Kota terus menyorot tajam ke arah aspal. Seluruh permukaan jalan hampir dipenuhi bercak tahi, bahkan warnanya lebih beragam, ada yang kehijauan, kekuningan, juga putih murni. Mata Wali Kota masih terbelalak pada apa yang disaksikannya kini, sebuah fenomena baru terjadi di Kota Sukapadu: ribuan burung pingai saling bertengger, berjejalan, hingga beterbangan ke sana kemari. Mereka memenuhi seluruh kabel listrik serta hiasan tali yang membentang di sepanjang Jalan Merdeka, jalan yang ujungnya berdiri megah gedung Balai Kota. Bahkan, langit yang semula berwarna biru itu, kini kelabu tertutupi oleh burung-burung itu.

Pandangan Wali Kota juga tak lepas dari puluhan manusia yang berjalan sembari mengenakan sepatu bot, jas hujan plastik beragam warna, payung, serta bermasker. Mereka berjalan cepat di atas trotoar yang tak luput oleh bercak tahi itu. Tatapan Wali Kota pun dibuyarkan oleh sebuah kotoran baru yang menyembur tepat di wajahnya dari balik kaca. Ia tak henti-hentinya mengumpat.

”Tahi!”

**

Babak Kedua – Asal Masalah

Beberapa lembar foto dilempar seketika di atas meja yang lebar. Wajah Wali Kota tampak merah dan kedua tangannya mengepal erat. Di hadapannya berdiri sepuluh Tim Ahli Dinas Perkotaan yang membawa map sambil tertunduk lesu.

”Bagaimana bisa burung-burung itu memadati seluruh jalanan kita?” omel Wali Kota sembari mengusap wajahnya beberapa kali.

”Begini, Tuan Wali Kota. Berdasarkan pengamatan kami. Keberadaan mereka disebabkan adanya migrasi dari beberapa negara Asia lainnya, akibat habitat aslinya telah rusak. Sementara itu, Kabupaten Margoweni yang pada mulanya mereka gunakan sebagai tempat singgah, kini tak lagi ditempati akibat suhunya yang berubah ekstrem menjadi dingin. Intinya, mereka tengah mencari kehangatan di sini, Tuan.”

”Berapa jumlah mereka?”

”Perkiraan kami, sekitar tiga ratus ribu burung.”

”Tidak mungkin. Saya tadi lihat sendiri di sepanjang Jalan Merdeka, jumlah mereka tak sebanyak itu.”

”Masalahnya, burung-burung itu tak hanya memadati sepanjang Jalan Merdeka saja, Tuan, tetapi semua jalan dan rumah di Sukapadu telah mereka datangi, bahkan perkiraan kami dalam beberapa jam ke depan, jumlahnya bisa mencapai lima ratus ribu.”

Alis Wali Kota semakin meruncing. Kedua tangannya semakin mengepal kuat.

”Saya curiga. Jangan-jangan ini konspirasi agar Sukapadu gagal dapat piala. Siapa lagi dalangnya kalau bukan dari Margoweni dan Tirtoyoso. Kota mereka kan cuma wilayah panas dan gersang, tak seperti Sukapadu ini, yang meski panas, tetapi tanahnya tetap subur. Mereka tidak suka jika Sukapadu menang Piala Kebersihan lima kali berturut-turut.”

Kesepuluh orang itu hanya saling memandang sembari mengernyitkan dahi. Mulut mereka seolah ingin menyanggah, namun tetap saja diam dengan pandangan tak beralih dari Sang Wali Kota.

”Lalu, bagaimana solusi kalian untuk menyelesaikan masalah ini?”

”Saran dari kami adalah dengan cara menangkapnya, Tuan, lalu dipindahkan ke pulau buatan di seberang Margoweni. Kami telah mengecek bahwa pulau tersebut suhunya masih stabil.”

”Jika ingin ditangkap, butuh anggaran berapa?”

Tampak dari mereka telah menyiapkan seseorang yang khusus didatangkan untuk menjawab pertanyaan itu. Setelah tangannya mencorat-coret pada sebuah buku catatan seukuran telapak tangan, barulah ia temukan jawabannya.

”Lima ratus juta rupiah, Tuan.”

Mata Wali Kota terbelalak kaget. Alisnya meruncing.

”Kok bisa semahal itu? Untuk apa saja?”

”Untuk pembiayaan alat penangkaran, perawatan, dan membayar tiga ratus ahli pemetaan yang akan ditugaskan di Hutan Buatan, dan juga setiap sudut kota, Tuan, mengingat invasi burung ini telah menguasai delapan puluh persen wilayah di Sukapadu ini. Jika tak segera ditangani, maka bisa dipastikan jumlahnya akan meningkat hingga tiga kali lipat…”

”Tidak!”

Tim Ahli terkejut dengan jawaban spontan sang Wali Kota yang wajahnya semakin memerah dan menyiratkan murka.

”Bagaimana bisa, mengusir kawanan burung saja membutuhkan uang sebanyak itu? Masih banyak kebutuhan yang lebih penting, khususnya persiapan Piala Kebersihan nanti.”

”Tetapi, menurut kami, ini juga penting, Tuan.”

”Penting dapat duit? Iya? Kenapa untuk urusan seperti ini saja, kalian selalu menghabiskan banyak anggaran. Untuk penelitianlah, proyek sainslah, dan tetek bengek lainnya itu. Kalian tahu, di luar sana masih banyak rakyat yang susah mendapat makan. Sementara kalian di sini justru menakut-nakuti saya dan mereka!”

Kesepuluh tim ahli hanya diam tertunduk.

”Lebih baik kalian teliti burung itu saja, lalu serahkan hasilnya secepatnya, biar saya yang atur ini sendiri.”

Para tim ahli pun bergegas meninggalkan wali kota seorang diri, sembari ia tak henti menepuk kepalanya.

”Tahi!”

**

Babak Ketiga – Menuju Masalah

Siang berikutnya, siaran televisi di penjuru kota tiba-tiba berganti rupa. Masyarakat yang kini menggunakan masker, saling menyaksikan siaran itu di mana pun berada. Terlihat Wali Kota duduk membelakangi sebuah meja, mengenakan pakaiannya yang serba hitam, rapi, dengan berlatar belakang dinding coklat, serta terpasang bingkai potretnya sedang menghadap ke langit.

”Saudara-saudaraku, seluruh masyarakat Kota Sukapadu. Saat ini kita dihadapkan dengan munculnya ratusan ribu burung liar yang memenuhi seisi kota. Ini menjadi masalah besar bagi kita, mengingat Piala Kebersihan Kota akan segera digelar beberapa bulan lagi. Dan kita tahu semua, terdapat pihak dari wilayah lain yang berusaha menggagalkan predikat Sukapadu sebagai Kota Terbersih lima kali berturut-turut. Maka dengan ini, saya memerintahkan kepada seluruh masyarakat untuk bersama-sama memerangi kawanan burung itu, dengan cara apa saja: bisa dengan menembak, membakar, atau apa saja. Kami akan membelinya dengan harga lima ratus rupiah per ekornya.”

Wali Kota terdiam sejenak, sorot matanya berpindah cepat, seraya mulutnya kembali terbuka.

”Kami beri waktu lima hari pengumpulan di Lapangan Besar Sukapadu, terhitung pukul enam pagi esok, hingga lima hari ke depan. Akhir kata. Selamat berburu.”

Seusai konferensi pers itu. Masyarakat pun meresponnya dengan suka cita, disusul tumpah ruah ke jalanan. Masing-masing dari mereka lekas mempersiapkan alat terbaiknya, seperti senapan angin, panah, pestisida, hingga penyembur api. Mereka saling menyebar dan memburu burung pingai yang diam bertengger di berbagai tempat. Perburuan antar dua spesies pun dimulai.

Hanya dalam beberapa jam, jumlah burung pingai berkurang drastis, mulai dari ditembak senapan, panah, disemprot pestisida, hingga disembur api. Sebagian anak-anak yang tak memiliki senjata utama, memilih untuk mengejar burung-burung yang tersisa dengan ranting pohon, hingga akhirnya jatuh ke tanah, lalu mati sebab kelelahan.

**

Babak Keempat – Puncak Masalah

Beberapa hari setelah perburuan akbar. Kini lapangan Besar Sukapadu dipenuhi oleh ratusan ribu jasad pingai yang berhasil ditangkap. Tiap warga mulai menyiratkan ekspresi bahagia, sebab mampu membunuhnya dalam jumlah banyak, sehingga mendapatkan uang cuma-cuma dari hasil penukaran pada petugas dari Dinas Keuangan. Seusai burung-burung terkumpul, mereka dibakar di tengah lapangan dengan api yang berkobar setinggi lima meter. Tak jauh dari sana, berdiri tegap Sang Wali Kota bersama para warga, sembari tersenyum dan saling bertepuk tangan.

Apakah lantas berakhir bahagia? Tentu tidak.

Malam hari selepas pembakaran ratusan ribu jasad pingai. Seisi kota Sukapadu perlahan diserbu oleh belalang dan ulat yang entah dari mana. Mereka sukses merontokkan beras, jagung, dan segala tumbuhan di rumah warga, bahkan Lumbung Beras Kota milik Pemerintah Kota juga tak luput diserang hingga membusuk.

Dalam beberapa minggu, angka kelaparan di Sukapadu mulai meningkat. Wali Kota yang kembali panik, lekas meluncurkan berbagai kebijakan darurat guna menyelamatkan kota, mulai dari peperangan melawan belalang dan ulat, program pertanian darurat, hingga impor makanan dari kota lain.

**

Babak Kelima – Akhir Masalah

Bukannya mujur, sekian kebijakan Wali Kota Rizman Teguh justru gagal total. Selain angka kematian penduduk akibat kelaparan semakin meningkat tajam, muncul krisis air akibat pengalokasian air secara serampangan pada proyek pertanian darurat, yang kini tak menjadi apa-apa itu. Kebijakan impor makanan dan air dari kota terdekat, Margoweni dan Tirtoyoso, turut gagal pula, sebab kedua kota itu terlanjur ”murka” dan memusuhi Wali Kota Rizman, bahkan mencekalnya untuk menginjakkan kaki di sana.

Meski demikian, Wali Kota Rizman tetap ogah meminta maaf pada kedua kota itu, sebab masih memercayai mereka sebagai dalang atas segala kekacauan di Sukapadu, bahkan membuat tuduhan baru melalui pidatonya di televisi: telah merancang skenario agar ia terdongkel dari kursi kekuasaan.

Malam hari selepas pembakaran ratusan ribu jasad pingai. Seisi kota Sukapadu perlahan diserbu oleh belalang dan ulat yang entah dari mana. Mereka sukses merontokkan beras, jagung, dan segala tumbuhan di rumah warga, bahkan Lumbung Beras Kota milik Pemerintah Kota juga tak luput diserang hingga membusuk.

Dinas Kesehatan Sukapadu semakin kewalahan menampung berbagai pasien dengan penyakit yang semakin beragam, mulai dari diare, muntah berak, hingga penyakit kulit. Ratusan masyarakat yang mulai jengah dengan kegagalan Wali Kota Rizman, mulai menggelar demo besar-besaran dan menggeruduk paksa Balai Kota dengan dibantu aparat yang sama muaknya. Setelah menerobos masuk, mereka pun menangkap Sang Wali Kota yang tengah bersembunyi di bawah ranjangnya. Ia diarak oleh seluruh manusia kalap menuju bagian tengah halaman Balai Kota, seraya disungkurkan ke jalanan yang terbuat dari paving blok.

”Bagaimana keputusan kalian semua? Apakah kita langsung menghukum manusia yang menyebabkan banyak kerusakan di kota ini? Jika saya menjadi kalian, tentu tak akan kupikir-pikir panjang untuk memberi balasan setimpal padanya,” pekik salah seorang pendemo secara berapi-api dan diikuti teriakan masyarakat lainnya. Kini posisinya terkepung di tengah mereka. Semakin terancam.

Kedua mata Wali Kota terus bergulir ke segala sudut, memandangi manusia yang mengerumuninya dengan wajah memerah serta alis menukik tajam. Mulutnya tak henti berkomat-kamit, gemetaran, hingga menutupnya dengan sepatah umpatan.

”Tahi!”

***

Eka Arief Setyawan, lahir di Surabaya, 19 Maret 1997, merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta jurusan Film dan Televisi. Menetap di Grogol Petamburan, Grogol, Jakarta Barat. Hobinya membuat cerita pendek, puisi, serta menggambar ilustrasi, yang sebagian dipostingmelalui akun Instagram @easetyawan.

***

(5)

Pertemuan dengan Bapak

-

Oleh: DIEN WIJAYATININGRUM, 13 Mei 2023

Bapakku adalah lelaki tabah yang terus memelihara kesepian di dalam dirinya selama bertahun-tahun, hingga maut memapahnya ke surga. Kesepian itu kerap mengamuk seperti ombak pasang yang berulah di lautan dan bisa meruntuhkan lelaki tua itu kapan saja.

