Tafsir Qur’an dalam Bahasa Jawa, Peneguhan Identitas, Ideologi dan Politik

Oleh Islah Gusmian. Artikel ini membahas tentang pergulatan tafsir Al-Qur’an bahasa Jawa dalam ruang sosial, budaya, dan politik pada era akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Jawa dalam kajian ini diletakkan dalam konteks geososial-budaya yang melahirkan beragam tradisi dan budaya yang khas dan unik.

Dari segi ruang sosial budaya, tafsir Al-Qur’an bahasa Jawa lahir dari tiga geososial-budaya utama, yaitu (1) Pesantren dengan tradisi pesisir = geososial pesisir melahirkan tafsir dengan tradisi pegon dan makna gandul; (2) Kraton dengan tradisi kauman = geososial kraton melahirkan tafsir model macapat dengan aksara Jawa; dan (3) Masyarakat umum dengan tradisi urban dan putihan = geososial masyarakat umum melahirkan karya tafsir yang mengadopsi aksara Latin sebagai media penulisan.

Di balik penulisan tafsir tersebut sejumlah aspek menjadi penggeraknya, yaitu (1) pengajaran agama Islam, (2) semangat pemurnian Islam, (3) peneguhan Islam tradisional, (4) kepentingan dakwah, dan (5) politik perlawanan terhadap kolonial Belanda. Kata kunci Tafsir Al-Qur’an, Jawa, huruf Jawa, pegon, identitas.

Pendahuluan

Penafsiran Al-Qur’an hakikatnya bukan sekadar praktik memahami teks (naṣṣ) Al-Qur’an, tetapi juga berbicara tentang realitas yang terjadi dan dihadapi oleh penafsir. Sebagai produk budaya, tafsir Al-Qur’an berdialektika dengan kultur, tradisi, serta realitas sosial politik. Di sepanjang sejarah penulisan dan publikasi tafsir Al-Qur’an di Nusantara hal-hal tersebut terjadi. Di antaranya tampak pada pemakaian bahasa, aksara, serta isu sosial, politik, dan ideologi yang dikontestasikan. Dalam dinamika penulisan tafsir Al-Qur’an yang demikian, tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa merupakan fenomena yang penting dikaji. Di tengah popularitas bahasa Indonesia dan aksara Latin sejak era awal abad ke-20—didorong oleh politik etis Belanda dan momentum Sumpah Pemuda pada 1908—bahasa Jawa masih hidup dalam tradisi penulisan tafsir Al-Qur’an di Indonesia dengan variasi aksara yang digunakan, yaitu aksara Pegon, Latin, dan Jawa.

Sejak era abad ke-19 hingga awal abad ke-21, tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa ditulis dan dipublikasikan. Sejumlah ulama memainkan peran utama dalam keberlangsungan penulisan tafsir berbahasa Jawa tersebut. Mereka ini juga berada di garda depan dalam gerakan politik dan kebudayaan. Pada awal abad 19 K.H. Muḥammad Sāliḥ bin ‘Umar as-Samaranī (1820-1903)—dikenal juga dengan nama Kiai Saleh Darat—menulis tafsir Faiḍ ar-Raḥmān fī Tarjamāh Kalām Mālik ad-Dayyān. Pada akhir abad ke[1]20 K.H. Misbah Zainul Mustafa Bangilan (1916-1994) yang menulis al-Iklīl fi Ma’ānī at-Tanzīl dan K.H. Bisri Mustafa Rembang (1915-1977) yang menulis al-Ibrīz li Ma’rifati Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz.

