Tasawuf dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits

Tarekat adalah jalan yang dilalui oleh orang sufi dalam perjalanannya menuju Tuhan. Tarekat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syari’ah, sebab jalan utama disebut syar’i sedangkan anak jalan disebut thariq. Kata ini terambil dari kata tharq yang di antara maknanya adalah “mengetuk” seperti dalam ungkapan tharq al-bab yang berarti “mengetuk pintu”.

Oleh karena itu, cara beribadah seorang sufi disebut tarekat karena ia selalu mengetuk pintu hatinya dengan dzikrullah atau mengingat Allah. Cara beribadah semacam ini oleh Nabi SAW disebut dengan tarekat hasanah (cara yang baik). Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hambal dalam musnadnya dengan perawi-perawi tsiqat (dipercaya), Nabi SAW bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا كَانَ عَلَى طَرِيْقَةٍ حَسَنَةٍ مِنَ الْعِبَادَةِ ثُمَّ مَرِضَ قِيْلَ لِلْمَلَكِ الْمُوَكَلِ بِهِ اُكْتُبْ لَهُ مِثْلَ عَمَلِهِ إِذَا كَانَ طَلِيْقًا حَتَّى أَطْلَقَهُ أَوْ أَكْفَتَهُ إِلَى تَعْلِيْقِ شُعَيْبِ الْأَرْنَؤُوْطِ : صحيح وهذا إسناد حسن

“Sesungguhnya seorang hamba jika berpijak pada tarekat yang baik dalam beribadah, kemudian ia sakit, maka dikatakan (oleh Allâh SWT) kepada malaikat yang mengurusnya, ‘Tulislah untuk orang itu pahala yang sepadan dengan amalnya apabila ia sembuh sampai Aku menyembuhkannya atau mengembalikannya kepada-Ku, (Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 2, halaman: 203).

Ungkapan tarekat hasanah dalam hadis tersebut menunjukan kepada perilaku hati yang diliputi kondisi ihsan (beribadah seolah–olah melihat Allâh SWT atau kondisi khusyu’) yakin berjumpa dengan Allâh SWT dan kembali kepada-Nya,

الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلاَقُوا رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ﴿٤٦﴾

(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya, (al-Baqarah, 2: 46).

Ibadah (misalnya shalat) yang dilakukan dengan hati yang lalai oleh nabi disebut sebagai shalat al-munafiq (salatnya orang munafik), yaitu yang di dalamnya ia tidak berdzikir kepada Allâh kecuali sedikit (la yadzkurullaha fiha illa qalilan) Shahih Muslim, 1: 434, dan pelakunya oleh Tuhan diancam dengan al-wail.

(فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ ﴿٤﴾ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ ﴿٥﴾

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (4) (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya (5), (al-Maun, 107: 4-5).

Di dalam Alquran pun kata tarekat muncul dalam konteks dzikrullah sebagai aktualisasi tauhid yang sempurna.

Setelah Allâh SWT menjanjikan karunia yang banyak kepada orang-orang yang istiqamah di atas tarekat, Allâh SWT. langsung memberikan ancaman siksa yang sangat pedih kepada orang yang tidak mau berdzikir kepada-Nya:

وَأَلَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُم مَّاء غَدَقاً ﴿١٦﴾ لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَمَن يُعْرِضْ عَن ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَاباً صَعَداً ﴿١٧﴾

Seandainya mereka istiqamah di atas tarekat niscaya Kami beri minum mereka dengan air yang melimpah (karunia yang banyak): untuk Kami uji mereka di dalamnya, dan barangsiapa tidak mau berdzikir kepada Tuhannya, niscaya Dia menimpakan azab yang sangat pedih, (al-Jinn, 72: 16-17).