Tapi Bapak bukan istana pasir yang mudah dilebur ombak, Ia adalah batu kokoh yang membiarkan tubuhnya dihantam pasang kesepian tanpa pernah ambruk. Alih-alih membiarkan amukan sepi membuat hidup Bapak lepas kendali dan putus asa, ia memilih untuk menyapih dan berkarib dengan kesepian itu.

Bapak sangat percaya, kesetiaan kepada janji pernikahan, akan mengantar jiwanya ke surga. Barangkali, hanya surga yang ia harapkan sebagai upah atas jerih payah meredam rindu dan patah hati juga menyapih sepi.

”Kesetiaan pada Tuhan akan membawa ruhmu ke surga. Kesetiaan mematuhi janji Tuhan dalam pernikahan pun sama, akan membawamu ke sana. Melanggar janji pernikahan adalah kemenangan Iblis, sebab ia telah berhasil membuat teman di neraka.”

Nasihat Bapak itu, terpatri di kepalaku.

***

Setelah Bapak wafat, kami sering bertemu dalam mimpi-mimpi yang aneh. Aku bisa melihat Bapak berjalan di tengah kebun albasiah yang sangat luas. Sempat aku bertanya-tanya, apakah kebun albasiah yang luas tempat aku dan Bapak bertemu adalah surga? Tetapi, semakin sering mimpi itu datang padaku, semakin aku tidak peduli apakah tempat itu surga atau bukan. Bisa melihat Bapak saja, aku sudah sangat bahagia.

Dalam mimpi itu, tubuh Bapak disinari cahaya kuning yang indah. Ada juga potongan-potongan sinar-sinar kecil beterbangan di atas rambut Bapak. Apabila aku perhatikan lebih saksama, mirip kepakan sayap puluhan peri-peri mungil yang mengitari kepalanya, bergerak melingkar-lingkar hingga atas, membentuk topi yang sering digunakan pemain tarian sufi.

Dalam mimpi yang lain, Bapak tengah khusyuk melihat gerimis yang jatuh seperti pecahan kristal bening menimpa rumput-rumput hijau. Pernah juga aku lihat Bapak tengah memainkan suling sambil menunggu langit padam di sore hari, sambil menyanyikan lagu-lagu Popi Mercuri.

Tidak sampai tiga meter jarak di antara tempat aku berdiri dan tempat Bapak memandangiku. Andai saja mampu, aku ingin merengkuhnya dan merasai kembali hangat degup jantung Bapak. Tapi udara seperti menjadi pembatas yang sangat keras. Aku tidak bisa menggerakkan kakiku barang selangkah, udara itu mengikat tubuhku dengan kuat.

Di setiap pertemuan kami, aku juga bisa merasakan cuaca aneh dan lembab bercampur harum parfum malaikat shubuh yang sering Bapak pakai. Apabila kuhirup dalam-dalam, wangi itu mampu masuk ke seluruh tubuh, membuatku seperti bisa menarik ruh Bapak ke dalam ruhku.

”Aku tidak membenci Ibumu, aku mencintainya dan dia akan bahagia. Kematianku akan menghilangkan rasa bersalahnya.” Begitulah perkataan Bapak, setiap kali kami bertemu.

”Cintailah Ibumu dengan tulus. Menemaniku telah membuatnya menderita. Jangan engkau ulang penderitannya.”

”Aku tidak membenci Ibu. Tapi untuk mencintainya seperti dulu lagi, aku tidak akan mampu,” jawabku

***

Hubunganku dengan Ibu, memang belum membaik semenjak ia memutuskan untuk bercerai dari Bapak. Bahkan kini, aku tidak mau menghubungi Ibu via Whatsapp, karena enggan melihat foto Ibu dengan suami barunya. Lelaki kurang ajar yang telah membuat Ayahku berkarib dengan sepi dan patah hati. Sesekali waktu di akhir pekan, aku memang masih mengunjungi Ibu, sekadar menunaikan janjiku kepada Bapak sebelum ia meninggal.

**

Bapak, lelaki berusia enam puluh tahun yang harus bertabah hati menerima kenyataan bahwa Istrinya tidak ingin bersama-sama lagi. Ibuku pada suatu malam mengajak Bapak berbicara di teras rumah dan meminta diceraikan sebab sudah tidak ada lagi cinta.

Bapak menerima permintaan perempuan yang dicintainya dengan tenang, tanpa pertengkaran. Keesokan harinya, aku menemukan Bapak di kamar sendirian mengemas barang-barang. Sementara Ibu telah pergi entah ke mana.

”Nabila, Bapak akan pulang ke Menes. Tinggal di rumah Almarhum Kakekmu. Kalau Nabila punya waktu jenguk Bapak, ya.”

Tidak ada rona sedih di wajah Bapak, ia merapikam baju sambil bersiul lagu Nike Ardila. Sementara aku sekuat tenaga menahan tangis disebabkan luka dan rasa benci pada Ibu.

”Nabila akan ambil cuti, antar Bapak.”

Aku menawarkan diri. Barangkali sepanjang jalan ke Menes, aku bisa menghibur Bapak dengan saling bercerita.

”Bapak ingin pergi sendiri. Biarkan bapak sendirian,” Bapak menjawab dengan mantap.

”Nabila tidak usah pikirkan urusan Bapak dan Ibu, semuanya akan baik-baik saja. Kami sudah berpisah, satu-satunya yang akan Bapak ingat dari pernikahan ini hanyalah kebahagiaan.”

Bapak membuka tangannya, meminta aku. Lalu kuterima pelukan Bapak dengan hangat.

”Hiduplah dengan bahagia, dengan bahagia saja, jangan pikirkan Bapak atau yang lain-lain. Berbahagia saja.”

Aku tidak menjawab, selain dengan tangisan.

Dua bulan setelah perceraian, aku dikabari kerabat di Kampung bahwa Bapak masuk rumah sakit sebab jatuh di jalan sepulang sholat Subuh. Orang-orang membawanya ke puskesmas, namun di tengah Jalan napas Bapak sudah habis.

Aku masih merasakan duka yang luar biasa atas kehilangan Bapak, saat Ibu meminta restu untuk menikah dengan kekasih masa remajanya. Jelas tidak ada alasan bagiku untuk tidak mengizinkan Ibu menikah kembali. Hanya saja aku meminta supaya Ibu dan suami barunya tidak usah tinggal di rumah kami dan ia menyanggupi.

***

Sekarang, aku kembali bermimpi bertemu Bapak. Hanya saja, mimpi ini terlihat lebih nyata sebab Bapak bisa mengelus rambutku. Aku pun bisa memegang tangan Bapak yang hangat dan merasakan suasana yang sangat damai.

Ajaib, udara tidak mengikat tubuhku lagi, aku bisa menggerakkan kaki dan mengibaskan kedua tanganku ke kanan dan ke kiri untuk memastikan ini bukan mimpi.

Aku lupa bagaimana bisa aku berada di sini bersama Bapak. Lalu aku mencoba mengingat kembali, apa yang sudah aku lakukan hingga aku bisa bertemu dengan Bapak.

Maka, pelan-pelan aku mengingat apa yang sudah kulalui.

Tadi pagi Ibu menelepon, ia mengatakan dirinya sakit dan memintaku untuk datang menjenguk. Aku ambil cuti dan pergi ke rumah Ibu tanpa terlebih dulu memastikan suami barunya ada atau tidak di rumah.

Sesampainya di sana, Ibu mengajakku makan nasi uduk di dapur. Ia terlihat sehat dan bugar, lipstiknya berwarna merah cerah, wangi parfumnya tercium dengan segar.

Ibu tidak sakit. Ia berbohong.

”Kalau Ibu tidak bohong, mana mau kamu datang,” begitu jawaban Ibu, ketika aku tanya mengapa ia membohongiku.

”Ada yang mau Ibu bilang dan kamu seharusnya udah tahu. Nabil, sebetulnya…Bapak itu bukan bapakmu.”

Lalu aku mendengar cerita Ibu yang hamil oleh kekasihnya saat kuliah. Lelaki itu kabur setelah mengetahui Ibu hamil. Lalu Bapak, sahabat baik Ibuku datang mengulurkan tangan sebagai malaikat penyelamat. Ia rela menikahi perempuan yang tengah hamil tiga bulan.

”Bapakmu orang baik dan sangat mencintai Ibu. Tapi Ibu tidak pernah mencintai Bapakmu. Ibu menghormati beliau, tapi di sisa hidupku aku ingin merasakan cinta yang sesungguhnya.”

”Nabil, sekarang bertemulah dengan Ayahmu yang sebenarnya.”

Aku melihat seorang lelaki seumur Bapakku turun dari tangga rumah. Lelaki yang aku temukan matanya adalah mataku dan dagunya adalah juga dagu milikku. Inilah jawaban mengapa tidak sedikit pun aku mirip dengan Bapak. Dadaku sesak, tenggorokanku panas. Laki-laki itu menatapku dan aku merasakan dorongan yang sangat kuat untuk menghantam tubuhnya.

Dengan gemetar aku bangun, segenap kekuatan aku siapkan, mulutku sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Air mata mulai menggenang dan kurasakan tanganku sangat dingin. Laki-laki itu maju pelan-pelan untuk merengkuhku, jantungku semakin berlari.

Kuambil dengan cepat pisau yang tersimpan di meja dan kutikamkan berkali-kali di tubuhnya.

Setelah itu, aku tidak merasakan apa-apa lagi. Selain mendengar jeritan Ibu dan merasakan sesuatu yang dingin di perutku.

”Kau memang setan!”

Itulah salamku yang pertama pada lelaki itu, sebelum semuanya menjadi gelap dan aneh.

Aku mengingat semuanya dan merasa bahagia sebab pisau itu telah mengantarku pada Bapak, pada surga orang-orang yang setia.

***

Dien Wijayatiningrum, lahir di Pandeglang, Banten, 31 Desember 1989. Alumnus Kajian Wilayah Jepang Universitas Indonesia. Saat ini bekerja di Mynavi Corporation Japan.

***

(6)

Setelah 69 Tahun Menunggu Godot

-

Oleh: JIMMY ANGGARA, 14 Mei 2023

Agus Tromol adalah lulusan sekolah teater dan bercita-cita ingin menjadi aktor terkenal Indonesia. Namun, dalam 10 tahun kariernya sebagai aktor, Agus Tromol selalu berperan sebagai pemain figuran. Dia pernah bermain dalam film berlatar zaman Kerajaan Majapahit, di mana sebagai anggota pasukan Bhre Wirabhumi, dalam Perang Paregreg, dia ditombak dua kali dan mati di tempat. Adegan itu memakan waktu tidak sampai 8 detik. Di film lain, yang berlatar zaman perang kemerdekaan, dia berperan sebagai tentara rakyat yang ditangkap Belanda, dimasukkan ke dalam penjara, lalu tidak muncul lagi selama sisa film.

Agus Tromol menyadari bahwa tampangnya tak tampan-tampan amat. Tak seperti Rano Karno atau Robby Sugara, misalnya. Namun, dia yakin, tampang tak selalu menjamin kesuksesan, terutama dalam film. Sebab, banyak aktor hebat yang tampangnya biasa-biasa saja bisa terkenal. Dia mengambil contoh, Jack Maland, yang hampir selalu bermain sebagai tokoh antagonis.

Temannya, Dedy Roban, berusaha menyadarkan Agus Tromol dari ambisinya yang terlalu tinggi. Dedy Roban mengatakan bahwa aktor-aktor zaman sekarang hampir tak pernah ada yang lulusan sekolah teater. Mereka diajak bermain film semata karena tampang mereka yang tampan dan cantik. Industri film lebih mementingkan tampilan luar dibandingkan dengan talenta.

”Sehebat apa pun aktingmu, kalau tampangmu mirip tapir, kamu tak akan berhasil,” kata Dedy Roban suatu kali. Bukan berarti tampang Agus Tromol mirip tapir, tetapi begitulah cara Dedy Roban menyadarkan Agus Tromol, yang sudah menjadi temannya sejak di sekolah teater. (Tak seperti Agus Tromol, setelah lulus kuliah Dedy Roban membuka warung soto ayam di dekat rumah mertuanya di Bekasi—anaknya sudah empat).

Agus Tromol sebenarnya memiliki tampang yang unik. Cocok untuk berperan sebagai tokoh antagonis. Misalnya, sebagai bos penjahat yang menculik putri satu-satunya dari pengusaha terigu asal Semarang. Begitulah yang dikatakan Dedy Roban kepadanya suatu kali. Tapi tawaran bermain film sebagai tokoh antagonis seperti di atas tak pernah datang mengetuk pintunya. Kenyataan ini selalu berhasil membuat semangatnya merosot, seperti celana yang kebesaran.