Selain tiga karya tafsir yang memakai aksara Pegon di atas, terdapat tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa yang ditulis dengan aksara Latin, yaitu Tafsir Al-Qur’an Basa Jawi karya K.H. Muhammad Adnan (1889-1969) yang dipublikasikan pada era 1960-an dan Tafsir Qur’an Hidaajatur-Rahmaan yang ditulis oleh Moenawar Chalil (1909-1961) yang dipublikasikan pada 1958.[1] Pada awal era 1990-an muncul juga tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa dengan aksara Latin, yaitu al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi karya Bakri Syahid (1918-1994), yang dipublikasikan pada tahun 1976 dan Sekar Sari Kidung Rahayu, Sekar Macapat Terjemahanipun Juz Amma karya Ahmad Djawahir Anomwidjaja yang dipublikasikan pada 1992 dan mengalami cetak ulang untuk kali kedua pada 2003.[2] Artikel ini akan mengkaji pergulatan budaya, ideologi, dan politik tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa tersebut. Karya tafsir yang disebutkan di atas dipilih atas dasar konteks sejarah dan basis sosial yang dimilikinya masing-masing. Teori yang digunakan dalam menganalisisnya adalah sosiologi pengetahuan Karl Mannheim yang memahami pengetahuan dan eksistensi sebagai dua hal yang tidak bisa dipisahkan.[3] Teori sosiologi pengetahuan digunakan dalam penelitian ini untuk melihat relasi antara eksistensi penafsir, ruang sosial-politik yang melingkupinya, audien tafsir, serta isu sosial politik yang dikontestasikan dalam karya tafsir. Perspektif semacam ini diperkuat oleh teori habitus Pierre Bourdieu yang menjelaskan bahwa habitus merupakan serangkaian kecenderungan yang mendorong pelaku sosial untuk beraksi dan bereaksi dengan cara-cara tertentu.[4]

Tafsir Al-Qur’an Bahasa Jawa dalam Basis Sosial-Budaya Islam Jawa

Penyebaran Islam di Nusantara intensitasnya tidak sama antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Pada tahap awal, Islam berkembang di wilayah yang tidak banyak bergumul dengan kebudayaan Hindu-Buddha, seperti Aceh, Sumatra Barat, dan Makassar.[5] Di wilayah-wilayah ini Islam memainkan peran signifikan dalam kehidupan sosial dan politik. Dalam kadar tertentu, Islam di wilayah-wilayah tersebut tampil progresif dengan warna tasawuf. Hamzah Fansuri, Abdurrauf as-Sinkili, Yusuf al-Makassari, Abdussamad al-Palembani, dan Arsyad al-Banjari merupakan para penyebar Islam di wilayah luar Jawa yang bergerak dengan corak lokalitas mereka masing-masing.

Adapun di Jawa, penyebaran Islam berhadapan dengan tradisi HinduBuddha yang telah lama bersenyawa dalam kehidupan masyarakat. Melalui peran Wali Songo, Islam disebarkan melalui strategi adaptasi atas tradisi yang hidup di tengah masyarakat. Oleh karena itu, Islam di Jawa coraknya kental dengan nilai-nilai tradisi dan budaya lokal. C.C. Berg, sebagaimana dikutip Fauzan Saleh, dengan agak gegabah pernah menyimpulkan bahwa orang Jawa sebenarnya tidak pernah secara sepenuh hati berpindah menjadi pemeluk Islam, meskipun telah mengalami islamisasi selama berabadabad.[6] Dalam kasus ini harus disadari bahwa salah satu karakter orang Jawa adalah selalu terbuka dan cair dengan hal-hal yang baru, tetapi mereka tidak begitu saja melepaskan tradisinya sendiri, dan bagi para wali penyebar Islam sikap tersebut dimanfaatkan sejauh tidak bertentangan dengan aspek fundamental dan teologi Islam.

Memasuki awal abad ke-19 Islam di Jawa mulai memperoleh spirit baru dari proses meningkatnya kontak dengan pusat ortodoksi di Timur Tengah. Setiap tahun, ratusan orang Islam dari Nusantara pergi haji ke Mekah. Sebagian mereka bermukim di sana dalam waktu yang lama untuk mendalami ilmu agama Islam, kemudian pulang menjadi penyebar Islam di Jawa. Pertautan keilmuan ini telah melahirkan model dan cara pandang Islam yang mereka kembangkan. Sebagian penulis tafsir Al-Qur’an bahasa Jawa, yaitu K.H. Saleh Darat, K.H. Raden Adnan, K.H. Bisri Mustafa, dan K.H. Moenawar Chalil adalah orang-orang yang pernah menimba ilmu dengan para ulama di Mekah.