Ibn al-Qayyim al-Jawziyah dalam kitabnya Madarij al-Salikin mengutip perkataan Abu Bakar al-Shiddiq RA ketika menyingung ayat tersebut. Sahabat agung ini pernah ditanya mengenai maksud al-istiqamah ala al-tarekat dan ia menjawab, “Hendaknya engkau tidak menyekutukan Allâh SWT dengan sesuatu (an la tusyrika billahi syay-an).” Jadi, kata Ibn al-Qayyim, yang dimaksud (al-istiqamah ‘ala al-tarekat) oleh Abu Bakar al-Shiddiq r.a. adalah al-istiqamah ala mahdhi al-tauhid konsisten di atas tauhid yang murni artinya, tarekat dalam ayat tersebut adalah ”jalan menuju tauhid yang murni”.

Tauhid yang murni ini pulalah yang menjadi tujuan syaikh-syaikh tarekat sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Taimiyah: “Tauhid inilah yang dibawa oleh para rasul dan kitab-kitab Allâh dan yang diisyaratkan oleh syaikh-syaikh tarekat dan pakar-pakar agama.”

Dalam ayat yang lain tarekat disandingkan dengan syari’ah yaitu ketika Allâh berfirman:

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجاً

Bagi tiap-tiap umat di antara kamu Kami berikan syir’ah (peraturan) dan minhaj (metode), (al-Maidah, 5:48).

Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa syir’ah dalam ayat tersebut adalah syari’ah (peraturan) sedangkan minhaj adalah tarekat (metode pelaksanaan syari’ah), dan kedua-duanya (syari’ah dan tarekat) secara simultan bermuara pada tujuan pokok yang merupakan haqiqat al-din (hakikat agama), yaitu tauhid yang murni, atau hanya menyembah Allâh SWT semata (ibadat Allâh wahdah).

Tidak diragukan lagi bahwa tasawuf adalah bersumber dari Alquran dan Sunnah sebagaimana disiplin keilmuan Islam lainnya. Hal ini sebagaimana telah disampaikan oleh para imam tasawuf, diantaranya:

Imam Junaid mengatakan, “Sesungguhnya ilmu kita ini adalah berdasar Alquran dan Sunnah”

Syaikh Sahal Tastarimengatakan,“Ushul kita (tasawuf ada tujuh, yaitu berpegang teguh kepada Alquran, melaksanakan Sunnah Rasulullah, makan yang halal, mencegah yang menyakitkan, menjauhi dosa, taubat dan melaksanakan hak-hak.”, (Thabaqât al-Shûfiyah Abu Abd. Rahmân Muhammad bin al-Hasain al-Sulamî, halaman: 170).

قال سهل: أُصُوْلُنَا سَبْعَةُ أَشْيَاءَ: التَّمَسَّكُ بِكِتَابِ اللهِ تَعَالَى، وَالْاِقْتِدَاءِ فِى سَنَةِ رَسُوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَأَكَالُ الْحَلَالِ، وَكَفُّ الْأَذَى، وَاجْتِنَابُ الْاَثَامِ، وَالتَّوْبَةُ، وَاَدَاءُ الْحُقُوْقِ.

Syaikh Hasan Syadzili, “Apabila kasyafmu bertentangan dengan Qur’an dan Sunnah maka lakukanlah sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah dan tinggalkan kasyf dan ilham.” (Iqadhul Humam (syarah matan Hikam), Ahmad bin ‘Ajibah juz 2, halaman: 302-303)

Syaikh Abu Hasain al-Waraqmengatakan, “Tidaklah seorang hamba sampai kepada Allâh SWT kecuali dengan Allâh SWT (Alquran) dan sesuai dengan kekasihNya (Rasulullah) dalam melaksanakan syari’ahNya. Barangsiapa menjadikan jalan wushul tanpa melaksanakan al-Sunnah, maka ia (sebenarnya) menyesatkan meskipun dikira memberikan petunjuk.” (Thabaqât al-Shûfiyah Abu Abd. Rahmân Muhammad bin al-Hasain al-Sulamî, halaman: 230).