Agus Tromol sempat beberapa kali mengutarakan niatnya untuk mengundurkan diri dari dunia film, dan banting setir membuka usaha sablon. Ayahnya sudah bersedia meminjamkannya modal. Tapi Agus Tromol tak pernah berhasil membujuk dirinya untuk meninggalkan dunia akting. Dia yakin bahwa dirinya memiliki talenta. Dan ingin agar seluruh dunia melihat dan menyaksikan bagaimana talenta bekerja.

Selama kuliah, dia pernah memainkan bermacam naskah. Dari naskah Anton Chekhov (misalnya monolog Racun Tembakau) hingga naskah yang lebih modern, misalnya yang berjudul Biduanita Botak karya Eugene Ionesco. Jadi, sejak kuliah, dia memang sudah disiapkan untuk bermain dengan beragam karakter. Dan, setelah mengalami perenungan yang lama dan mendalam, Agus Tromol yakin, peran yang cocok untuknya adalah sebagai tokoh antagonis, bukan yang lain. Sebab, setiap kali menatap wajahnya di cermin, dia selalu melihat air muka seorang penjahat yang kejam dan tak berperikemanusiaan.

Setelah film terakhirnya selesai (di mana dia berperan sebagai tukang ojek yang dipukuli preman pasar karena menggoda seorang tukang sayur), Agus Tromol mulai rajin menghubungi teman-temannya, menanyakan apakah di rumah produksi mereka ada lowongan untuk menjadi aktor antagonis. Tak satu pun yang membalas pesannya.

***

Agus Tromol tinggal di sebuah kamar indekos di daerah pinggiran Jakarta Pusat. Kamarnya hanya berisi satu meja, satu lemari pakaian, satu lampu belajar, satu kursi, satu cermin, dan satu tempat tidur. Hari Minggu itu, Agus Tromol duduk di meja dan secara iseng membuka lacinya lalu mengambil beberapa kliping naskah yang pernah dia mainkan saat kuliah dulu. Secara acak, tangannya menarik naskah monolog Racun Tembakau.

Membaca kalimat pertama naskah itu, semangatnya segera muncul, dan dia pun berdiri di depan cermin dan mulai berakting. Pada kalimat kedua semangatnya luntur, seperti warna celana jins murahan. Dia duduk kembali, memasukkan naskah itu ke dalam laci, mengambil sebatang rokok dari atas meja, lalu menyalakannya. Selama beberapa waktu dia duduk merokok dan berpikir-pikir.

Tapi, karena Agus Tromol bukan seorang genius, pikirannya tak sampai ke mana pun. Tiba-tiba Agus Tromol merasa hampa. Apa yang harus kulakukan? Apakah hidupku akan begini terus? Selalu menjadi pemain figuran dengan bayaran pas-pasan? Kapan hidupku bakal berubah? Apakah aku harus meninggalkan dunia akting dan terjun ke bisnis sablon saja?

Berpikir membuat perutnya lapar. Agus Tromol bergerak ke dapur (di rumah indekos itu ada dapur umum yang bisa digunakan bersama-sama) dan memasak sebutir telur. Dengan satu telur goreng dan sedikit nasi, Agus Tromol mengisi perutnya.

Saat sedang duduk sambil merokok selesai makan itulah, sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Agus Tromol terkejut. Dia tak mengenal nomor itu. Dengan penasaran dia mengangkatnya. Di seberang muncul suara seseorang yang mengaku dari sebuah bank, mengatakan bahwa Agus Tromol mendapatkan undian berhadiah. Agus Tromol memang bukan genius, tapi dia tahu bahwa yang menelepon itu jelas penipu. ”Namaku Bento. Rumah real estat. Mobilku banyak, harta berlimpah. Orang memanggilku bos eksekutif, tokoh papan atas, atas segalanya, asyik!” Setelah menyanyikan potongan lirik lagu ”Bento”, Agus Tromol langsung mematikan ponselnya. Sisa hari Minggu itu dia habiskan dengan tidur panjang, melewatkan makan siang dan baru terbangun saat jam makan malam.

***

Empat hari kemudian, saat Agus Tromol sedang duduk dan merokok sehabis makan siang, datang panggilan telepon dari teman perempuannya, Nina Arsad. Nina Arsad adalah teman kuliah satu angkatan, sekarang bekerja di sebuah rumah produksi. Nina Arsad menawari Agus Tromol untuk berperan dalam sebuah FTV. Kisahnya tentang seorang suami yang istrinya berselingkuh dengan bos pabrik peniti. Agus Tromol akan berperan sebagai bos pabrik peniti. Peran antagonis. Agus Tromol senang bukan kepalang. ”Mau!” katanya, tanpa sadar berteriak di ponsel. Agus Tromol diminta untuk datang ke rumah produksi keesokan harinya.

Saat melihat tampilan Agus Tromol yang lusuh dan berambut panjang hingga sepinggang, sutradara meminta Agus Tromol untuk memotong pendek rambutnya. ”Tak pernah ada bos di mana pun yang rambutnya seperti perempuan,” kata sutradara.

Agus Tromol menjadi masygul. Rambut panjangnya adalah salah satu dari sedikit kebanggaan yang ada pada dirinya. Dia sudah hidup cukup lama bersama rambut panjangnya yang sepinggang itu, dalam keadaan suka dan duka, sehingga berpisah darinya, baginya seperti berpisah dari kekasih tersayang. Di saat yang sama, tawaran untuk bermain di FTV ini merupakan kesempatan yang tak ingin dia lewatkan. Akhirnya Agus Tromol berkata kepada sutradara bahwa dia mau berpikir-pikir dahulu. Dengan menghela napas panjang, sutradara mengizinkan. Agus Tromol diberi waktu tiga hari untuk membuat keputusan.

Di kamarnya, Agus Tromol berdiri di depan cermin, memandangi rambutnya yang sepinggang. Dia sudah hidup bersama rambut panjangnya itu selama bertahun-tahun dan sekarang sutradara ingin supaya rambut kesayangannya itu dipotong. Dia harus mengambil keputusan yang berat. Tapi, setelah mempertimbangkan masak-masak, Agus Tromol akhirnya memutuskan untuk mengikuti permintaan sutradara. Bagaimanapun, kesempatan langka tidak boleh dilewatkan. Sementara rambut bisa kembali memanjang.

Di hari ketiga, Agus Tromol pergi ke salon pangkas rambut dan meminta tukang cukur untuk membabat habis rambutnya. Agus Tromol memandang sedih potongan-potongan rambutnya yang berserakan di lantai. Pada saat yang sama, rasa gembira meletup juga di hatinya. Dia akan bermain di FTV sebagai pemeran antagonis!

Keesokan harinya, dengan rambut pendek, dan hati berbunga-bunga, Agus Tromol datang ke rumah produksi untuk menemui sutradara. Dia sudah siap untuk memberikan akting terbaiknya.

Tapi, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak: Nina Arsad menjelaskan bahwa sutradara mengalami kecelakaan di jalan tol. Dia menyetir dalam keadaan mabuk. Mobilnya ditabrak truk pasir hingga penyok. Sutradara langsung dilarikan ke rumah sakit. Lalu, yang paling menyedihkan Agus Tromol adalah FTV yang akan dibintanginya itu diundur jadwal shooting-nya hingga waktu yang tak dapat ditentukan. Bahkan, ada kemungkinan FTV tersebut batal diproduksi. Pengorbanan rambut panjang sia-sia sudah! Ada campuran rasa sedih dan marah dalam hati Agus Tromol. Jika tahu akan begini, tentu dia tak akan mau memangkas rambutnya.

Agus Tromol meminta Nina Arsad untuk mengantarkannya ke rumah sakit.

Setiba di rumah sakit, Agus Tromol dan Nina Arsad masuk ke ruangan tempat sutradara dirawat. Sutradara terbaring di ranjang dengan seluruh tubuh dibalut gips—kecuali mata, lubang hidung, dan mulut. Kaki kirinya terangkat ke atas membentuk sudut 45 derajat dengan ditopang oleh semacam tali.

”Sutradara mabuk, ya?” kata Agus Tromol sambil memencet-mencet kaki yang dibalut gips dan terangkat 45 derajat. Sutradara terdengar mengerang.

”Mabuk-mabukan, ya?” kata Agus Tromol sambil memencet-mencet lagi dengan lebih keras. Sutradara mengerang. ”Itu kaki yang patah!”

”Oh, ini kaki yang patah?” Agus Tromol memencet-mencet lagi kaki yang patah itu. Lalu, ditepuk-tepuknya seperti menepuk kasur dengan sapu. Sutradara mengerang, ”Aaarghhh….”

Dari suaranya, bisa dibayangkan kesakitan luar biasa yang dialami sutradara. Tapi itu belum seberapa. Agus Tromol masih belum puas. ”Suster! Dokter! Ada orang gila! Tolooong!” Sutradara berteriak.

Nina Arsad berkata, ”Gus, ayo kita pergi sebelum ditangkap!” Tindakan terakhir Agus Tromol adalah berkata, ”Ini untuk rambut kesayanganku!”, lalu memukul kaki kiri sutradara dengan keras sekali hingga tali penopangnya putus. Erangan keras yang memilukan dari tenggorokan sutradara membuat Agus Tromol tergelak puas. Dia berlari ke luar rumah sakit sambil tertawa-tawa. (*)

***

Jimmy Anggara bekerja sebagai penerjemah lepas. Tinggal di Jakarta. Cerpen-cerpennya pernah dimuat di Kompas, Media Indonesia, Detik.com, dan di majalah sastra dan gaya hidup Majas.

Diyanto, pelukis, penata artistik teater, tinggal di Bandung.

***

 (7)

Kardus Kosong

-

Oleh:  RICARDO MARBUN, 18 Mei 2023

Tary berdiri menempel pintu, sedang Jojo beberapa langkah di depan. Jojo berdiri hampir mencapai tanah halaman rumah. Jojo semringah menyaksikan Dody sahabatnya akhirnya mudik ke rumah neneknya di Semarang. Mereka berangkat dengan travel dan sudah berhenti di depan rumah. Ibu Dody sibuk mendorong beberapa barang. Ayah Dody juga begitu. Di punggung ayah Dody ada ransel hitam ukuran besar. Dody sendiri kepayahan mengangkat dua kardus ukuran besar. Beruntung kernet travel membantunya. Jojo senyum penuh arti menyaksikan semua itu. Sebelum masuk ke mobil, Dody melambaikan tangan ke arah Jojo. Penuh degup Jojo membalas lambaian tangan sahabatnya itu. Di belakang Jojo, Tary ikut melambaikan tangan dengan senyum lebar.

Jojo menoleh pada Tary setelah mobil yang membawa keluarga Dody meluncur lalu hilang di belokan. Tary membalas tolehan Jojo dan berusaha menahan debar di dadanya sendiri.

”Kita juga mudik ke rumah Nenek kan, Bu?” tanya Jojo semangat.

”Insya Allah, Jo. Semoga Ayah mendapatkan rezeki, ya,” jawab Tary penuh kasih.

”Horee!” Jojo loncat kegirangan. Setelahnya Jojo masuk ke rumah begitu saja melewati ibunya. Sang ibu menepi sembari terus mengikuti gerak anaknya. Jojo berhenti di sudut ruang. Jojo berdiri di depan beberapa kardus yang sudah terikat rapi.

Sepelan mungkin Tary membalikkan lagi tubuhnya ke arah luar. Tary tahu Jojo sudah lama mempersiapkan kardus-kardus itu. Tary sendiri tidak tahu Jojo dapat dari siapa kardus itu. Jojo bahkan sudah mengikat kardus itu dengan rafia. Tujuan Jojo, sewaktu-waktu mereka mudik, kardus itu tinggal diangkat. Ada saja tingkah Jojo dengan kardus-kardus itu. Suatu kali Jojo mengangkat kardus itu penuh susah payah. Tary mengawasi dari sisi pintu dapur. Tary mengulum senyum. Tingkah Jojo justru mengubah perasaan hatinya menjadi kecut. Jelas-jelas kardus itu kosong tak berisi. Gaya Jojo seakan kardus itu berat penuh oleh-oleh. Belum lagi, Jojo meletukkan suara-suara, seakan-akan mereka sudah berada di bus menuju penyeberangan Merak-Bakauheni. Kampung ibu mertuanya berada di Tanjung Karang. Jojo mengangkat kardus itu dengan kedua tangannya. Jojo bergerak kepayahan menuju pintu rumah. Rupanya tindakan Jojo mendapat perhatian dari Nek Romlah tetangga depan rumah yang sedang neduh di bawah pohon cerry.

”Jo, kamu bawa apa?” tanya Nek Romlah keheranan.

”Oleh-oleh untuk Nenek di Tanjung Karang, Nek,” jawab Jojo semangat.

”Wah! Berat betul oleh-olehnya, Jo. Nenek Jojo di kampung pasti senang menerima oleh-oleh dari kamu. Kapan kalian berangkat, Jo?” sambung Nek Romlah semringah.

”Belum tahu sih, Nek. Sementara Jojo latihan angkat kardus-kardus ini. Jadi, pas berangkat nanti Jojo sudah biasa,” ujar Jojo melebarkan senyum.