Perkembangan dan penyebaran Islam di Jawa sangat diwaspadai oleh Belanda, karena dipandang bisa mengancam kepentingan ekonomi dan politik yang telah lama mereka bangun. Ketakutan Belanda memuncak sejak pecah perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro pada 1825-1830. Reaksi Belanda atas Islam ini mengharuskan mereka membangun aliansi dengan penguasa Jawa dan kalangan aristokrat, serta penguasa lokal untuk mempertahankan kekuasaan.[7] Sebagai penasihat penguasa Belanda, Hurgronje kemudian melakukan pemetaan sosial terkait dengan perkembangan Islam di Jawa sebagai acuan kebijakan Belanda. Ia membagi tiga wilayah utama terkait dengan Islam, yaitu: pesantren yang secara umum berada di wilayah pesisir; kompleks kauman yang biasanya berada di sekitar masjid di pusat kota dan kraton; dan kelompok putihan di daerah pedesaan. Inilah pusat dari proses penetrasi Islam terhadap budaya Jawa.[8]

Di wilayah ini, menurut Hurgronje, hukum Islam benar-benar dapat berjalan. Masjid bukan hanya berfungsi sebagai tempat salat, tetapi juga sebagai tempat pelaksanaan peradilan agama. Imam (pemimpin salat) dan khatib bukan hanya sebagai fungsionaris masjid, tetapi sekaligus sebagai hakim agama. Serambi—bagian depan masjid yang terbuka—dipakai sebagai tempat pelaksanaan peradilan tersebut. Setiap Senin dan Kamis, penghulu disertai dengan beberapa staf ahli, melaksanakan peradilan agama tersebut.[9]

Di tiga basis sosial yang dipetakan oleh Hurgronje tersebut tafsir AlQur’an bahasa Jawa lahir dan ditulis oleh para kiai. Masing-masing mencerminkan dialektika budaya yang terjadi dengan karakteristik komunitas pembacanya yang khas serta tujuan dan fungsi yang digerakkan oleh masing-masing penulis tafsir.

(1) Basis Sosial Pesantren

Di Jawa, Islam masuk dan berkembang melalui wilayah pesisir dan kemudian berlanjut ke daerah pedalaman. Hal ini terjadi karena secara geografis jalur perdagangan dan hubungan antar-pulau ketika itu melalui jalur laut.[10] Kontak kebudayaan antara pendatang yang sering singgah di wilayah pesisir pada masa awal Islam di Jawa menyebabkan adanya proses tarikmenarik dan pergulatan yang intens antara budaya lokal dengan budaya luar, tak jarang melahirkan dinamika budaya setempat. Praktik adaptasi unsur-unsur lokal dan adopsi unsur-unsur luar telah menciptakan suatu sistem budaya yang khas dan unik. Penghormatan terhadap makam leluhur dan berbagai acara slametan, seperti suroan, kupatan, sya’banan, muludan, riyayan, bancaan, mitoni, dan tingkeban, merupakan praktik budaya yang tidak murni Jawa, tetapi telah dimasuki nilai-nilai Islam.

Secara sosial budaya, masyarakat pesisir digambarkan dengan sikap yang terbuka. Dalam sistem komunikasi sehari-hari masyarakat pesisir cenderung tidak suka menyembunyikan sesuatu, lugas, dan tegas.[11] K.H. Saleh Darat,[12] K.H. Bisri Mustafa,[13] dan K.H. Misbah Zainul Mustafa[15] adalah tiga penulis tafsir Al-Qur’an bahasa Jawa yang hidup dalam tradisi masyarakat pesisir-pesantren dan karya tafsir yang mereka tersebut ditulis juga dalam rahim pesantren dan budaya pesisir tersebut.

Sebagaimana lazimnya karya-karya keislaman pesantren, ketiga tafsir ini ditulis dengan aksara Pegon. Aksara Pegon adalah aksara Arab yang dipakai untuk menuliskan teks berbahasa Jawa dengan sistem penulisan yang khas. Aksara Pegon ini sangat populer di kalangan pesantren di Jawa. Sebelum era K.H. Saleh Darat dan K.H. Bisri Mustafa, pemakaian aksara Pegon telah terjadi di dunia pesantren dan masyarakat pesisir. K.H. Ahmad Rifa’i (1786-1869) Kalisalak, misalnya, hampir seluruh karya-karyanya ditulis dengan aksara Pegon.[15] Sebuah naskah yang di dalamnya berisi banyak teks yang diyakini para kiai di Kajen sebagai karya Syekh Ahmad Mutamakkin (1645-1740 M) juga ditulis dengan memakai aksara Pegon.[16]