قال: وقال أبو الحسين: لَايَصِلُ الْعَبْدُ اِلَى اللهِ إِلَّا بِااللهِ، وَبِمُوَافَقَةِ حَبِيْبِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِى شَرَائِعِهِ. وَمَنْ جَعَلَ الطَّرِيْقَةَ اِلَى الْوُصُوْلِ فِي غَيْرِ الْاِقْتِدَاءِ يَضِلُّ، مِنْ حَيْثُ يَظُنُّ أَنَّهُ مُهْتَدٌ.

Syaikh Abd. Wahab Sya’rani: “Sesungguhnya jalan kaum sufi adalah tertulis dalam Alquran dan Sunnah “ (Lathaif al-Minan wa al-akhlaq Wahab Sya‘rani, juz I, halaman: 2).

Abu Yazid al-Busthamimengatakan ketika ditanya tentang sufi, “allah Yaitu yang meletakkan Alquran di sisi kanan dan Sunnah di sisi kiri, “(Syathahat al-Shufiyah Abd Rahman Badawi, halaman: 96).

Menurut Syaikh Amîn al-Qurdhidalam kitab Tanwîr al-Qulûb halaman 409, pokok ajaran tasawuf ada lima:

Taqwallah dalam keadaan tersembunyi dan terlihat direalisasikan dalam sifat wira’i dan istiqamah.

Mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dalam ucapan, perbuatan direalisasikan dalam bentuk budi pekerti yang baik.

Berpaling dari mahluk direalisasikan dalam sifat sabar dan tawakkal.

Rela atas pemberian Allâh SWT baik sedikit atau banyak diwujudkan dalam sifat qana’ah dan pasrah.

Kembali kepada Allâh SWT dalam setiap keadaan senang dan susah direalisasikan dalam syukur ketika senang dan mengembalikan segala sesuatu kepada Allâh SWT dalam keadaan susah.

Masih banyak lagi pernyataan para imam tasawuf yang senada. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa tasawuf adalah bersumber dari Alquran an Sunnah.

Alquran dan Hadis merupakan kerangka acuan pokok yang selalu dipegangi oleh umat Islam. Sering didengar pertanyaan dalam kerangka landasan naqli ini, Apa dasar Alquran-Hadisnya sehingga anda berkata demikian?’ atau ‘Bagaimana Alquran dan Hadisnya? Pertanyaan-pertanyaan ini sering terlontar dalam benak pikiran kaum muslimin ketika hendak menerima atau menemukan persoalan-persoalan baru atau persoalan-persoalan unik, termasuk persoalan-persoalan tasawuf.

Di sini sekilas akan disampaikan beberapa dasar Alquran dan Hadis yang melandasi teori dan amalan tasawuf.

***

Dasar Qur’an Tarekat

Alquran dan Sunnah adalah nash. Setiap muslim kapan dan di mana pun dibebani tanggung jawab untuk memahami dan melaksanakan kandungannya dalam bentuk amalan yang nyata. Pemahaman terhadap nash tanpa pengamalan akan menimbulkan kesenjangan. Ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah, Aisyah menyawab, “Alquran”.

Para sahabat dikenal sebagai orang-orang yang banyak menghafalkan isi Alquran dan kemudian menyebarkannya kepada yang lain dengan disertai pengamalan atau penjiwaan terhadap isinya. Mereka berusaha menerapkan akhlak atau perilaku mereka dengan mencontoh akhlak Rasulullah, yakni akhlak Alquran.

Dalam hal inilah, tasawuf, pada awal pembentukannya adalah manifestasi akhlak atau keagamaan. Moral keagamaan ini banyak disinggung dalam Alquran dan as-Sunnah. Dengan demikian, sumber pertama tasawuf adalah ajaran-ajaran Islam, sebab tasawuf ditimba dari Alquran, Sunnah, dan amalan-amalan serta ucapan para sahabat. Amalan serta ucapan para sahabat tentu saja tidak keluar dan ruang lingkup Alquran dan Sunnah. Dengan begitu, justru dua sumber utama tasawuf adalah Alquran dan Sunnah itu sendiri.