”Pinter kamu, Jo.” Nek Romlah terkekeh di bawah pohon cerry. Tary menguping dengan perasaan campur aduk.

Tary terharu dengan sikap polos putranya. Tary menggigit bibir resah. Tary teringat suaminya. Semoga Mas Upay berhasil mengumpulkan ongkos buat mereka pulang ke Tanjung Karang.

Upay mengusap peluhnya. Cuaca akhir-akhir ini sama mengerikan dengan nasib yang ia jalani belakangan ini. Upay di-PHK setahun lalu. Mencari pekerjaan di masa sulit ini sesulit mencari jarum dalam jerami. Berpangku tangan artinya Tary istrinya dan Jojo putranya siap untuk kelaparan. Upay tidak ingin menjadi suami dan ayah durhaka bagi keluarga kecilnya. Karena itu, Upay siap bekerja apa saja. Bersyukur Upay masih memiliki motor lumayan baru sebagai syarat menjadi pengojek online. Itulah mata pencarian Upay saat ini.

Waktu begitu cepat berjalan. Sebentar lagi Ramadhan habis ditelan Syawal, sedang Upay belum memiliki cukup uang untuk mudik ke rumah Emak. Jangankan oleh-oleh untuk Emak, ongkos ke Tanjung Karang saja Upay belum berhasil mengumpulkan. Sudah tiga tahun mereka tidak mudik. Kondisi sekarang berangsur normal, besar hati Upay ingin menengok Emak di kampung. Apa daya, rezeki belakangan ini benar-benar seret. Bisa membayar kontrakan dan cukup makan sehari-hari saja sangat alhamdulillah.

***

Upay mengusap peluhnya. Cuaca akhir-akhir ini sama mengerikan dengan nasib yang ia jalani belakangan ini. Upay di-PHK setahun lalu. Mencari pekerjaan di masa sulit ini sesulit mencari jarum dalam jerami.

Garis-garis serabut halus berwarna merah muncul di mata Upay. Setiap teringat kondisinya dan bayangan Emak, Upay tak kuasa ingin menangis. Rindu membuncah di lubuk hatinya. Rindu ingin bertemu Emak juga sanak saudara. Rindu melihat kampung tempat masa kecilnya. Rindu melihat kebun juga sawah. Rindu mendengar kicauan burung di pagi hari. Rindu semuanya. Apa daya Upay belum mampu mengumpulkan uang.

Upay tergugah oleh keributan di depannya. Zainal berhenti tidak jauh dari pos tempat dirinya beradem. Zainal membawa sewa seorang Ibu berumur. Zainal sepertinya sudah habis sabar. Upay tergerak mencari tahu akar masalahnya. Zainal menjabarkan singkat. Zainal sudah berkeliling mencari alamat tujuan ibu itu, tapi sia-sia. Ibu itu terlihat bingung.

Upay jatuh iba dengan kondisi ibu tua itu. Zainal masih saja mengomel tak henti. Zainal lebih memikirkan biaya yang sudah ia keluarkan saat membawa ibu ini berkeliling mencari alamat tujuan. Ibu tua itu menunduk ketakutan. Upay kian terenyuh. Upay teringat Emak di kampung. Membuang segala pikiran tak perlu, Upay berdiskusi sebentar dengan Zainal. Upay ingin membantu teman sesama pengojek online itu. Tak pikir panjang Zainal menerima tawaran Upay. Zainal malas berbelit, Upay mau mengambil alih ibu tua menyusahkan ini adalah satu keberuntungan buat dirinya. Apalagi, Upay mengganti biaya yang telah dikeluarkan dirinya selama membawa keliling nenek tua ini. Upay mengambil alih ibu tua itu. Sesaat Upay lupa kondisi dirinya. Tak banyak omong, Zainal tancap gas meninggalkan mereka. Selamat mengurus ibu tua itu, Upay! Batin Zainal memacu motor bebeknya meninggalkan asap knalpot ke arah Upay dan ibu tua itu.

”Betul, ibu benar-benar tidak ingat mau ke mana?” tanya Upay sabar.

Ibu tua itu menggeleng. Air mukanya tidak sesuram tadi. Namun, pancaran itu terlukis kebingungan. Upay terdiam sejenak. Memikirkan yang terbaik untuk ibu ini. Beruntung Upay masih berpikir rasional. Dengan sabar Upay meminta Ibu itu naik di belakang motornya. Upay ingin membawa ibu ini ke polsek terdekat. Menurut Upay itu adalah jalan teraman.

Wajah Tary terlukis seketika. Lebih setengah hari Upay mencari makan, isi dompetnya belum mencukupi. Sekarang dia membuang waktu menolong ibu tua yang tidak jelas asal muasalnya. Sesal hampir saja mengurungkan niat hatinya. Terlambat! Ibu tua itu sudah duduk di belakang dirinya. Membawa ibu tua ini ke polsek terdekat bukan solusi terbaik. Bukan sekali dua kali, teman sesama pengojek justru menerima tolakan dari polsek. Meminta untuk membawa kembali penumpang tanda tujuan. Menyusahkan! Kira-kira begitu celetukan pak polisi yang bertugas. Upay membesarkan hati. Upay yakin tidak semua polisi skeptis seperti itu. Upay ingin menolong ibu tua ini. Upay anggap sebuah kebaikan tepat di bulan suci Ramadhan.

”Ibu! Mungkin Ibu sudah mengingat alamat tempat tinggal Ibu?” ulang Upay.

Ibu tua bergeming. Upay tak berdaya. Upay tidak ingin menekan ibu tua itu lagi.

Jalan rezeki tak seorang pun mampu menduga. Upay membawa ke polsek terdekat. Upay hanya ingin ibu ini ditolong oleh polisi. Bisa jadi akan banyak menertawakan kenaifan dirinya. Berharap pertolongan dari polisi yang belakangan penuh karut-marut. Sepanjang jalan pikiran itu terus menghantui. Upay tidak peduli. Niatnya baik. Semoga para polisi mau membantu ibu tua ini. Siapa sangka keluarga ibu tua ini sudah lebih dulu ada di polsek.

”Alhamdulillah ya, Allah!”

Seorang pria seumuran Upay berlari memeluk ibu tua itu.

”Ibu.” Perempuan cantik berhijab ikut menyentuh bahu ibu tua itu.

”Saya tidak jadi melapor, Pak. Ibu saya datang sendiri ke kantor Bapak. Biasanya ibu saya jalan pagi di kompleks. Sekian jam tidak kembali. Perasaan saya tidak enak. Benar ternyata, Ibu lupa jalan pulang. Ibu saya belakangan mulai pikun. Saya izin membawa ibu saya pulang, Pak?” ujar pria itu pada petugas yang mengawasi pertemuan itu.

”Baik, Pak.” Petugas itu seketika berdiri.

Pertemuan haru itu kian membuat hati Upay rindu pada Emak. Keinginan hatinya untuk mudik kian memuncak. Cukup tidak cukup uang yang mereka miliki, Upay tetap memutuskan mudik untuk bersilaturahmi dengan Emak serta seluruh saudara di kampung.

Upay menangis di sela bahu Emak. Sesuai kebiasaan, Emak ikut menunggu di bibir simpang jalan masuk ke kampungnya. Sesuai penjelasan Upay, Emak menunggu tidak terlalu lama. Emak mengusap punggung putranya penuh kasih. Emak melepas Upay. Lalu memeluk menantunya dengan rindu. Dari Tary, Emak memeluk Jojo. Rindunya pada cucu semata wayang ini. Selesai melepas rindu, Emak menghalau mereka menuju rumah yang hanya beberapa ratus meter. Emak kegirangan ikut membantu mengangkat kardus bertali rafia. Upay terlambat mencegah. Emak nyaris terjungkal. Beruntung Emak segera menguasai diri. Keheranan menghinggapi pikirannya. Setelahnya, Emak meneruskan langkah dengan bahagia. Upay merasa tak enak hati. Emak pasti keheranan.

”Maafkan Upay, Mak. Upay belum bisa membanggakan Emak. Ekonomi Upay sulit belakangan ini. Maafkan juga kardus-kardus itu. Semua itu keinginan Jojo. Untuk nenek, katanya. Maafkan kami, Mak?” Upay menunduk sembari memijit kaki Emak di tengah suara takbir, tahlil, dan tahmid menggema. Ramadhan besok berganti Syawal.

”Tidak perlu memaksakan diri pulang, Upay,” jawab Emak halus.

”Tapi, Upay rindu ingin bertemu Emak,” balas Upay dalam.

Emak berdiri menuju jendela kayu. Menikmati semarak langit penuh kembang api kemenangan. Upay ikut berdiri dan berdiri di sisi Emak. Sejenak mereka menikmati langit yang sedang bahagia. Kembang api memecah di seluruh bagian langit.

”Emak tidak membutuhkan oleh-oleh, Upay. Oleh-oleh rindu dari anak, menantu, dan cucu, itulah oleh-oleh terbesar untuk Emak. Kalian mudik saja sudah membuat Emak bahagia,” Emak menatap Upay berkaca-kaca. Upay mengangguk penuh haru.

Sanak saudara berkumpul di rumah panggung Emak. Berkumpul memeriahkan kemenangan. Jojo duduk di antara ayah dan ibunya. Nenek terlihat membagi-bagi kardus untuk dibuka. Mata Jojo penuh heran, kardus-kardus itu ada isinya. Nenek melihatnya penuh arti. Sanak saudara bahagia membuka kardus-kardus yang kata nenek dari Jojo.

”Ayah! Kardus-kardus itu siapa yang mengisi?” bisik Jojo takjub. Emak mendengar bisikan cucunya itu. Upay beberapa saat bingung memberi jawaban.

”Malaikat yang mengisi, Jo. Malaikat,” jawab Upay bijak. Kemudian pecah tawa antara ayah dan anak itu. Emak tersenyum ke arah Tary. Upay bahagia terselimut haru.

***

Ricardo Marbun, seseorang yang bersahaja. Suka membaca apa saja. Masih proses belajar menulis secara otodidak. Berharap proses menulis semakin baik. Tinggal di Surabaya.

***

(8)

Dugaan Terakhir

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/uiS_Phzzg161o34vaJ3nomKriAo=/1024x1406/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F20%2F65084251-0771-468e-83a2-52cf95d873e6_jpg.jpg

Oleh: WAWAN KURNIAWAN, 20 Mei 2023

Di lokasi kejadian, tergeletak di lantai sisa tali sepanjang satu meter yang digunakan W untuk menggantung dirinya beberapa waktu lalu. W mengembuskan napas terakhirnya, tepat seminggu sebelum tunggakan utang di sebuah bank harus segera dia lunasi. Tubuhnya telah kaku dan mulai mengeluarkan aroma tajam, di beberapa bagian mulai membengkak, tetapi tidak ada seorang pun yang sadar akan kematian W.

Hidup W saban hari hancur sejak dua tahun lalu. Dimulai setelah anak dan istrinya pergi meninggalkan W seorang diri. Alasannya cukup pelik, W yang tidak punya pemasukan lagi dari bisnis kuliner yang sempat ramai beberapa tahun lalu. Bisnisnya sempat ramai dan membuat hidupnya terbilang sejahtera. Namun, sejak pandemi, bisnisnya tidak lagi memberi hasil yang sesuai harapan hingga memaksa W untuk gulung tikar.

Karyawannya sudah tidak bisa digaji penuh, biaya operasional semakin meningkat, dan penjualan semakin lesu. Perlahan tetapi pasti, usahanya kian mengkhawatirkan. W mencoba meminjam uang di sebuah bank swasta, seperti saat pertama kali dia mengembangkan bisnis kulinernya sebelum menikah. Dia menduga, pilihan ini akan menyelamatkannya dari krisis. Sayangnya, upaya itu tidak membuahkan hasil sama sekali.

Anak semata wayangnya yang hendak masuk sekolah ditambah kebutuhan sehari-hari membuat uang itu habis tanpa ada perencanaan yang jelas. Kondisi semakin parah saat W mengetahui jika L, mantan kekasih istrinya, mulai menjalin hubungan gelap. Istri W mencoba untuk tetap setia menemani suaminya yang diambang sengsara, tetapi dia juga tidak bisa menolak hasratnya untuk bercerita dan bertukar pikiran dengan L.

Terlebih sejak istri L meninggal akibat Covid-19, hubungan mereka kembali terjalin. W sendirilah yang membuat hubungan itu kembali, lantaran W meminta istrinya untuk mengirimkan ucapan duka kepada L, yang sebenarnya adalah sahabat dekatnya sejak kuliah. W paham jika istrinya bisa memberi pengaruh yang baik untuk membuat L merasa lebih baik setelah terpukul kehilangan istrinya. W tidak pernah menduga, jika rasa yang dulu pernah terjalin di antara istrinya dan L bisa kembali mencuat dengan mudah.