Selain pemakaian aksara Pegon, dalam tradisi pesantren juga hidup tradisi makna gandul. Makna gandul merupakan sistem pemaknaan atas teks berbahasa Arab dengan cara meletakkan kata atau kalimat terjemahannya di bawah kosakata yang diterjemahkan tersebut. Kalimat terjemahan tersebut ditulis menggantung dengan kemiringan 45 derajat. Sistem makna gandul ini disertai sejumlah rumus untuk menandai posisi kata dalam rangkaian kalimat. Misalnya, posisi mubtada’ disimbolkan dengan kata utawi dengan tanda huruf “mim“, khabar disimbolkan dengan kata iku dan dengan tanda huruf “kha’”, fā’il disimbolkan dengan kata sopo/opo dan dengan tanda huruf “fa’”, maf’ūl bih disimbolkan dengan kata ing dan dengan tanda huruf “mim” dan “fa’”.[17]

[1] Moenawar Chalil, Tafsir Qur’an Hidaajatur Rahmaan,Juz 1 (Solo: AB. Siti Sjamsijah, 1958).

[2] Ahmad Djawahir Anomwidjaja, Sekar Sari Kidung Rahayu, Sekar Macapat Terjemahanipun Juz Amma (Yogyakarta: Bentang, 2003).

[3] Lihat Karl Mannheim, Ideology and Utopia, an Introduction to the Sociology of Knowledge (London: Routledge & Kegan Paul Ltd. 39, t.th)

[4] Suma Riella Rusdiarti, “Bahasa, Pertarungan Simbolik, dan Kekuasaan”, dalam Majalah Basis, Nomor 11-12, Tahun Ke-52, November-Desember 2003, hlm. 34; Pierre Bourdieu, The Field of Cultural Production: Essays on Art and Literature (US: Columbia University Press, 1993), khususnya pada bab “Field of Power, Literary Field, and Habitus”

[5] 5 Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX (Jakarta: Serambi, 2004), hlm. 40

[6] Ibid.,hlm. 41.

[7] Ibid., hlm. 56.

[8] Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, terj. S. Gunawan (Jakarta: Bhratara, 1973), hlm. 20-1.

[9] Ibid.

[10] Mengenai penyebar Islam di pesisir ini lihat misalnya, R.P. Soeparmo, Tjatatan Sedjarah 700 Tahun Tuban (Tuban: Pertjetakan Seruni, 1971), hlm. 102-115.

[11] Nur Sam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 54.

[12] Tentang sejarah hidup K.H. Saleh Darat, lihat H.M. Danuwijoto, “Ky. Saleh Darat Semarang, Ulama Besar dan Pujangga Islam Sesudah Pakubuwono IV” dalam Majalah Mimbar Ulama, nomor 17 tahun 1977, hlm. 68; M. Muchoyyar HS, “Tafsīr Faidl ar-Raḥmān fī Tarjamah Tafsīr Kalām al-Mālik al-Adyān karya K.H.M. Shaleh As-Samarani, Suntingan Teks, Terjemah dan Analisis Metodologi” Disertasi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 2002.

[13] Tentang sejarah hidup K.H. Bisri Mustafa, lihat Ahmad Zaenal Huda, Mutiara Pesantren, Perjalanan Khidmah K.H. Bisri Mustofa (Yogyakarta: LKiS, 1998).

[15] Biografi singkat K.H. Misbah bisa dibaca misalnya dalam sejumlah karyanya. Lihat Misbah Mustafa, Shalat dan Tatakrama (Tuban: Penerbit al-Misbah, 2006); Misbah Zainul Mustafa, Anda Ahlusunnah Anda Bermadzhab (Bangilan: Al-Misbah, 2006).

[15] Terkait studi tentang tokoh ini, lihat Abdul Djamil, Perlawanan Kiai Desa, Pemikiran dan Gerakan Islam KH Ahmad Rifa’i Kalisalak (Yogyakarta: LKiS, 2001)

[16] Lihat Islah Gusmian, “Pemikiran Tasawuf Syekh Ahmad Mutamakkin: Kajian Hermeneutik atas Naskah ‘Arsy al-Muwahhidin” dalam Jurnal Lektur dan Khazanah Keagamaan, Vol. 11, No. 1, Juni 2013.

[17] Terkait model simbol ini, lihat Ahmad Hafani Razzaq al-Manduri, Kaifiyah al-Ma’ānī bi al-Ikhtiṣār Li Ṭalabah al-Madāris wa al-Ma’āhid ad-Dīniyyah (Tulung Agung: Al-Hidayah, t.th.)

error: Content is protected !!