Abu Nashr as-Siraj al-Thusi, dalam kitabnya aI-Luma’ menjelaskan bahwa dari Alquran dan Sunnah itulah, para sufi pertama-tama mendasarkan pendapat-pendapat mereka tentang moral dan tingkah laku, kerinduan dan kecintaan pada Ilahi, dan ma’rifat, suluk (jalan), dan juga latihan-latihan rohaniah mereka. Itu semua mereka susun demi terealisasinya tujuan kehidupan mistis. Lebih lanjut, Ath-Thusi mengemukakan bagaimana para sufi secara khusus lebih menaruh perhatian terhadap moral luhur serta sifat dan amalan utama. Hal ini demi mengikuti Nabi, para sahabat, serta orang-orang setelah mereka. Ini semua, menurut Al-Thusi, ilmunya dapat disimak dalam kitab Allâh SWT, yakni Alquran.

Alquran merupakan Kitab Allâh yang di dalamnya terkandung muatan-muatan ajaran Islam, baik aqidah, syari’ah maupun mu’amalah. Ketiga muatan tersebut banyak tercermin dalam ayat-ayat yang termaktub dalam Alquran. Ayat-ayat Alquran itu, di satu sisi memang ada yang perlu dipahami secara tekstual-lahiriah, tetapi di sisi lain juga ada hal yang perlu dipahami secara kontekstual-rohaniah. Sebab, jika ayat-ayat Alquran dipahami secara lahiriah saya, akan terasa kaku, kurang dinamis, dan tidak mustahil akan ditemukan persoalan yang tidak dapat diterima secara psikis.

Secara umum, ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah pada gilirannya melahirkan tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dan sumber ajaran Islam, Alquran dan Sunnah, serta praktik kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Alquran antara lain berbicara tentang kemungkinan manusia dapat saling mencintai (mahabbah) dengan Allâh SWT Hal ini misalnya sebagaimana difirmankan Allâh SWT dalam Alquran:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ، (المائدة : 54)

Hai orang-orang yang beriman barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allâh akan mendatangkan suatu kaum yang Allâh mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmn, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir yang berjihad dijalan Allâh, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allâh, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allâh Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui, (Q.S. al-Maidah, 5:54)

Dalam Alquran, Allâh pun memerintahkan manusia agar senantiasa bertobat, membersihkan diri, dan memohon ampunan kepada-Nya sehingga memperoleh cahaya dari-Nya

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ، (التحريم: 8)

Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allâh dengan tobat yang sebenar-benarnya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allâh tidak menghinakan Nabi dan orang-orang beniman bersama dengan dia sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan, ‘Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami, sesungguhnya engkau Mahakuasa alas segala sesuatu, (Q.S. Al-Tahrîm, 66: 8)

Alquran pun menegaskan tentang keberadaan Allâh SWT di mana pun hamba-hamba-Nya berada. Hal ini sebagaimana ditegaskannya

وَ لِلهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ إِنَّ اللهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ، (البقرة: 115)

Dan kepunyaan Allâh-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wayah Allâh. Sesungguhnya Allâh Maha luas (rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui), (Q.S. Al-Baqarah, 2:115)

Bagi kaum sufi, ayat di atas mengandung arti bahwa di mana saya ada, di situ pula Tuhan dapat dijumpai. Allâh SWT pun akan memberikan cahaya kepada orang-orang yang dikehendakiNya, sebagaimana firman-Nya:

اللهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ، (النور: 35)

Allâh (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allâh adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara yang dinyalakan dengan minyak dan pohon yang banyak berkahnya, yaitu (pobon) Zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya saya hampir-hampir meneRAngi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di alas cahaya (berlapis-lapis), Allâh membimbing kepada cahaya-Nya, siapa yang Dia kehendaki, dan Allâh membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu, (Q.S. al-Nûr, 24:35)

Allâh SWT pun memberikan penjelasan tentang kedekatan manusia dengan-Nya, seperti disitir dalam firman-Nya:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ ،(البقرة: ١٨٦)

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu beRAda dalam kebenaRAn, (Q.S. Al-BaqaRAh, 2:186)

Kata “da’a” dalam ayat itu tidak diartikan sebagai berdoa oleh kalangan sufi, tetapi berseru dan memanggil. Dasar-dasar tasawuf ini ternyata banyak ditemukan dalam Alquran.