Berbeda dengan W, L bekerja di pemerintahan sekaligus anggota partai yang punya simpatisan loyal. Saat mengetahui kabar keluarga W yang ada di ujung tanduk, L mengajak istri W bertemu di sebuah pusat perbelanjaan dan berbincang cukup lama di sebuah restoran. Mudah bagi istri W untuk berbincang lepas dengan orang yang pernah dia cintai. Tak lama sejak pertemuan pertama waktu itu, pertemuan demi pertemuan pun terjadi dan tanpa sepengetahuan W sama sekali.

Semua itu terungkap kala W dan istrinya bertengkar hebat perkara utang yang kian menumpuk dan sulit untuk dilunasi. Emosi W pun lebih mudah marah dan sensitif. Dulu, anaknya tidak pernah dia bentak sama sekali, tetapi kini intonasi suara W mulai berubah, sesekali bahkan membentak. Begitu juga saat W menghadapi istrinya yang tiap hari mulai merasa cemas dengan kondisi keuangan keluarga.

”Aku ingin hidup dengan L saja!” saat mendengar istrinya mengatakan itu, pikiran W mencoba menerka, apa maksud pernyataan istrinya. Hingga tak lama kemudian, istrinya sendiri yang menjelaskan kedekatannya bersama L. Tanpa perlu banyak penjelasan, L paham dengan situasinya, situasi istri, anak, dan keluarganya.

***

”Mohon maaf pak, tagihannya diharapkan lunas bulan ini kalau tidak, rumah bapak yang jadi jaminan akan disita pihak bank!” di kepala W, suara pegawai bank itu terus terdengar. Setelah berusaha meminjam uang di orang terdekatnya, dia tidak mendapatkan pinjaman sama sekali. L sempat terlintas di kepalanya, tetapi dia tidak ingin mencoreng harga dirinya, terlebih saat tahu jika L benar-benar mampu membahagiakan istrinya jauh lebih baik dibandingkan dirinya yang dulu. Rasa cemburu, iri, dan amarah bercampur tanpa tahu harus diungkapkan seperti apa.

Tiap kali mengingat cerita istrinya tentang L dan kehidupan yang menjanjikan, W tertawa seorang diri.

”Hanya orang bodoh yang percaya politikus seperti L!”

”Bajingan keparat itu tidak pernah berubah, dia licik!”

W menduga, jika semua yang dilakukan L kepada istrinya hanyalah omong kosong belaka. Tapi dugaan itu salah, L memperlakukan istri W dengan jauh lebih baik dari apa yang diterima dari W. Begitu juga dengan anak W, kasih sayang berlimpah dari L membuatnya seakan lupa jika dirinya punya bapak kandung di tempat lain.

Saat hari kematian W tiba di pengujung bulan Juli, dia tiba-tiba terkenang dengan sebuah masa yang indah. Saat sehari sebelum mereka memutuskan untuk menikah, W merasa sangat bersemangat mendengar teriakan istrinya kala ia mendukung W saat lomba tarik tambang di lapangan. Alhasil, W menang dan terus mengingat kejadian itu dengan menyimpan tali yang pada akhirnya dia gunakan untuk menghabisi nyawanya sendiri.

***

Dua minggu berlalu, mayat W masih tergantung, warnanya mulai keunguan dan aroma tak sedap semakin terkuak. Sementara di luar rumah, para tetangga mengibarkan bendera Merah Putih, banyak penjual bendera di tepi jalan, anak-anak sekolah bersiap mengikuti lomba gerak jalan, persiapan lomba dan upacara di lapangan pun sudah disiapkan, dan suasana menyambut kemerdekaan kian terasa lebih meriah, terlebih ini jadi perayaan pertama selepas pandemi.

Di lantai rumah W, debu kian menebal, bahkan menyelimuti tali bersejarah milik W. Dan pada mayat W yang kaku dan bengkak, kerumunan lalat seolah ikut merayakan kemerdekaan. Lima menit sebelum W gantung diri kala itu, dia menduga pilihan inilah yang akan membuatnya merdeka dari penderitaan. Dugaan terakhirnya itu, tidak perlu kita hiraukan.

***

Wawan Kurniawan, menulis puisi, cerpen, esai dan menerjemahkan beberapa karya. Beberapa karyanya, Kumpulan Puisi: Persinggahan Perangai Sepi (2013), Sajak Penghuni Surga (2017), Museum Kehilangan (2021). Kumpulan cerita pendek pertamanya terbit Maret 2021 dengan judul Aku Mengeong oleh Penerbit Indonesia Tera.

***

(9)

Elliza Mengaku Kawin dengan Telepon Selulernya

-

Oleh: ZAENAL RADAR T, 21 Mei 2023

“Sah…?”

“SAAAAH!!!”

Pertanyaan Pak Penghulu itu dijawab dengan sigap dan serempak oleh para saksi. Lalu saksi dan hadirin mengucap syukur. Setelah itu penghulu kampung membaca doa. Semua yang hadir mendengarkan dengan khusuk dan mengaminkan, termasuk segelintir tamu undangan lain yang hadir baik secara off-line maupun virtual, karena acara ini digelar live melalui medsos mempelai perempuan. Elliza, perempuan cantik itu, telah resmi dan sah bersuamikan telepon selulernya.

Para tamu undangan yang hadir langsung memberikan selamat kepada kedua mempelai, terutama kepada mempelai perempuan. Adapun mempelai lelaki, si telepon seluler itu, banyak mendapatkan ucapan dari para netizen. Baik ucapan suka cita maupun pujian dan bahkan makian. Tidak sedikit netizen mencemooh dan menghujat. Tapi kata si mempelai perempuan, “Apa peduliku sama kaum netizen? Mereka enggak berhak ngatur hidupku. Cuekin aja!”

Demikianlah cerita Elliza kepada saya. Saya sendiri belum begitu percaya. Sebab saya masih belum menemukan jawaban, apakah telepon seluler memiliki jenis kelamin? Kalau ada telepon seluler laki-laki, tentu ada pula perempuan, atau mungkin banci? Saya kemudian kembali mendengarkan cerita Elliza, yang tak lain sahabat saya ini.

Setelah itu, lanjut Elliza, dia yang sudah resmi menjadi sepasang pengantin baru berpredikat suami-istri menempati sebuah rumah baru di kompleks perumahan elite. Sengaja rumah lama di dalam gang dia tinggalkan, berikut sejumlah tetangga yang dianggap selalu nyinyir terhadapnya, bikin Elliza overthinking.

Di tempatnya yang sekarang, dia katakan, berharap mendapat suasana baru, jauh dari ibu-ibu tetangganya dulu yang selalu hectic dengan urusan orang lain. Elliza merasa tentram setentram-tentramnya, walau baru beberapa hari tinggal di sana, bersama pasangan hidupnya, si telepon selular.

Makhluk yang dia katakan tidak pernah neko-neko, tidak pernah protes, tidak pernah ngambek, dan selalu setia bersama menemani hari-harinya, yeah si telepon selulernya itu. Kalau soal netizen yang kerap memberi komentar negatif kepada pasangan baru ini, Elliza cukup me-nonaktifkan kolom komentar telepon selulernya, eh suaminya. Beres!

***

Dua tahun lalu, sebelum dia memutuskan mengaku kawin dengan telepon selulernya, Elliza pernah dekat dengan seorang lelaki. Bahkan kedekatannya dengan kekasihnya itu sudah sangat serius, sepakat akan melangkah ke jenjang pernikahan. Tetapi entah kenapa, si lelaki membatalkannya begitu saja tanpa alasan yang jelas. Sampai saat ini Elliza tidak pernah tahu alasan si lelaki membatalkan perkawinan mereka, meskipun undangan sudah disebar, hotel tempat melangsungkan resepsi sudah di-booking, dan katering sudah lunar dibayar.

Saya masih ingat, selepas kejadian itu, sepanjang siang dan malam selama hampir seminggu Elliza mengurung diri di kamar. Elliza tidak mau menemui siapa pun, termasuk saya yang kerap mondar-mandir di depan rumahnya, khawatir dia bunuh diri. Setelah masa cuti kantor berakhir, Elliza kembali bekerja seperti biasa. Hanya saja, kepribadiannya menjadi berubah seratus delapan puluh derajat. Dia sudah tidak lagi seceria sebelumnya. Elliza berubah menjadi sosok pendiam dan tertutup. Bahkan hilang dari pergaulan dengan karyawan lain.

Hanya kepada saya Elliza bersedia mencurahkan perasaanya. Boleh dibilang, sayalah lelaki satu-satunya sahabat perempuan itu. Banyak orang menduga, saya kekasihnya. Padahal saya hanya berteman biasa. Saya dan Elliza sudah bersahabat sejak kecil. Satu kelas sejak sekolah dasar, bahkan satu sekolah di jenjang berikutnya. Setelah lulus perguruan tinggi, takdir mempertemukan kami di tempat kerja yang sama.

Jujur saja, saya mencintainya sejak baru mengenal arti jatuh cinta. Perasaan itu tidak pernah saya utarakan sampai detik ini. Sebab Elliza sudah lebih dulu berucap, dia sudah menganggap saya sebagai saudaranya. Sudah beberapa kali lelaki menjadi kekasihnya, putus-nyambung, nyambung putus lagi, bahkan yang terakhir ingin serius menikah dengannya. Disela-sela setiap hubungan asmaranya, saya berada di tengah-tengahnya. Saya menjadi sapu tangan di saat dia menangis, menjadi ember saat air matanya tumpah, menjadi sandaran saat dia terluka.

Elliza sudah tidak lagi punya keluarga sejak kecil, ayah dan ibunya tewas dalam sebuah kecelakaan kereta api. Dia hidup dan dibesarkan di sebuah panti asuhan, sampai akhirnya berhasil keluar setelah mendapat pekerjaan. Elliza pun telah menganggap keluarga besar saya sebagai keluarganya.

Ada perasaan sakit bercampur senang saat mendengar Elliza mengutarakan kepada saya dia akan melepas masa lajang. Namun kala itu saya berharap semua berjalan dengan baik. Elliza hidup bersama lelaki lain yang dia cintai, saya cukup menjadi sahabat selama-lamanya. Dia katakan, dia tidak akan bisa jauh dari saya meskipun telah menjadi milik orang lain. Waktu itu saya menyetujuinya, memakluminya, asalkan dia bahagia.

Yang membuat saya heran waktu itu, Elliza melarang saya mengundang keluarga saya di resepsi perkawinannya. Hanya saya yang boleh hadir. Dia bilang tidak mau mengundang banyak orang. Tempat resepsi sengaja digelar di pelosok. Bukan di vila atau motel. Tidak apa-apa di dusun terpencil, yang penting masih ada sinyal.

Elliza mengaku membayar penghulu kampung. Penghulu yang dia katakan biasa menikahkan kawin kontrak, menikahkan pasangan sejenis, bahkan sekarang si penghulu menikahkan dirinya dengan telepon seluler. Saya shock saat tahu, pasangan hidup perempuan yang sangat saya cintai ternyata telepon selulernya! Sayangnya, saya sendiri tidak bisa hadir karena waktu itu sedang diare berat.

***

Saya penasaran dengan kehidupan Elliza sekarang. Apa yang dilakukan sepasang pengantin baru di rumah baru mereka, seorang perempuan yang kawin dengan telepon selulernya. Dan saat liburan kantor, pagi-pagi sekali saya tiba di kediaman Elliza. Perempuan itu menyambut saya, memeluk saya dengan hangat, lalu menarik lengan saya masuk ke halaman rumahnya yang luas. Dia bilang sudah menyiapkan hidangan untuk saya. Elliza akan mengambil sendiri minuman lebih dulu, karena dia memilih tidak punya pembantu.

Sebuah telepon seluler, yang dia katakan sebagai pasangan hidupnya, teronggok di ujung meja taman. Saya duduk menunggu Elliza mengambil minuman. Saya meraih telepon seluler itu, menggenggamnya sesaat, lalu tiba-tiba saya ingin membukanya. Tapi saya ragu. Saya takut perempuan itu tahu dan bakalan marah.

Selama ini saya belum pernah meminjam atau memegang telepon selulernya. Baru kali ini, setelah si telepon selulernya ini dia katakan resmi menjadi pasangan hidupnya, saya memberanikan diri memegangnya. Saya benar-benar penasaran ingin melihat isinya.

Sayang, saya gagal membukanya, karena tidak tahu kata sandinya. Saya letakkan kembali telepon seluler itu, sambil menunggu kedatangan Elliza membawa minuman. Elliza datang membawa dua cangkir kopi dan menyodorkan satu untuk saya. Dia tak perlu bertanya lagi soal selera saya pada kopi hitam dengan sedikit gula.

Sebelum kami minum, terdengar notifikasi telepon selulernya. Lalu dia pamit sebentar dan berjalan menjauh, duduk di sudut dekat kolam renang. Elliza tidak bicara di telepon selulernya, melainkan menekan-nekan tuts telepon selulernya sambil tertawa-tawa, entah sedang mengetik apa. Dia terus menatap layarnya, memandanginya beberapa saat, setelah itu dia tertawa lagi. Elliza tampak bahagia sekali. Saya belum pernah melihat perempuan itu sebahagia seperti sekarang. Tawanya begitu lepas.

Saya terus menunggu dan memerhatikannya. Apa yang sedang dia lakukan terhadap pasangan hidupnya… telepon selulernya?

***

Sampai sore saya berada di sampingnya, ngobrol ngalor ngidul soal banyak hal, ditemani telepon selulernya. Saat saya pamit pulang, Elliza meminta saya untuk menginap. Elliza bilang saya bisa tidur di kamar tamu, sedangkan dia di dalam, sekamar dengan telepon selulernya.

Apa yang dilakukan sepasang pengantin baru, seorang perempuan dan pasangannya; telepon selulernya? Apa mungkin Elliza masih belum puas asyik masyuk dengan telepon selulernya itu. Seharian ini, di sela-sela percakapan kami, selalu saja diselingi dengan permintaan maafnya karena harus menjauh dari saya demi bercakap-cakap dengan telepon selulernya. Atau kadang dia tertawa terpingkal-pingkal sambil tangannya terus memegang erat telepon selulernya, sorot matanya tidak pernah lepas menatap layarnya, seolah-olah tiada peduli dengan siapapun di dekatnya. Berkali-kali dia meminta maaf karena sudah nyuekin saya.

Saya terhenyak saat Elliza menceritakan kenapa dia harus kawin dengan telepon selulernya. Elliza sempat mengatakan bahwa sebenarnya dia mencintai saya, dan pernah berharap menjadi istri saya. Tapi semua itu harus dia buang jauh-jauh. Elliza tidak ingin pertemanan yang sudah lama terjalin harus berakhir jika saya dan dia harus hidup bersama.

Elliza sudah seringkali mendengar ada pertemanan yang harus bubar gara-gara perceraian, Padahal sebelum menikah hubungan mereka baik-baik saja. Itulah yang membuat Elliza berharap hubungan saya dengannya cukup sebatas sahabat. Elliza hanya ingin hidup seperti sekarang ini, terus menjalin persahabatan dengan saya, merawat pertamanan yang sudah sekian lama terjalin, lalu memutuskan kawin dengan telepon selulernya.

Mendengar jawabannya, entah kenapa saya seolah terhipnotis kata-katanya. Saya jadi berpikir untuk menjadi seperti dirinya, kawin dengan telepon seluler saya. Tapi ini tentu sulit terjadi. Saya harus menghadapi keluarga besar saya, yang tentu akan menentang keinginan itu. Saya berbeda dengan Elliza, yang hidup sebatang kara, tidak seorang pun mampu menghalang-halangi keinginannya memutuskan hidup sesuai pilihannya.

“Kenapa perempuan itu menikah dengan telepon selulernya?” tanya atasan saya, perempuan lajang yang sudah berumur, saat saya ceritakan tentang Elliza.

Saya tidak mau menjawabnya langsung. Saya minta dia membuka email-nya besok pagi, semua alasan Elliza memilih menikah dengan telepon selulernya akan saya tuangkan semua di situ malam ini. ***

Tangerang Selatan, 2021-2023

***

Zaenal Radar T. Menulis cerpen, novel dan sejumlah acara televisi. Buku kumpulan cerpennya, Si Markum (Penerbit Alvabet, 2017). Menetap di Tangerang Selatan.

Erica Hestu Wahyuni, lahir di Yogyakarta 1 Januari 1971. Melukis sejak umur 7 tahun. Pendidikan, ISI Yogyakarta dan Surikov Art Institut, Moscow.

***

(10)

Siasat Ki Juru Martani

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/AUlo6YVe50yRdNaB0TkWnLvWCxE=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F25%2F35c5a48f-b762-45bc-a373-5d8f12e22702_jpg.jpg

Oleh: ADE MULYONO, 25 Mei 2023

Malam mengundang sepi, merambat naik dan makin tua usianya. Ki Juru Martani belum beranjak dari tempat duduknya setelah berjam-jam lamanya bersemadi. Sambil mendongak ditatapnya gemintang yang kelap-kelip diminyaki bulan purnama. Berharap Penguasa Mayapada menurunkan ilham untuk dirinya. Tanpa petunjuk-Nya, dirinya bagai orang buta yang kehilangan tongkatnya.

Seketika seberkas cahaya rembulan jatuh menyentuh wajahnya yang mulai pasi bagai mayat. Bersamaan dengan itu, embusan angin malam merayap menyergap tubuhnya yang sudah payah.

Ki Juri Martani memejamkan matanya. Ia merasakan sesuatu telah masuk ke dalam kalbunya untuk menuntun pikirannya yang gelap.

”Apa yang harus aku lakukan sekarang,” pikirnya.

Sebagai seorang penasihat di Pajang, ia ikut merasakan betapa beratnya memikul permasalahan kerajaan yang diletakan di atas pundaknya. Ia pusing setengah mati memikirkan siasat bagaimana caranya membantu Sutawijya agar dapat mengalahkan Arya Penangsang.

Beberapa hari yang lalu Adipati Hadiwijaya menemui iparnya Retna Kencana yang sedang bertapa di lereng bukit. Dari situ tersingkap rahasia jika dendam perempuan yang digelari Ratu Kalinyamat itu belum sirna. Mungkin Tuhan memaafkan, tetapi dia tidak. Amarahnya masih berkobar yang tampak dari guratan wajahnya.

Ki Juru Martani memaklumi kemarahan Ratu Kalinyamat. Sebagai seorang istri, ia masih sakit hati karena ulah Adipati Arya Penangsang yang telah membunuh suaminya, Sultan Hadlirin. Atas alasan itu ia merawat dendamnya, menjaganya supaya tetap menyala.

Dengan penuh ratapan ia memohon kepada Adipati Hadiwijaya agar berkenan untuk membalaskan dendamnya—membelas rasa sakit hatinya yang begitu perih. Bagai permintaan seorang pengemis paling iba yang memohon derma di kaki bangsawan ia berujar sambil memunggungi Adipati Hadiwijaya.

”Disaksikan air mataku yang tidak berhenti mengalir ini, aku mohon bunuh Arya Penangsang secepatnya. Jika Adimas takut dengan keris Setan Kober miliknya, maka buatlah sayembara. Aku akan menyerahkan Jepara bagi siapa saja yang berhasil memisahkan ruh Arya Penangsang dari jasadnya.”

Dengan bahasa yang halus Adipati Hadiwijaya menolak permintaan Ratu Kalinyamat. Ia segan untuk menunjukkan sikap bermusuhannya secara terbuka dengan Adipati Arya Penangsang. Baginya, dirinya hanyalah menantu Sultan Trenggono. Lebih dari itu, ia tidak mau menyakiti hati Kanjeng Sunan Kudus. Mengingat, Arya Penangsang adalah murid kesayangannya.

”Kota Pati dan Alas Mentaok juga akan aku serahkan,” seru Sultan Hadiwijaya tanpa berani melihat perempuan yang sudah berbulan-bulan lamanya tinggal di dalam gua tanpa sehelai pakaian pun menutupi tubuhnya. Ia berharap jawabannya dapat sedikit menenangkan hati Ratu Kalinyamat.

***

Waktu yang dinantikan pun tiba. Saat matahari mulai condong ke Barat dan pancaran sinarnya membuat bayangan memanjang, Ki Juru Martani memimpin pasukannya berangkat ke sungai Bengawan Solo. Di tengah perjalanan ia menangkap seseorang yang dicurigai telik sandi Arya Penangsang. Tanpa ampun ia langsung saja melukai telinganya.

”Bawa sepucuk surat ini untuk Adipati Arya Penangsang. Sampaikan padanya Adipati Hadiwijaya menantangnya perang tanding di sungai Bengawan Solo sekarang,” bentak Ki Juru Martani.

Di kedatonnya Arya Penangsang begitu murka membaca sepucuk surat tantangan dari Hadiwijaya. Dicabik-cabiknya surat itu, kemudian diinjak-injaknya. Napas naik turun saat ia berujar lantang: ”Kurang ajar kau Hadiwijaya beraninya menantangku.”

Patih Matahun mempunyai firasat lain. ”Sabar, Kanjeng Adipati. Jangan ke gabah.”

”Prajurit siapkan Gagak Rimang,” perintah Arya Penangsang dengan wajah merah padam bagai bara. Ia tidak peduli dengan nasihat senapatinya.

”Setidaknya tunggu senjakala. Adipati Arya Penangsang juga belum menyempurnakan puasa empat puluh hari untuk mendapatkan kesaktiannya kembali karena tuah rajah kalacakra.”

”Kesabaranku sudah habis. Paman tidak usah khawatir, aku akan mengajari Hadiwijaya bagaimana seharusnya menjadi seorang kesatria.”

Patih Matahun diam tak dapat mencegah junjungannya yang sudah melenggang di atas punggung Gagak Rimang.

Benar-benar kesatria Arya Penangsang datang seorang diri. Sebelum senapatinya menyusul membawa pasukannya.

Sesampainya di Bengawan Solo Arya Penangsang berteriak memanggil Hadiwijaya. Lalu ia mendekat ke tepi sungai. Dari kejauhan di atas punggung kuda betinanya, Sutawijaya muncul. Ia menggerakkan kudanya, meringkik, menyepak kemudian membokongi Gagak Rimang. Seketika Gagak Rimang bertingkah tak wajar melihat kuda betina di hadapannya. Tanpa diperintah Gagak Rimang menerjang sungai Bengawan Solo.

Betapa terkejut Sutawijaya melihat Gagak Rimang membelah sungai Bengawan Solo. Betapa gagahnya, kata Sutawijaya terkesima.

Tiba-tiba saja ratusan anak panah keluar dari dalam hutan menerjang tubuh Arya Penangsang sebelum kaki kudanya meraih daratan. Tetapi tidak satu pun anak panah yang melukai tubuh Adipati Jipang itu.

”Apa kalian pikir dengan mainan anak-anak seperti ini bisa membunuhku. Di mana Hadiwijaya?” bentak Arya Penangsang.

”Aku lawanmu, Paman,” balas Sutawijaya masih di punggung kuda betinanya.

”Aku hanya mau bertarung dengan Hadiwijaya. Aku tidak sudi mengotori lenganku hanya untuk meladeni anak ingusan sepertimu. Pulanglah dan panggil Romomu.”

”Tidak, Paman, akulah lawanmu. Aku malaikat pencabut nyawa yang diutus Romoku untuk menghabisimu Paman.”

”Kurang ajar!”

Sutawijaya memacu kudanya ke arah Barat menuruti perintah Ki Juru Martani. Gagak Rimang mengejarnya. Di tanah lapang Gagak Rimang mengangkat naik kedua kakinya berjingkrak-jingkrak hingga tuannya kehilangan kendali.

”Ada apa Gagak Rimang. Tenang Gagak Rimang,” Arya Penangsang mencoba menenangkan kuda kesayangannya.

Tiba-tiba Sutawijaya menerjangkan tombaknya ke tubuh Arya Penangsang. Dengan satu gerakan cepat Arya Penangsang berhasil menghindar dari kematian.

”Kurang ajar! Licik!” Betapa marahnya Arya Penangsang setelah mengetahui siasat lawannya yang menggunakan kuda betina.

Sutawijaya kembali memacu kudanya memunggungi cahaya matahari. Arya Penangsang masih berusaha menenangkan kudanya yang kian tidak terkendali. Saat melihat Sutawijaya pandangan mata Arya Penangsang menjadi kabur karena sengatan cahaya matahari. Sutawijaya kembali menerjangnya dan kali ini tombak Kyai Plered berhasil melukai sisi kiri perut Arya Penangsang.

Arya Penangsang mengerang kesakitan setelah jatuh tersungkur dari kudanya. Ususnya terburai keluar. Darah mengucur.

”Tombak pusaka rupanya,” gumamnya sambil mengerang. Kemudian ia melilitkan ususnya ke gagang Keris Setan kober di pinggangnya.

Arya Penangsang begitu jengkel dipermainkan oleh anak ingusan. Belum pernah sekalipun ia merasa terhina seperti sekarang ini. Mendadak matanya menjadi merah bagai kerbau marah yang siap menanduk apa saja di depannya. Sambil menggeram ia memburu Sutawijaya. Meski dalam kondisi terluka ia berhasil meringkus anak angkat musuh bebuyutan itu dan memukulnya hingga Sutawijaya terlempar lima tombak jaraknya.

Ia bangkit dan kembali menyerangnya. Sekali lagi, ia terjungkal kena pukulan Arya Penangsang yang membuat wajahnya babak belur. Kini Sutawijaya terdesak. Ia tidak menyangka Arya Penangsang masih kokoh berdiri bagai pilar meski tubuhnya terluka parah. Dengan sisa tenaganya Arya Penangsang mencekik Sutawijaya tanpa ampun.