Lebih dari itu, pada ayat 16 dan SuRAt Qaf, Allâh SWT menjelaskan:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ، (ق: ١٦)

“Sebenarnya Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepadanya daripada pembuluh daRAhnya sendiri, (Q.S. Qaf, 50:16)

Berdasarkan ayat di atas, kebanyakan kalangan sufi berpendapat bahwa untuk mencari Tuhan, manusia tak perlu pergi jauh-jauh. Ia cukup kembali ke dalam dirinya sendiri. Lebih jauh lagi, Harun Nasution menegaskan bahwa Tuhan ada di dalam, bukan di luar diri manusia.

Alquran pun mengingatkan manusia agar tidak diperbudak kehidupan duniawi dan kemewahan harta benda yang menggiurkan. Hal ini sebagaimana difirmankan Allâh SWT:

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللهِ الْغَرُورُ، (فاطر: ٥)

Hai manusia, sesungguhnya janji Allâh adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allâh, (Q.S. Fâthir, 35:5)

Dalam pemahaman kalangan sufi, ayat di atas menjadi salah satu dasar untuk mejauhi kehidupan dunia yang penuh dengan tipuan. Selanjutnya, kalau kita teliti lebih mendalam semua tingkatan (maqamât) dan keadaan (ahwal) yang dilalui para sufi (yang pada dasarya merupakan objek tasawuf), landasannya akan banyak ditemukan dalam Alquran. Berikut ini akan dikemukakan ayat-ayat Alquran yang menjadi landasan sebagian maqamat dan ahwal para sufi. Di antaranya adalah:

Tingkatan zuhud misalnya (yang banyak diklaim sebagai awal mula beRAngkatnya tasawuf), telah dijelaskan dalam Alquran:

قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى، (النساء: 77)

Katakanlah: “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhiRAt itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, (Q.S. al-Nisak, 4: 77)

Tingkatan taqwa berlandaskan pada firman Allâh SWT:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ، (الحجرات: ١٣)

Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allâh ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui, lagi Maha Mengenal, (Q.S. Al-Hujurât, 49:13)

Tingkatan tawakal, menurut para sufi, berlandaskan pada firman-firman Allâh SWT berikut:

وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْراً ، (الطلاق: ٣)

Dan barangsiapa bertawakal kepada Allâh, niscya Allâh mencukupkan (keperluan)-nya, (Q.S. Al-Talâq, 65:3)

عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ، (الزمر: ٣٨)

Dan hanya kepada Allâh orang-orang yang beriman itu bertawakal, (Q.S. al-Zumar, 39:38)

Tingkatan syukur antara lain berlandaskan kepada firman Allâh SWT berikut ini:

لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ ،( إبراهيم:٧)

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambahkan (nikmat) kepadamu.” (Q.S. IbRAhim, 15:7)

Tingkat sabar berlandaskan pada firman Allâh SWT berikut ini:

فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِبْكَارِ، ( غافر:٥٥)

Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allâh itu benar, dan mohonlah ampunan unluk dosamu dan bertasbihlah seRAya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi, (Ghâfir, 40:55)

وَبَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ، (البقرة: 155)

Dan berikanlah berita gembiRA kepada orang-orang yang sabar, (Q.S. Al-BaqaRAh, 2:155)

Tingkatan rela (ridla) berdasarkan pada firman Allâh SWT berikut ini:

رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ (المائدة:119)

Allâh rela terhadap mereka, dan mereka pun rela terhadap-Nya, (QS. Al-Maidah,2: 119)

Tingkatan cinta berdasarkan pada firman Allâh SWT berikut ini:

Baca juga: Risalah fi Kaifiyyah Shalatit Tarawih Karangan Nyai Hj. Siti Zubaidah Hasbiyallah Klender (1967)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ، (المائدة: 54)

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allâh akan mendatangkan suatu kaum yang Allâh mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allâh, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allâh, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allâh Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui, (Q.S. al-Maidah, 5:54).