Melihat Sutawijaya dalam mara bahaya, Ki Juru Martani, Ki Panjawi, dan Ki Ageng Pemanahan segera berlari untuk menolongnya.

Dari kejauhan suara azan terdengar sayup-sayup. Kesakitan Arya Penangsang pulang ke tubuhnya.

Melihat tiga orang tua berlari ke arahnya, Arya Penangsang tertawa terbahak-bahak. ”Bahkan separuh kesakitanku lebih dari cukup untuk menghabisi tiga orang jompo seperti kalian,” ujarnya jemawa.

Mengetahui kesakitan Arya Penangsang telah pulih, Ki Juru Martani panik. Gentar. Keberaniannya seketika lenyap begitu saja bagai angin. Dan benar saja Arya Penangsang laksana harimau lapar yang dengan mudah mengoyak-oyak tubuh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi hingga keduanya terpelanting sepuluh langkah jauhnya.

Sutawijaya bangkit berusaha melawan Arya Penangsang sekali lagi. Kembali ia tersungkur oleh sepakan Arya Penangsang yang sangat kuat. Ia merasakan tulangnya ngilu. Dadanya sesak. Bekas kaki Arya Penangsang membekas di atas perutnya.

”Yang kita hadapi bukan manusia, Paman,” kata Sutawijaya sambil memegangi dadanya.

Meladeninya secara langsung ialah hal konyol. Itu sama saja dengan bunuh diri. Hanya Sultan Hadiwijaya yang dapat menandingi kesaktiannya, pikir Ki Juru Martani.

”Mengapa diam orang tua. Silakan bagian tubuh mana yang ingin kau jajal,” seru Arya Penangsang.

”Kesombonganmu akan menenggelamkanmu,” balasnya sambil memasang kuda-kuda.

”Kesombonganku bahkan masih di bawah separuh jurusku.”

Ki Juru Martani memberi aba-aba kepada prajuritnya untuk menyerang.

Bagai bocah-bocah kecil di hadapan raksasa, dengan mudahnya Arya Penangsang menghabisi prajurit Pajang.

Mayat bergelimpangan. Mereka tewas dengan cara yang sia-sia.

Hahaha… Tawa Arya Penangsang meledak.

”Sebagai seorang kesatria, senjata pusaka harus dilawan dengan senjata pusaka pula. Cabut keris pusakamu. Kita buktikan pusaka siapa yang lebih sakit. Tombak Kyai Plered Adipati Hadiwijaya atau Keris Setan kober milikmu,” tantang Ki Juru Martani setelah meraih tombak Kyai Plered yang terpental jauh. Ia berjalan pelan memutari lawannya dengan tombak Kyai Plered yang sudah siap menerjangnya jika Arya Penangsang tiba-tiba menyerangnya.

Mendengar nama musuh bebuyutan disebut bertambah marah Arya Penangsang mendengarnya. Tanpa pikir panjang ia mencabut keris pusakanya setelah termakan oleh tipu daya Ki Juru Martani. Baru saja Arya Penangsang menghunus kerisnya, tiba-tiba ia menjerit kesakitan. Tanpa disadari keris yang ia banggakan telah memotong ususnya yang sebelumnya tersampir di gagangnya.

Arya Penangsang ambruk. Lututnya bertumpu ke tanah. Tangan kirinya memegangi ususnya yang terpotong akibat senjata pusakanya sendiri. Sedangkan tangan kanannya masih menggenggam erat keris setan kober yang menancap di tanah basah menjaga tubuh tuannya agar tidak rebah.

Dari kejauhan Patih Matahun yang menyaksikan junjungannya tewas kemudian berujar kepada para prajuritnya sebelum melakukan bela pati: ”Tidak ada seorang pun yang dapat mengalahkan Adipati Arya Penangsang kecuali dirinya sendiri. Lihatlah betapa gagahnya, bahkan dalam kematiannya sekalipun ia menolak tunduk di bawah kaki para musuhnya.”

***

Ade Mulyono, lahir di Tegal. Prosais dan esais. Beberapa cerpennya dimuat di Kompas, Media Indonesia, Kedaulatan Rakyat, dan Majalah Harmoni. Menyelesaikan sarjana sastra di Universitas Pamulang, Banten. Buku terbarunya Jingga (2023).

***

(11) 

Namaku Demensia

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/E_x29AbAujqY2IblhsqvEdGMigs=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F27%2F9fdc1676-5968-47d9-8400-073630a271a7_jpg.jpg

Oleh: FANNY J. POYK, 27 Mei 2023

Wajah mudanya sudah lama terpulas waktu. Ia memandang cermin, mencoba mengulik perjalanan dari raut kesegaran dan elastisitas kulit yang pernah menutupi tulang tengkorak wajahnya. Ada kenangan yang dulu pernah ia miliki kembali menguak dari ingatannya, sesekali bagai tampilan potongan-potongan kisah film yang terpecah menjadi beberapa masa nan epik. Ada satu adegan kala kemudaan menjadi sorot dari beberapa pasang mata yang memuji kecantikan ragawi saat melekat kuat di raganya. Ada pula perjalanan masa saat sang suami menatap kuat di keelokkan dan sintalnya tubuh yang pernah ia miliki. Namun, keluh itu pada akhirnya menukik pada napas panjang tanpa suara, mencari segala tampilan keindahan yang pernah ada.

Sesungguhnya ia ingin memutar waktu. Menuntunnya kembali ke pusaran awal. Namun, itu hanya sebatas keinginan. Absurditas kehidupan telah membawanya pada satu titik proses pengejawantahan dari yang ada akan menjadi tiada. Ia menyadari hal itu. Dari tanah akan menjadi tanah. Jasad mengikuti proses pembentukan alam, alamiah dan akan mengikuti alur yang ada. Bergabung dengan segala kutu dan belatung hingga akhirnya kata ‘manusia’ hanya akan menjadi beberapa kalimat dari bait-bait puisi yang pernah dia tulis. Entah larik puisi itu akan dikenang atau tidak, dia tidak tahu. Yang pasti, segala atribut penyerta dari harta dunia seperti uang, emas, berlian, mutiara, rumah-rumah dan benda tak bergerak lainnya, lebih memukau untuk mereka yang pernah mengetahuinya. Atau barangkali juga dia akan dianggap sebagai seonggok tubuh manula yang masih memiliki daya pikat ketika semua benda itu belum dituliskannya pada selembar surat kuasa dari pembagian warisan yang dia miliki. Inilah salah satu sebab, mengapa dia masih menilai dari sosok-sosok yang mendekati dirinya bagai semut mencari seonggok gula. ”Aku akan memulainya dengan penuh strategi, akan kumasukkan segala gestur yang paling manipulatif dari seluruh kehidupan yang pernah kujalani. Agar ketika waktuku tiba, aku bisa tahu siapa saja dari mereka yang benar-benar tulus mengasihiku, siapa yang hanya berpura-pura dengan mengincar semua harta dunia milikku,” ujarnya dalam hati.

Kemudian waktu memberi nama Demensia padanya. Nama itu dia terima tanpa sanggahan bercampur dengan suara lantang. Dia terlihat pasrah dan penurut. Peristiwa demi peristiwa berlalu tanpa ada gejolak kisah yang membuatnya memperhatikan sebuah percakapan dengan antusias penuh. Para saudara yang menemaninya, mulai mendeteksi perkembangan yang terjadi. Ketika ia bertanya, ”Namaku sekarang Demensia, ya? Ke mana namaku yang dulu? Aku rindu padanya.”

Awalnya, sang anak, yang merupakan satu-satunya putra yang ia miliki, memandang curiga padanya. Ia menduga ibunya hanya berakting. Waktu yang bergulir perlahan, membuatnya mulai gundah kala melihat sang ibu bersikap tidak seperti ibunya yang dahulu. Cerita masa lalu hanya memiliki topik yang monoton, kurang mengasyikkan. Ia kerap menanyakan para orangtua yang telah pergi dari bumi dan terbang ke awan-gemawan sana, apakah mereka akan selalu seperti itu sebelum meninggalkan bumi? Apakah memori masa lalu lebih kuat tertanam di benaknya ketimbang ingatannya tentang si anak dan suaminya. Sesekali sang anak mendengarnya berkata, siapa lelaki tinggi berwajah bule yang selalu ada di sisinya.

”Tidakkah kau ingat kalau dia itu suamimu, Ibu?” tanya putranya.

Sang ibu berpikir keras, mencoba menata rekahan-rekahan kenangan yang ada di ingatannya. Lalu katanya pada sang anak, ”Aku menyerah, aku tidak ingat lagi siapa lelaki itu. Kalau tentang kau, ingatanku masih terpatri pada sosok bayi yang pernah kususui. Apakah kau memang benar bayi yang pernah menjadi anakku?” tanyanya dengan tatapan serius.

Sang anak murung. Matanya berkaca-kaca. Perempuan berusia sekitar delapan puluh tahun yang ada di hadapannya terlihat rapuh dan linglung. Namun, wajahnya tidak menunjukkan kalau ia sakit. ”Maaf, siapa namamu?” tanyanya serius lagi sambil menatap lelaki berusia tiga puluh lima tahun yang ada di hadapannya.

”Aku Johan, putramu, Ibu,” jawab lelaki itu.

”Hm… Johan…” si ibu yang diberi nama Demensia ini diam sejenak, sepertinya ia berusaha menemukan jejak ingatannya yang hilang. Dan waktu bergulir dengan perkasa. Perasaan Demensia kian terpatri di seluruh rangkaian raga yang sesungguhnya akrab disapa Atine ini. Tampaknya sekumpulan gejala yang memengaruhi kemampuan fungsi kognitif otak untuk mengingat, berpikir, bertingkah laku, dan berbicara mulai mengalami penurunan.

Johan merenung bersama tetes air mata yang ia sembunyikan. Ia ngeri membayangkan bila Demensia terserang alzeheimer benar-benar datang menyergap ibunya. Minggu lalu ketika ia memeriksakan sang bunda di sebuah klinik. Hasil yang ia dapatkan sungguh mengguncang raganya. ”Ibumu mengalami gangguan di pembuluh darah otak. Ada kerusakan pada sel saraf dan hubungan antarsaraf di otaknya. Daya ingatnya akan menurun, beberapa bulan lagi alzheimer menyerangnya. Jadi rawatlah ia dengan penuh kasih sayang. Depresi salah satu sebab mengapa ia mengalami perubahan daya ingat,” ujar dokter saraf yang memeriksa ibunya.

Sejurus waktu yang menerjangnya, kian membuat Demensia bagai berada di ujung lorong gelap tak berujung. Fatalitas kecemasan yang datang kemudian menggiring nalar pada kebuntuan sejarah perilaku yang pernah ia lalui. Demensia kian terpuruk pada kisah kemanusiaan yang berangkat pada aktivitas di titik nol. Ia berusaha merangsek kuat, perlahan mencari tahu siapa dia dan siapa sosok-sosok yang ada di hadapannya. Tapi semua sia-sia, semua kian memudar bagai kisah perjalanan yang jejaknya terhapus oleh pasir gurun. Demensia terpuruk, merana dalam kesendirian.

“Maafkan, saya tak tahu kalau saya tidak memakai pampers, kotoran yang keluar dari tubuh saya tak kuasa saya pertahankan,” ujarnya tanpa rasa bersalah. ”Siapa kamu? Mengapa kamu ada di rumahku? Kamu telah mencuri perhiasan mutiaraku? Ayo mengaku, kamu pasti yang telah mengambilnya!” tuduhnya pada sang kemenakan yang merawatnya. ”Darimana kau mendapatkan ayam goreng ini? Pasti kau telah membunuh ayam-ayam peliharaanku di kandang belakang, ya?” katanya lagi dengan nada suara yang ketus.

Kemudian Demensia mengulik kisahnya saat ia masih kanak-kanak. Ia meminta para adik yang berada di sampingnya untuk menuturkan tentang peristwa kala ia remaja dan dewasa. Ia bertanya apakah ia pernah menikah dan memiliki anak? Dua lelaki, bertubuh tinggi dan gagah, menatapnya iba. Demensia sama sekali tidak mengenalnya, mereka suami dan putranya.

Dan keadaan kembali ke putaran semula. Demensia meminta dibelikan kursi roda, ia mengaku tak bisa berjalan. Nama suami, anak-anak, menantu, dan para cucunya tak ia ingat lagi. Bahkan, kisah tentang ia yang pernah cantik, si ratu dansa, pekerja keras di sebuah kedutaan asing, sekelumit pun tak pernah muncul dalam ingatannya. ”Mengapa kalian tidak memberiku makan? Kalian jahat sekali telah menyia-nyiakan aku!” ucapnya dengan suara meninggi.

”Lho, Bibi baru saja saya suapi, makan pakai ikan bakar dan sayur asem, ini bekas piringnya,” unjuk sang kemenakan.

Demensia terdiam sesaat. Lalu katanya, ”Tapi aku masih lapar, cepat suapi aku nasi dan ikan lagi!”

Seluruh isi rumah tidak menggubris permintaannya. Sebab, seperti yang sudah-sudah, jika semua kemauannya dituruti, setengah badannya akan penuh tinja, dia akan diare tersebab seluruh ususnya tak kuat menampung pasokan beragam makanan yang masuk melalui mulutnya. Sinyal otak untuk mengirim pesan pada mulut saat menerima makanan lagi tidak sesuai dengan kondisi isi perut yang sudah aus mengikuti usia tua serta penyakit otak yang telah membuatnya melupakan tentang wujud dari siklus kehidupan manusia, yaitu kecil, dewasa, tua, lalu mati. Siklus kehidupan ini mulai menyiksa Demensia. ”Aku sakit perut, pampersku sudah penuh, barusan air seniku tumpah membasahi seluruh bokongku. Tolong diganti, rasanya tak nyaman,” katanya dengan wajah meringis.

Selanjutnya Demensia mengayuh lakon dari skenario kehidupan yang terkadang memunculkan sensasi absurd dari perilaku yang semula tak pernah ada di dirinya. Ia meninggalkan kursi rodanya. Pergi entah kemana. Seluruh isi rumah geger. Ketakutan mulai melanda. Perempuan tua berusia delapan puluh tahun lebih itu lenyap tanpa jejak. Dia memang tidak lumpuh, namun dia kerap mengeluhkan kakinya sakit dan tidak bisa berdiri lama. ”Sepertinya aku akan lumpuh,” katanya waktu itu.

Tapi kini dia hilang. Benar-benar menhilang!

Berhari, berminggu, bahkan berbulan, Demensia bagai lenyap ditelan bumi. Seluruh rumah jompo, tempat-tempat terminal bus, mal, stasiun kereta api, dan tempat keramaian lainnya telah ditelusuri. Namun, sosok Demensia tetap tak terlihat. Rasa khawatir berkecamuk bercampur dengan tanya yang berkelindan. Siapa yang akan mengganti pampers Demensia? Siapa yang akan memberinya makan, siapa yang memandikannya, bagaimana jika kakinya tiba-tiba lumpuh? Ingatannya yang mulai hilang, siapa dia, siapa nama sesungguhnya, di mana dia berada, dan gabungan dari tanya berbaur rasa bersalah yang tak termaafkan menjadi sesal tak berkesudahan. Sang suami, sang putra, bertanya pada Ilahi, kapan sang Demensia kembali? Tanya itu hanya bersarang pada harapan.

***

Nama lengkap Fanny Jonathans Poyk (Fanny J Poyk), lahir di Bima, Sumbawa. Menulis cerita anak dan puisi sejak tahun tahun 1973/1977 di majalah anak Bobo, Tom Tom, Halo, Ananda, kolom Sahabatku Sinar Harapan, kolom anak Suara Karya, majalah anak Kuncung, dan lain-lain. Menulis cerita dewasa/remaja di majalah Sarinah, Pertiwi, Puteri Indonesia, Gadis, Kartini, suratkabar Sinar Harapan, Jurnal Nasional, Suara Karya, Pikiran Rakyat, Bali Post, Surabaya Post, Kompas, Jawa Pos, Dalang Publishing (Amerika Serikat), Timor Expres, Koran Ekspres Sabah Kinabalu, dan lain-lain. Fanny tinggal di Depok dan masih terus menulis.

***

(12)

Menabur Cinta Ibu di Atas Tulang Bapak

-

Oleh: MAULIDIA, 28 Mei 2023

Aku telah mengeluarkan abu pembakaran Ibuku dari dalam kendi yang baru ia tinggali semalam. Kupindahkan ke dalam sebuah botol plastik dan kumasukkan ke dalam tas ranselku.

Kendi itu lalu kuisi dengan tanah sisa pembakaran kayu. Warna dan tekstur abu keduanya memang terlihat berbeda. Semoga tidak ada yang curiga dengan abu kremasi ibu yang telah kuganti. Setelah menggantinya, kendi itu kukemas sebaik mungkin, kutempatkan di tempat semula, sejajar dengan dupa dan sesajen-sesajen lain.

Pagi-pagi sekali, sebelum banyak orang beraktivitas, aku harus pergi ke tempat yang sudah lama tidak kukunjungi. Berangkat dengan sebuah perahu dan sepotong kayu sebagai dayung, aku menyusuri Danau Batur. Tas ransel tempat menyimpan botol berisi abu Ibu tidak lupa kubawa. Air danau yang dingin menyelimuti kegamanganku melakukan semua sendiri. Berkali-kali aku meyakinkan diriku menentang adat.

Di atas perahu kecil yang kunaiki ini, pikiranku melayang saat pertama kalinya menyusuri Danau Batur. Aku, tetua adat, dan beberapa orang lainnya mengangkut tubuh Bapak yang kaku dengan sebuah boat yang biasa dipakai wisatawan. Bukan hendak mengajakku untuk mengelilingi danau, tapi boat itu bergerak mengantarkanku pada duka.

Waktu itu juga, pertama kalinya aku menggelaburkan tanganku untuk menyucikan diri usai mengubur airkan Bapak. Air Danau Batur yang teramat dingin tidak ada apa-apanya dibanding tanganku yang sudah kaku. Awalnya, aku menolak untuk menyucikan diri, namun tetua adat bersikukuh menyuruhku. Katanya, akan ada petaka jika aku tidak patuh dengan adat. Dalam garis-garis pola tanganku masih tertinggal bau Bapak, karena itulah aku tidak ingin menghilangkannya dengan air manapun.

Kita adalah orang Bali Trunyan yang tinggal di desa tertua di Bali. Kita harus percaya bahwa leluhur langsung turun dari langit untuk memberi kehidupan di Desa Trunyan. Itulah mengapa, kelahiran dan kematian adalah hal yang sama. Kematian adalah kehormatan yang harus diterima sebagai manusia, sama seperti kelahiran. Begitu yang sering Bapak katakan padaku jika sudah membahas tentang kematian, entah apa pertandanya Bapak bercerita, ternyata aku memang mengalami dua kematian dalam waktu dekat.

”Tidak usah kau bawakan apapun untuk Bapak. Bapak akan tidur dengan tenang.” Begitu yang sering aku dengar dari Bapak.

”Bagaimana bisa aku yakin Bapak akan tenang jika aku tidak membawakan bekal?”

”Tidak usah, kita tidak punya harta benda sebagai bekal. Sesuatu yang berharga bagi Bapak hanya kau dan Ibu.”

Dialog-dialog antara aku dan Bapak masih menggema dalam otakku hingga tidak terasa perahu kecil yang kunaiki sudah berada di tengah danau. Lenganku rasanya mau tanggal karena mengayuh seorang diri. Sedikit lagi akan sampai.

Aku kembali memikirkan risiko rencana ini, apakah aku nantinya akan diusir dari kampung? Tapi, aku memang sudah merantau sejak satu tahun yang lalu dan akan kembali bekerja di sana. Apalagi Ibu dan Bapak sudah tiada, maka tidak akan ada yang bisa menahanku pergi. Tapi, aku ingin tetap mengunjungi keduanya. Aku akan datang sesekali ke Desa Trunyan untuk sekadar menemui Bapak di seme wayah. Lalu, jika aku ketahuan, apakah aku akan diizinkan kembali datang ke kampung ini? Ah, sudahlah, semua ini demi Bapak.

Seme wayah sudah terlihat. Aku parkirkan perahu dan kutancapkan sebuah kayu yang dililitkan tali agar perahu tidak terbawa arus danau. Antara Danau Batur dan Gunung Api, di sinilah kami menaruh tubuh Bapak yang kaku di atas tanah, di bawah udara terbuka, bermandikan semerbak wanginya taru menyan. Dikelilingi ancak saji menyilang, guna melindungi tubuh Bapak dari hewan-hewan yang kelaparan. Kami kubur anginkan Bapak di tempat yang sepi berdampingan dengan sepuluh makam lainnya.

Tidak ada bau tidak sedap yang mengepung tempat ini. Padahal orang-orang yang mendiami seme wayah sudah berada di sini sejak hari pertama mengembuskan napas terakhirnya.

Akar sebuah pohon di seme wayah telah menjalar ke mana-mana. Pohon inilah yang menyerap bau busuk di pemakaman seme wayah, kami menyebutnya taru menyan. Di bawah pohon tersebut, beberapa tengkorak berjejer menyambut kedatangan para pelayat dan wisatawan. Siapapun yang berkunjung boleh memegangnya asal menaruhnya kembali. Tidak jauh dari jejeran tengkorak yang tersusun, terlihat sebelas makam yang dilindungi kayu-kayu menyilang, termasuk makam Bapak.

Aku pun beralih mendekati makam Bapak. Hanya tempat Bapaklah yang bersih tanpa bekal. Sepuluh makam lain, terlihat menyimpan macam-macam bekal yang dibawa oleh keluarga mereka, mulai dari pakaian, aksesori, bahkan uang. Bekal-bekal itu pun sudah bertebaran di mana-mana.

Aku lihat, raga Bapak mulai hancur, tidak seperti Bapak yang dulu. Kulit Bapak sudah copot dari dagingnya, entah digerogoti hewan apa. Hingga yang tampak masih utuh hanya tulang-belulang Bapak dan sedikit daging yang menempel pada tulang. Gigi-gigi Bapak pun sama hancurnya dengan kulit.

Bapak, maafkan aku tidak bisa menjaga Ibu seperti Bapak. Tetesan air mengalir di pipiku. Sejak Bapak sudah tiada, Ibu memang tidak bisa sepenuhnya menerima takdir. Aku terpaksa meninggalkan Ibu sendiri untuk mencari uang, bekerja menjadi pelayan di sebuah restoran di Lombok. Ibu hidup sendiri karena tidak mau aku bawa. Ibu tidak ingin meninggalkan Bapak. Begitulah cara Ibu menolak setiap aku mengajaknya pergi.

Maafkan aku. Aku tidak berada di samping Ibu saat-saat terakhirnya. Aku tidak tahu jika Ibu sudah lama sakit. Ia memendamnya sendiri tanpa mengabarkannya padaku. Mungkin, hanya Bapak tempat Ibu mencurahkan isi hati dan rasa sakit yang ia derita. Waktu itu, saat aku membawa Bapak ke sini, Ibu ingin ikut bersamaku. Tapi, tetua adat melarangnya karena perempuan tidak boleh datang ke seme wayah, takut akan mendapat petaka.

Kini, aku benar-benar sendiri. Ibu lebih memilih ikut bersama Bapak dan meninggalkanku. Aku masih ingat yang Bapak katakan, bahwa kita orang tidak berpunya dan tidak ada apapun yang bisa kita bawa sebagai bekal. Meskipun begitu, aku yakin Bapak pasti sedih karena kulihat teman-teman Bapak di sini membawa bekal yang banyak.

Aku tidak ingin memisahkan Bapak dengan Ibu. Aku tidak akan membawa Ibu pergi ikut bersamaku atau meninggalkannya lagi sendiri di rumah. Aku tidak akan mengubur airkan Ibu. Aku tidak ingin melihat Ibu terkatung-katung di tengah danau atau perlahan mengendap di dasar danau menyatu dengan pasir. Kali ini, maukah Bapak tetap menjaga Ibu di sini?

Kuambil botol plastik berisi abu ibu dari dalam ransel. Kutuangkan abunya di telapak tangan dan pelan-pelan kutaburkan. Butiran-butiran abu itu lalu perlahan jatuh menyelimuti tulang-tulang Bapak dan masuk ke dalam rongga kepala juga dada Bapak.

Usai menaburkan abu Ibu, aku pun pergi meninggalkan seme wayah, sebelum orang-orang mencariku karena ada satu tugas lagi yang harus kulakukan. Melepas abu palsu Ibu di Danau Batur untuk mengubur airkannya.

Keterangan:

  1. Seme wayah: tempat pemakaman bagi laki-laki Trunyan yang meninggal secara wajar.
  2. Taru menyan: nama pohon besar yang dijadikan asal nama desa di Bali yaitu Desa Trunyan. Taru artinya pohon, menyan artinya wangi.
  3. Ancak saji: suatu anyaman dari irisan bambu yang dijadikan sebagai pagar untuk melindungi makam di seme wayah.

***

Maulidia, Penulis tinggal di Setiabudi, Jakarta Selatan.

I Wayan Diana,Lahir di Gianyar, 12 Desember 1977. Telah berpameran di berbagai tempat, di antaranya Arma Museum; Museum Puri Lukisan; Neka Museum; Pesta Puri dan Siyu Taksu Jakarta; dan Biennale Seni Lukis Bali #1 (2009). Sejumlah lukisannya juga masuk dalam buku-buku penting Seni Lukis Bali atau sebagai sampul buku. Meraih penghargaan sebagai Finalis Jakarta Art Award 2008 dan 2009; Finalis UOB Painting of the Year tahun 2011, 2012, 2013, dan 2014.

***

error: Content is protected !!