Tingkatan malu berdasarkan pada firman Allâh SWT berikut ini:

أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللهَ يَرَى، (العلق:١٤)

Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allâh melihat segala perbuatannya?, (Q.S. al-‘Alaq, 96:15)

Mujahadah al-Nafs (memerangi nafsu) berdasarkan pada firman Allâh SWT berikut ini:

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى ﴿٤٠﴾ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى، (النزعات: ٤١)

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya), (Q.S. Al-Nazi’at, 79:40-41)

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلاَّ مَا رَحِمَ رَبِّيَ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ، ( يوسف: ٥٣)

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (Q.S. Yusuf, 12:53)

Ahwal sufi:

وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفاً وَطَمَعاً إِنَّ رَحْمَتَ اللهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ، (الأعراف: ٥٦)

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allâh) memperbaikinya dan berdo`alah kepada-Nya dengan RAsa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allâh amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik, (QS. al-‘ARAf, 7:56)

مَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء اللهِ فَإِنَّ أَجَلَ اللهِ لَآتٍ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ، (الأنكبوت: ٥)

Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allâh, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allâh itu, pasti datang. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, (Q.S. Al-‘Ankabut, 29:5)

وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَ إِنَّ رَبَّنَا لَغَفُورٌ شَكُورٌ ، (فاطر: ٣٤)

Dan mereka berkata: “Segala puji bagi Allâh yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri, (Q.S. Fathir, 39:34)

Demikianlah, sebagian ayat Alquran yang dijadikan sebagai landasan dan dasar kaum sufi dalam melaksanakan praktik-praktik kesufiannya. Akan terlalu panjang uraiannya jika semua pengertian psikis serta moral yang diungkapkan para sufi tentang maqamat dan ahwal, dicarikan rujukannya dalam Alquran. Namun, siapa saya yang berminat mengkaji masalah ini secara mendalam dapat membacanya dalam karya-karya para sufi, seperti ar-Risâlah al-Qusyairiyah karya Imam al-Qusyairi, al-Luma’ karya Syaikh Ath-Thusi, dan Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn karya Imam al-Ghazali.

***

Dasar Hadits Tarekat

Sejalan dengan apa yang disitir dalam Alquran, sebagaimana dijelaskan di atas, ternyata tasawuf juga dapat dilihat dalam kontek Hadis.

Umumnya yang dinyatakan sebagai landasan dan dasar ajaran-ajaran tasawuf adalah hadis-hadis berikut.

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ

Barangsiapa yang mengenal dirinya sendiri, maka akan mengenal Tuhannya, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 4, halaman: 301)

كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتُ اَنْ اُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَبِهِ عَرَفُوْنِيْ

Aku adalah perbendaharaan yang tersembunji, maka Aku menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku, (Atsar al-Ahâdîts al-Dha’îfah wa al-Maudhu’ah fi al-‘Aqîdah Abd. Rahman Abd. al-Khaliq, juz 1, halaman: 15, Tafsîr al-Alusi, juz 19, halaman: 418)

لاَيَزَالُ الْعَبْدُ يَتَقَرَّبُ اِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ فَاِذَا اَحْـبَبْتُهُ كُنْتُ سَمِعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ وَلِسَانَهُ الَّذِيْ يَنْطِقُ بِهِ وَيَدَهُ الَّذِيْ يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّذِيْ يَمْشِي بِهَا فَبِيْ يَسْمَعُ فَبِيْ يَبْصُرُ وَبِيْ يَنْطِقُ وَبِيْ يَعْقِلُ وَبِيْ يَبْطِشُ وَبِيْ يَمْشِي

Senantiasa seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnat sebingga Aku mencintainya. Maka tatkala mencintainya, jadilah Aku pendengarnya yang dia pakai untuk mendengar, penglihatannya yang dia pakai untuk melihat, lidahnya yang dia pakai untuk berbicara, tangannya yang dia pakai untuk mengepal, dan kakinya yang dia pakai unluk berjalan, maka dengan-Ku lah dia mendengar, melihat berbicara, berpikir, mengepal, dan berjalan, (Jâmi’ al-‘Ulum wa al-Hukum, juz 1, halaman: 365)

Hadis di atas memberi petunjuk bahwa manusia dan Tuhan dapat bersatu. Diri manusia dapat melebur dalam diri Tuhan, yang selanjutnya dikenal dengan istilah fana’, yaitu fana’-nya makhluk sebagai yang mencintai kepada Tuhan sebagai yang dicintainya.

Berikut ini dikemukakan beberapa hadis yang merupakan landasan lahirnya tasawuf:

Aisyah berkata:

اَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْمُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ. فَقَالَتْ عَائِشَةُ: لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ. قَالَ: أَفَلاَ اُحِبُّ اَنْ اَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا.

Adalah Nabi bangun shalat malam (qiyam al-lail), sehingga bengkak kakinya. Aku berkata kepadanya, ‘Gerangan apakah sebabnya, wahai utusan Allâh, engkau sekuat tenaga melakukan ini, padahal Allâh telah berjanji akan mengampuni kesalahanmu, baik yang terdahulu maupun yang akan datang?’ Beliau menyawab, Apakah aku tidak akan suka menjadi seorang hamba Allâh yang bersyukur?, (H.R. Al-Bukhari dan Muslim).

Rasulullâh SAW bersabda:

وَاللهِ اِنِّي لأَسْتَغْفِرُ اللهَ وَاَتُوْبُ اِلَيْهِ فِى الْيَوْمِ اَكْثَرَ مِنْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً

Demi Allâh, aku memohon ampunan kepada Allâh dalam sehari semalam tak kurang dari tujuh puluh kali.” H.R. Al-Bukhari, (Riyâdh al-Shâlihîn, juz 2, halaman: 338, Shahîh al-Bukhâri-Thûq al-Najâh, juz 8, halaman :67)

Rasulullâh SAW bersabda:

اِنَّ اللهَ قَالَ: مَنْ عَادَى لِيْ وَلِيًّا فَقَدْ اَذَنْـتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ اَحَبَّ اِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ اِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ فَاِذَا اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمِعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِي بِهَا وَاِنْ سَأَلَنِيْ لأَعْطِيَنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِيْ لأُعِيْذَنَّهُ.

Sesungguhnya Allâh SWT telah berfirman, “Siapa memusuhi kekasihKu, maka Aku menyatakan perang kepadannya Tidak ada yang paling Aku sukai dan hamba-Ku yang mendekatkankan diri kepada-Ku selain menjalankan kewajibannya. Hendaklah hamba-Ku mendekatkan diri dengan-Ku juga dengan menjalankan kesunahan-kesunahan sehingga Aku mencintainya. Jika Aku sudah mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengaRAn dan penglihatannya, juga akan menjadi tangan dan kakinya. Setiap penmohonannya pasti akan Aku kabulkan. Jika meminta perlindungan, Aku akan melindunginya”,H.R Al-Bukhari, (Riyâdh al-Shâlihîn, juz 1, halaman: 91, Shahîh al-Bukhâri-Thûq al-Najâh, juz 8, halaman :105)

Maksudnya: pernyataan bahwa Allâh akan menjadi pendengaran, penglihatan, tangan, dan kaki hamba yang dicintai-Nya merupakan mayaz untuk menjelaskan pertolongan Allâh.

Rasulullâh SAW bersabda:

لَوْ اَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللهِ حَتَّى تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ يَغْدُوْ خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا

Seandainya kalian benar-benar bentawakal kepada Allâh, maka Allâh akan memberikan rezeki pada kalian sebagaimana bunting yang pergi dalam keadaan perut kosong dan pulang sudah kenyang”. H.R. At-Tirmidzi. Hadis Hasan, (Sunan Ibn Majjah, juz 2, halaman: 1394)

Rasulullâh SAW bersabda:

اِزْهَدْ فِى الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللهُ وَازْهَدْ فِيْمَا فِى اَيْدِى النَّاسِ يُحِبُّوْكَ

Berzuhudlah terhadap dunia maka Allâh akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di tangan orang lain maka mereka akan mencintaimu”, (Sunan Ibn Majjah, juz 3, halaman :1373).

Selanjutnya, dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW. juga terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa dirinya adalah sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad SAW telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira’ menjelang datangnya wahyu. Beliau mejauhi pola hidup kebendaan saat orang Arab tengah tenggelam di dalamnya, seperti dalam praktik perdagangan yang didasarkan pada prinsip menghalalkan segala cara.

Selama di Gua Hira, Rasulullâh SAW hanyalah bertafakur, beribadah, dan hidup sebagai seorang zahid. Beliau hidup sangat sederhana, bahkan terkadang memakai pakaian tambalan, tidak memakan makanan atau meminum, kecuali yang halal, dan setiap malam senantiasa beribadah kepada Allâh SWT, sehingga Siti Aisyah, istrinya, bertanya, ‘Mengapa engkau berbuat begini, ya Rasulullâh SAW, padahal Allâh SWT senantiasa mengampuni dosamu?’ Rasulullâh SAW menyawab, ‘Apakah engkau tidak menginginkanku menjadi hamba yang bersyukur kepada Allâh SWT?’

Kalangan sahabat pun ada yang mengikuti praktik bertasawuf sebagaimana yang dipraktekkan Nabi Muhammad SAW. Abu Bakar Ash-Shiddiq, misalnya, pernah berkata, Aku mendapatkan kemuliaan dalam ketaqwaan, ke-fana’-an dalam keagungan dan kerendahan hati. Khalifah Umar bin al-Khattab RA pernah berkhotbah di hadapan jamaah kaum Muslimin dalam keadaan berpakaian yang sangat sederhana. Khalifah Utsman Ibn Affan RA banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan membaca Alquran. Baginya, Alquran ibarat surat dan kekasih yang selalu dibawa dan dibaca ke mana pun ia pergi. Demikian pula, sahabat-sahabat lainnya, seperti Abu Dzar al-Ghifari, Tamim ad-Dary, dan Hudzaifah aI-Yamani.

Uraian dasar-dasar tasawuf di atas, baik Alquran, Hadis, maupun suri teladan para sahabat, ternyata merupakan benih-benih tasawuf dalam kedudukannya sebagai ilmu tentang tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal). Dengan kata lain, ilmu tentang moral dan tingkah laku manusia terdapat rujukannya dalam Alquran. Dan sini, jelaslah bahwa pertumbuhan pertamanya, tasawuf ternyata ditimba dan sumber Alquran itu sendiri.

Faktor intern yang dapat dipandang sebagai penyebab langsung lahirnya tasawuf di dunia Islam, selain berupa pernyataan Alquran dan Hadis, adalah perilaku Rasulullâh SAW sendiri. Sebagaimana telah dimaklumi, beliau di dalam bertaqarrub (mendekatkan diri kepada Allâh) tidak jarang pergi meninggalkan keramaian dan hidup menyepi untuk merenung dan berkontemplasi dan ber-tahannus di Gua Hira. Ternyata, di tengah-tengah kesendiriannya inilah, beliau berkomunikasi dengan Allâh dan mendapat petunjuk dari-Nya.

***

error: Content is protected !!